12 Bahan Pencemar Paling Berbahaya

Sejak lama manusia bertempur dengan segala macam hama dan gulma. Banyak senyawa kimia ampuh ditemukan untuk memerangi unsur perusak atau hama tsb. Sampai akhir abad lalu, paling tidak terdapat 12 jenis obat kimia pembasmi ham dan gulma yang dikenal ampuh, terutama oleh petani di negara berkembang. Namun ke 12 obat anti hama ini tergolong pada pencemar organik yang sulit terurai atau disingkat POP. Selain berdampak membasmi hama, residunya juga amat berbahaya bagi manusia.

Selain obat anti hama, juga ada dua pencemar buangan industri, yang termasuk ke dalam 12 pencemar organik yang sulit terurai. Masing-masing PCB dan Dioxin. PCB biasanya digunakan sebagai isolasi pada transformator atau kondensator tegangan tinggi atau juga sebagi oli pada peralatan hidraulik. Sementara Dioxin terbentuk pada pembakaran sampah logam dan plastik. Ke 12 pencemar berat itu selein merusak lingkungan juga terbukti menimbulkan penyakit yang mematikan pada manusia.

Kehadiran pestisida super ampuh, bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi memberikan berkah kepada manusia, tapi di sisi lain menimbulkan dampak merugikan. Ambil contoh pembasmi hama DDT. Pada tahun 60-an semua petani dan pejabat kesehatan di seluruh dunia, menyambut gembira kehadiran bahan kimia pembasmi hama yang amat ampuh itu. Dengan gegap gempita dicanangkan dimulainya revolusi hijau. Hama yang menakutkan dapat dibasmi dengan cepat, mudah dan murah. Juga pemberantasan penyakit malaria di negara-negara berkembang, sampai sekarang masih mengandalkan DDT. Walaupun sudah sejak lama diketahui dampak negatifnya, namun negara miskin tidak memiliki alternatif lain. Di satu sisi para pecinta lingkungan serta organisasi pelindung fauna seperti WWF menuntut agar penggunaan DDT segera dihentikan. Namun di sisi lain, mereka tidak menawarkan pilihan lain.

Pelarangan penggunaan pembasmi hama DTT atau Endrin yang amat populer juga di Indonesia, menyebabkan negara miskin menghadapi risiko lain yang jauh lebih besar. Meledaknya wabah malaria, gagal panen, serangan hama bertubi-tubi dikhawatirkan akan menjadi dampaknya. Negara miskin akan semakin miskin, karena harus lebih banyak mengeluarkan anggaran untuk kesehatan dan impor pangan.

Dalam konferensi badan lingkungan PBB-UNEP di Bonn, mengenai pestisida yang sulit terurai, para ahli menyadari, bahwa ketergantungan petani terhadap pembasmi hama itu sudah sulit dihilangkan. Sementara industri kimi, yang sudah menyadari bahayanya, masih tetap memproduksi dan menjual pestisida berbahaya tsb. Konferensi yang disponsori UNEP dan organisasi pangan PBB-FAO, berusaha mencari alternatif pembasmi hama dan gulma itu.

Sejak tahun 1985 kelompok jaringan aksi menentang pestisida-PAN, sudah mengumpulkan banyak bukti mengenai dampak negatifnya. DDT dan keluarga Endrin misalnya, karena sulit terurai, akhirnya terbawa dalam rantai makanan. Manusia sebagai konsumen akhir, atau mata rantai terakhir, menjadi timbunan residu pestisida tsb. Akibatnya prevalensi penyakit kanker, gagal ginjal, radang kulit, penyakit hati dan tukak lambung terus meningkat. Bahkan menurun drastisnya berbagai populasi burung, ternyata juga merupakan dampak sampingan residu DDT.

Karena 12 pestisida dan unsur berbahaya itu sudah digunakan lebih dari tiga dekade, maka timbunan residunya sudah mencapai tingkat membahayakan. Sejauh ini memang sudah 60 negara melarang peredaran dan perdagangannya. Namun masih banyak negara miskin, yang terpaksa masih memanfaatkan pestisida berbahaya itu. Yang lebih memprihatinkan, sebagian besar petani di negara miskin tidak menyadari bahaya pestisida.

Sampai kini penggunaan pestisida berbahaya secara berlebihan dan tidak bijaksana masih terus berlangsung. Petani yang kurang pengetahuan, hanya melihat bahwa semakin banyak hama kebal terhadap pestisida. cara paling mudah untuk membunuhnya adalah menambah dosisnya. Artinya dosis pencemaran lingkungan juga bertambah secara drastis. Berkah panen dan musnahnya bibit penyakit malaria, harus dibayar mahal dengan rusaknya lingkungan dan ancaman bagi kesehatan manusia