BENCANA ALAM BANJIR DAN LONGSOR

rully syumanda, april 2007

Banjir, dibelahan dunia manapun menjadi kata kerja yang tidak disuka. Delapan ribu tahun sebelum masehi bangsa Sumeria menggunakan banjir untuk mengembalikan kesuburan dataran Tigris, agar bisa ditanami kembali. Dengan berkah alam ini mereka kemudian menambah angka produksi pertaniannya untuk memperoleh profit dari perdagangan. Memperluas wilayah pertanian, membuka hutan untuk padang gembalaan dan kandang ternak, dan menggunakan lebih banyak kayu bakar dan membutuhkan lebih banyak kayu yang harus ditebang untuk memenuhi kebutuhan produksi mereka. Hanya dalam waktu 500 tahun setelah ekstraksi besar-besaran tersebut, Dataran Tigris menjadi kawasan yang tidak lagi produktif. Banjir yang datang tidak lagi mampu membawa humus dari hutan yang telah rusak dibagian hulu. Pada tahun 2.000 SM kawasan ini berubah menjadi padang pasir dengan sedikit semak belukar. Sekarang, pada kawasan yang sama berdiri sebuah negara, Iraq.

Banjir di Indonesia tidak memiliki riwayat yang sama. Banjir tidak pernah diharapkan sebagai anugrah alam untuk melakukan penggelontoran tanah yang tidak lagi subur. Banjir di Indonesia selalu menyisakan kesengsaraan. Ratusan orang meninggal dan ratusan ribu lainnya kehilangan rumah tinggalnya. Terjadi gagal panen dan terhambatnya jalur transportasi yang merugikan masyarakat non korban. Menambah angka inefisiensi negara karena banjir selalu berulang ditempat yang sama dan menghancurkan infrastruktur yang baru saja selesai dibangun akibat kerusakan banjir sebelumnya.

Pada saat ini, korelasi antara banjir dan kerusakan lingkungan selalu menjadi perdebatan. Sebagian melihat adanya anomali cuaca sebagai penyebab melimpahnya debit air. Sebagian lagi melihat bahwa ini adalah siklus alami yang memang harus dilalui. Masuk akal bila hal ini terjadi pada kawasan-kawasan dimana ketebalan gambut cukup tinggi, salah satu bukti adanya siklus banjir tahunan yang mendorong pembusukan berlapis pada tanah. Adakah hubungan antara kerusakan lingkungan dengan bencana banjir di Indonesia? Mengapa terjadi kerusakan lingkungan, bagaimana sebetulnya bisnis ekstraksi kayu dan perkebunan di Indonesia, adakah relasi antara bisnis ekstraksi ini dengan kerusakan lingkungan? Siapa yang mengambil manfaat terhadap itu semua? Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk dicari jawabannya agar managerial negara ini dipersiapkan untuk itu.

Indonesia, adalah negara dengan dua musim. Intensitas satu sama lainnya saling mempengaruhi. La Nina dan El Nino adalah anomali musim yang sering mampir. Dulu, keduanya datang sesuai dengan jadwalnya masing-masing sehingga dapat dilakukan persiapan untuk menyambutnya. Dalam satu dasawarsa terakhir, kedatangan La Nina/El Nino selalu menyalahi jadwal. Tidak ada satupun yang menyanggah bahwa ketidaktepatan ini berkaitan dengan pemanasan global (global warming). Secara sederhana, pemanasan global dapat dijelaskan dengan sebuah kondisi dimana unsur-unsur sinar matahari yang masuk ke bumi tidak dapat disaring dengan baik oleh atsmosfer. Pada sisi yang lain, polusi akibat pembakaran bahan bakar fosil menciptakan barier (penahan) di lapisan stratosfer (12 km diatas bumi) dan menahan seluruh panas yang ada dibumi.

Kembali ke banjir. Menjadi penting kedepan bahwa banjir disebut sebagai bencana lingkungan untuk menghindari pemaknaan serupa dengan bencana gempa bumi, tsunami maupun aktivitas gunung berapi yang kerap disebut bencana alam. Pemaknaan ini sekaligus untuk memperjelas bahwa bencana banjir dan longsor tidak bisa serta merta akibat anomali alam.

Meskipun demikian peran hutan dan daerah aliran sungai dalam memelihara pasokan air, memberi perlindungan tanah dalam suatu daerah aliran sungai, serta meminimalkan pengaruh bencana banjir dan longsor telah banyak didiskusikan dan diperdebatkan. Sering pula dalam berbagai kesempatan disebutkan bahwa daerah aliran sungai di wilayah pegunungan, tata guna lahan, dan air merupakan hal yang saling terkait.

Pengetahuan konvensional selama ini memang sering menyatakan bahwa hutan merupakan “busa” raksasa, yang menyerap air selama di musim hujan dan mengalirkan air tawar perlahan-lahan di waktu yang sangat diperlukan pada musim kemarau dalam suatu tahun. Kenyataannya lebih sulit dari yang dinyatakan tersebut. Daerah tangkapan air merupakan suatu sistem hidrologis yang sangat stabil. Faktor-faktor didalamnya sedemikian komplek. Pemahaman terhadap hidrologis seharusnya digunakan untuk mengkaji pengetahuan kita mengenai keterkaitan antara hutan dan air .

Pemahaman tentang hidrologis juga kemudian tidak boleh menyederhanakan solusi yang diberikan yang seringkali membuat generalisasi dan menyesatkan. Mengandalkan pada hubungan sebab akibat secara sederhana yang seringkali digunakan oleh pejabat, aktivis lingkungan dan mungkin media massa pada akhirnya akan menimbulkan solusi yang tidak akan dapat bekerja dengan baik dalam penyelesaian masalah. Lebih jauh, ketidakpastian yang ada dalam temuan-temuan ilmiah dan kurangnya penelitian jangka panjang memperburuk keadaan. Hampir tidak ada perbedaan antara apa yang kita ketahui, apa yang kita pikir kita ketahui, atau apa yang kita ingin yakini, menyumbang kepada kebingungan yang secara umum ada di sekitar pengaruh hutan terhadap banjir besar. Selain itu, pada saat proses hidrologis ditetapkan dan dimengerti, interaksi yang sifatnya khusus dan sangat tergantung pada lokasi mengarah kepada ketidakpastian dalam generalisasi.


HUTAN, PENGATURAN BESAR ALIRAN SUNGAI DAN PENCEGAHAN BANJIR

Sudah menjadi anggapan yang umum bahwa hutan sangatlah diperlukan bagi pengaturan aliran air sungai dan mengurangi kecepatan aliran permukaan. Dalam beberapa hal, anggapan ini benar adanya. Namun dalam faktanya pula, hutan adalah pengguna air yang sangat besar (FAO 2003). Sejumlah besar air hujan (35 persen) biasanya terhalang oleh kanopi pada hutan tropis dan menguap kembali ke dalam atmosfir tanpa memberikan sumbangan apa–apa terhadap cadangan air tanah. Sebagian besar lainnya yang menyerap ke dalam tanah digunakan oleh pepohonan itu sendiri. Ini tentunya mematahkan teori bahwa penanaman kembali hutan akan meningkatkan aliran air di musim kemarau (Hamilton dan Pearce 1987). Satu hal yang pasti adalah bahwa mengganti tutupan lahan hutan dengan pemanfaatan lain hampir selalu meningkatkan kecepatan aliran dan jumlah aliran sungai. Kecepatan aliran dan pola aliran sungai perlahan–lahan akan kembali kepada kondisi awalnya bila suatu wilayah dibiarkan kembali menjadi hutan. Namun demikian, mengalihgunakan hutan menjadi padang rumput atau dengan kerapatan vegetasi > 2 meter kubik/ha biasanya secara permanen akan meningkatkan kecepatan aliran air secara total.

Berlawanan dengan anggapan umum, hutan memiliki pengaruh yang terbatas terhadap banjir skala besar di daerah hilir. Kenyataan bahwa hutan dan tanah hutan dapat mengurangi kecepatan aliran biasanya karena peningkatan kapasitas penyerapan dan penyimpanan. Hal ini berlaku pada episode hujan dalam skala kecil yang biasanya bukan penyebab banjir besar di daerah hilir. Dalam episode hujan skala besar (seperti hujan–hujan yang menyebabkan banjir besar), terutama hujan yang turun dalam kurun waktu yang panjang, tanah hutan menjadi jenuh dan air tidak lagi tersaring ke dalam tanah tetapi mengalir sepanjang permukaan.

Penelitian di Amerika dan di Afrika Selatan merupakan penelitian yang mengungkapkan pertanyaan akan kaitan konversi hutan dan banjir. Sebuah studi di Himalaya mengindikasikan bahwa peningkatan kapasitas penyerapan lahan hutan dibandingkan dengan lahan bukan hutan tidak cukup untuk mempengaruhi episode banjir besar di hilir . Tetapi, faktor utama yang mempengaruhi besarnya banjir dalam suatu episode hujan besar adalah (i) geomorfologi suatu wilayah dan (ii) hujan yang turun sebelumnya .


EROSI DAN SEDIMENTASI
Telah menjadi anggapan umum bahwa hutan dapat mengendalikan proses erosi dan sedimentasi. Meskipun tutupan lahan memiliki kecenderungan untuk mencegah erosi, kenyataannya yang mencegah erosi bukan tajuk pohon, tetapi pepohonan yang tumbuh di bawahnya dan tumpukan dedaunan/kayu mati di dasar hutan (humus). Beberapa percobaan menunjukkan bahwa kemampuan tetesan hujan di bawah pohon untuk mengerosi tanah lebih besar. Hal ini karena tetesan hujan mengumpul sebelum menetes dari dedaunan serta dengan demikian menghantam tanah dengan kekuatan yang lebih besar . Kenyataan ini menimbulkan masalah, khususnya masalah erosi yang serius di perkebunan yang tanahnya telah dibersihkan dari vegetasi dan humus untuk mencegah bahaya kebakaran atau yang humusnya digunakan bagi alas hewan ternak. Bila permukaan tanah cukup terlindung oleh lapisan humus dengan tutupan lahan yang baik dan menyeluruh, jenis vegetasi apa pun dapat memberikan perlindungan terhadap erosi yang sebanding, dengan tambahan manfaat yaitu penggunaan air yang lebih kecil.

Degradasi lahan dan erosi tanah yang sering dihubungkan dengan hilangnya tutupan hutan tidak selalu akibat dari penggundulan itu sendiri, tetapi lebih kepada praktek pemanfaatan lahan yang buruk (overgrazing, pembersihan humus, perusakan materi organik, pembersihan lahan) yang diterapkan setelah pembersihan lahan hutan . Kebakaran hutan adalah salah satu faktor yang berpengaruh besar pada degradasi lahan dan erosi tanah. Selain itu, banyak erosi yang terjadi setelah penebangan kayu karena berpindahnya tanah karena kegiatan penebangan tersebut (seperti konstruksi jalan, penyeretan kayu, dsb.). Pemadatan tanah menyebabkan kapasitas penyimpanan air tanah yang kecil dan peningkatan kecepatan aliran permukaan.

Pergeseran tanah dapat terjadi karena hilangnya tutupan hutan pula. Akar pepohonan memainkan peran yang penting dalam stabilitas lereng dan tentu saja memberikan tanah sejumlah dukungan mekanis. Tetapi hal ini terbatas pada pergerakan masa yang dangkal (<1m)>3m), belum tentu dipengaruhi oleh ada — tidaknya tutupan lahan yang baik . Episode longsor tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor geologis, topografis, dan iklim, dibandingkan dengan oleh tutupan hutan .

Banjir di Indonesia selama ini selalu dikaitkan dengan penggundulan hutan didaerah hulu. Meskipun ada benarnya namun faktor yang paling mempengaruhi banjir disuatu daerah adalah perubahan tutupan hutan itu sendiri. Sebagaimana telah diungkapkan diatas, mengganti tutupan lahan hutan dengan pemanfaatan lainnya akan meningkatkan kecepatan aliran dan jumlah aliran sungai. Peningkatan debit ini kemudian tidak mampu ditampung oleh sungai yang sebelumnya telah mengalami sedimentasi, juga karena pembukaan kawasan dan tanah yang terbawa oleh tumbukan air. Meskipun bila kemudian ditanam dengan tanaman jangka panjang maka kecepatan aliran dan pola aliran sungai perlahan–lahan akan kembali kepada kondisi awalnya, namun bila jangka waktu bukaan dengan penutupan kembali ini terlalu lama, aliran air dengan cepat akan membawa serta lapisan humus ke sungai sehingga menciptakan banjir. Lapisan humus yang tergerus di lahan tersebut akan membuat tanah menjadi tidak stabil (kemungkinan erosi) dan vegetasi, yang diharapkan mampu memperlambat aliran air dimasa mendatang menjadi lambat dalam pertumbuhannya.

Dalam satu dekade terakhir eskalasi banjir di Indonesia meningkat dengan drastis. Pulau Jawa misalnya, frekwensinya maupun cakupan wilayah yang terkena banjir meningkat 100 persen dari tahun 1996/1999 ke tahun 2000/2003.

Total desa yang terkena banjir di pulau jawa meliputi 61 kabupaten dan kota. Pada medio 1996– 1999, sekitar 1.288 desa terkena banjir. Angkanya meningkat menjadi 2.822 pada medio 2000-2003. Sementara itu, banjir yang terjadi di luar Pulau Jawa juga menunjukkan angka yang significant. Dari 507 kejadian banjir dan longsor yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 hingga Mei 2006, sekitar 422 kali terjadi di luar pulau Jawa dengan Sumatera dan Kalimantan menempati wilayah yang paling sering. Sisanya, tercatat menghajar pulau yang ringkih secara ekologis, Jawa.

Grafik 1 Kejadian Banjir di Pulau Jawa

Grafik 2 Frekwensi Banir dan longsor di Indonesia 1997 - 2006

Sebagaimana telah diungkap, secara umum terdapat pengetahuan tradisional tentang korelasi langsung antara manfaat hutan dengan kemampuannya mengendalikan limpahan air yang luar biasa. Seringkali, hal ini mengaburkan cara pandang pengambil keputusan sehingga mengarah pada upaya berlebihan dalam reboisasi dan perlindungan hutan dibandingkan pengelolaan daerah aliran sungai yang terpadu dan holistik. Seringkali pula hal ini mendorong pengambil keputusan untuk mengambil solusi yang sederhana dengan memindahkan masyarakat yang tinggal di daerah tangkapan air atau menerapkan program-program reboisasi dalam skala besar.

Untuk Indonesia memang belum terdengar, paling tidak hingga hari ini, adanya aktivitas pemindahan masyarakat untuk menghindari terjadinya banjir dan kerusakan lingkungan dimasa mendatang. Namun kalau kita melihat sejumlah statement yang dikeluarkan pemerintah pasca longsor Desa Panti di Jember, rencana BKSDA Taman Nasional Bukit 12 di Jambi terhadap Suku Anak Dalam untuk menghindari kerusakan pada kawasan tersebut, sepertinya ini hanya masalah waktu semata. Meskipun ada demikian banyak fakta tentang berbagai suku di Indonesia yang telah menciptakan hubungan equilibirium dengan alam sekitarnya.

Berlawanan pula dengan anggapan umum, hutan memiliki pengaruh yang terbatas terhadap banjir di daerah hilir yang luas, terutama banjir dalam skala besar (bandang). Memang, hutan dapat mengurangi kecepatan aliran karena kapasitas penyerapan dan penyimpanan yang masih baik. Namun ini hanya berlaku pada hujan dalam skala kecil yang biasanya bukan penyebab banjir besar di daerah hilir. Dalam episode hujan skala besar, terutama hujan yang turun dalam kurun waktu yang panjang, tanah hutan menjadi jenuh dan air tidak lagi tersaring ke dalam tanah tetapi mengalir sepanjang permukaan. Pada sungai yang telah mengalami pendangkalan, ini bisa menjadi pemicu bencana. Sungai tidak lagi mampu menampung air dalam jumlah besar yang datang secara tiba-tiba. Jeda waktu yang seharusnya dimiliki sungai untuk mengelola limpahan air dalam skala besar menjadi hilang. Kemampuan sungai sebagai regulator/pengatur luapan air menjadi berkurang sehingga banjir besar (bandang) tidak dapat dihindari di kawasan hilir.

Di Indonesia sendiri, bencana banjir skala kecil bisa dipastikan akibat kerusakan pada daerah aliran sungai dari mulai hulu hingga ke hilir. Meskipun peraturan perundangan melarang aktivitas yang memungkinkan terjadinya perubahan peruntukkan pada 100 meter dikiri dan kanan badan sungai besar dan 50 meter dci kiri dan kanan sungai kecil, namun toh seringkali pula peraturan ini dilanggar tanpa ada tindakan apapun dari pihak yang berwenang. Hal ini mengakibatkan lebih dari 40 persen Daerah Aliran Sungai di Indonesia berada pada kondisi rusak, disamping sejumlah aktivitas pencemaran yang berkontribusi terhadap perubahan tutupan tepi sungai.

Daerah aliran sungai, berbeda dengan anggapan tradisional selama ini, tidak terbatas pada daerah 100 meter di kiri dan kanan sungai, sebagaimana anggapan umum yang ada. Daerah Aliran Sungai mencakup kawasan yang lebih luas dari itu. Kawasan dengan karakteristik geografi yang sama yang mengarah pada sungai dapat dikategorikan sebagai Daerah Aliran Sungai.

Sementara itu, satuan yang lebih besar dari DAS dikenal dengan nama Satuan Wilayah Sungai. Seluruh Indonesia habis dibagi menjadi 89 satuan wilayah sungai (kumpulan dari beberapa DAS). Kondisi dari sejumlah SWS Indonesia sendiri juga sangat tidak menggembirakan. Sebagian besar SWS Indonesia berada pada titik super kritis yang membutuhkan penanganan secara menyeluruh.

Pada tahun 1984, duapuluh satu SWS berada dalam kondisi yang kritis. Angka ini kemudian meningkat menjadi 45 pada tahun 1992 ditambah satu SWS berada pada kondisi sangat kritis, yakni SWS Asahan. Pada tahun 1992, sekitar 60 SWS berada pada kondisi kritis dan 9 lainnya pada kondisi yang sangat kritis, termasuk didalamnya SWS Krueng Aceh, Meuredue, Pasepeusangan, dll.

Angka SWS yang berada dalam kondisi sangat kritis meningkat menjadi 38 pada tahun 2004 sedangkan angka SWS kritis berkurang menjadi 33 SWS. Bukan karena adanya perbaikan namun karena ada peningkatan status 23 SWS dari kritis menjadi super kritis.

Table 1. Kondisi Satuan Wilayah Sungai Nusa Tenggara

Table 2. Kondisi Satuan Wilayah Sungai Sumatera

Table 3. Kondisi Satuan Wilayah Sungai Jawa

Table 4. Kondisi Satuan Wilayah Sungai Papua

Table 5. Kondisi Satuan Wilayah Sungai Maluku

Table 6. Kondisi Satuan Wilayah Sungai Kalimantan

Table 7. Kondisi Satuan Wilayah Sungai Sulawesi

Bagaimana kritis/super kritis atau tidak kritisnya satuan wilayah sungai dihitung? Ditjen Sumber Daya Air, Depkimpraswil menilai tingkat kekritisan SWS dengan 3 (tiga) faktor:

1) Coefficient of Variation (CV)
Faktor ini menggambarkan fluktuasi debit atau kestabilan air. Bila CV > 0.3 maka aliran dikategorikan tidak stabil, sedangkan CV < 0,3 dikategorikan stabil. Ada sejumlah faktor yang berpengaruh pada Coefficient of Variation (CV), yaitu distribusi curah hujan, kerusakan pada catchment area, tata guna lahan, dan topografi.

2) Indeks Penggunaan Air (IPA)
IPA mencerminkan rasio antara jumlah air yang digunakan dengan ketersediaan air.

3) Pencemaran Air
Pencemaran air akibat masuknya limbah domestik, industri, pertanian, maupun pertambangan. Parameter Utama yang dihitung adalah BOD, COD, logam berat, suspended solids, dan bakteri E. Coli.

Gambar 1 Kondisi Satuan Wilayah Sungai di Indonesia


Dari indikasi diatas, selanjutnya bisa ditarik hubungan antara perubahan tutupan lahan di daerah aliran sungai, kondisi satuan wilayah sungai dan freqwensi banjir dan longsor yang terjadi dikawasan tersebut. Bukaan pada kawasan akan mempengaruhi percepatan laju erosi lapisan teratas dari tanah yang pada akhirnya akan terbawa ke sungai. Namun demikian, perlu dijadikan perhatian bahwa meskipun tutupan lahan memiliki kecenderungan untuk mencegah erosi, kenyataannya yang mencegah erosi bukan tajuk pohon, tetapi pepohonan yang tumbuh di bawahnya dan tumpukan dedaunan/kayu mati di dasar hutan (humus).

Beberapa percobaan menunjukkan bahwa kemampuan tetesan hujan di bawah pohon untuk mengerosi tanah jauh lebih besar. Hal ini karena tetesan hujan mengumpul sebelum menetes dari dedaunan serta dengan demikian menghantam tanah dengan kekuatan yang lebih besar . Kenyataan ini menimbulkan masalah, khususnya masalah erosi yang serius di perkebunan yang tanahnya telah dibersihkan dari vegetasi dan humus untuk mencegah bahaya kebakaran atau yang humusnya digunakan bagi alas hewan ternak. Bila permukaan tanah cukup terlindung oleh lapisan humus dan tutupan lahan yang baik dan menyeluruh, jenis vegetasi apa pun dapat memberikan perlindungan terhadap erosi yang sebanding, dengan tambahan manfaat yaitu penggunaan air yang lebih kecil .

Sementara itu, degradasi lahan dan erosi tanah yang sering dihubungkan dengan hilangnya tutupan hutan tidak selalu akibat dari penggundulan itu sendiri, tetapi lebih kepada praktek pemanfaatan lahan yang buruk (overgrazing, pembersihan humus, perusakan materi organik, pembersihan lahan) yang diterapkan setelah pembersihan lahan hutan . Selain itu, banyak erosi yang terjadi setelah penebangan kayu karena berpindahnya tanah karena kegiatan penebangan tersebut (seperti konstruksi jalan, penyeretan kayu, dsb.). Pemadatan tanah menyebabkan kapasitas penyimpanan air tanah menjadi kecil dan sekaligus meningkatkan kecepatan aliran permukaan.


NEGERI YANG ENGGAN BELAJAR

Perubahan tutupan kawasan memberikan pengaruh yang significant terhadap kemampuan kawasan sebagai regulator air. Ini menjadi pelajaran penting bagi siapapun yang terlibat sebagai pengambil kebijakan dalam pengelolaan kawasan khususnya, dan negeri ini umumnya.

Pada dasarnya, cetak biru pengelolaan kawasan pernah dikeluarkan pemerintah pada tahun 1986 melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan, yang kemudian diikuti dengan Padu Serasi. Inilah salah satu cetak biru tataruang kawasan terbaik yang pernah dimiliki negara ini. Didalamnya telah termuat bagaimana kawasan tersebut diperuntukkan dan difungsikan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan. Namun sebagai pemegang mandat yang menerbitkan peraturan tersebut, pemerintah justru tidak pernah melihat kembali rancangannya dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam. Hampir seluruh kebijakan maupun pendekatan perencanaan yang dibuat pemerintah bersifat subyektif. Bergantung dengan pengalaman pribadi masing-masing pemangku kebijakan disegala level. Otomatis pula, hasil rancangan pengelolaan kawasan didasarkan pada sudut pandang si pemangku kebijakan, yang cenderung berdasarkan pertimbangan ekonomi dan menafikan faktor-faktor lingkungan, sosial, budaya dan ekologi setempat.

Pergeseran antara peruntukkan dan penggunaan kawasan terjadi tanpa ada upaya apapun dari pihak-pihak yang berwenang untuk mengantisipasi apalagi memperbaiki kekeliruan yang terjadi. Pergeseran ini memberikan andil yang tidak kecil bagi penurunan daya dukung lingkungan. Ketidakdisiplinan ini bahkan terjadi hampir diseluruh kabupaten. Diperkirakan penggunaan tataruang diseluruh Indonesia telah bergeser sebesar 83 persen dari konsep awalnya .

Penyebab perubahan tataruang adalah minimnya sosialisasi dan tidak adanya kedisiplinan dari pemerintah daerah untuk mempertahankan kebijakan yang sudah ditetapkan untuk memperhatikan aspek lingkungan.

Pada tahun 2003 lalu, Departemen Kehutanan telah mencatat 16,95 juta hektar hutan disulap menjadi perkebunan. Angkanya meningkat menjadi 17,16 juta hektare pada tahun 2004. Angka tersebut tersebar di lebih dari 56 satuan wilayah sungai selain di Jawa. Ditambah dengan aktivitas ekstraksi hutan sejak awal 60 an, praktis tekanan terhadap satuan wilayah sungai yang ada menjadi tinggi.

Dalam pembuatan tataruang itu sendiri, kali pertama yang harus ditetapkan adalah daerah konservasi seperti hutan lindung dan sebagainya. Setelah itu baru ditentukan kawasan peruntukkan lain. Hal ini dikarenakan kawasan-kawasan tersebutlah nantinya yang akan berperan untuk melindungi masyarakat dari bencana.

Pasca desentralisasi, laju perubahan peruntukkan kawasan mencapai puncaknya. Para kepala daerah tidak lagi mematuhi kebijakan yang sudah dituangkan melalui TGHK dan Padu Serasi. Kewajiban untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah diabaikan. Kalaupun dibuat, sengaja ditunda agar ada justifikasi bahwa RTRWP dibuat dan disusun berdasarkan fakta lapangan. Sementara pada saat bersamaan, praktek konversi hutan menjadi perkebunan dan ektraksi tegakan kayu terus digenjot.

Penyusunan RTRWP berdasarkan peruntukkan yang sudah ada juga menjadi satu kesalahan besar yang terus saja didiamkan. Perubahan peruntukkan yang terjadi selama ini tidak pernah menjadi pelajaran bahwa fungsi kawasan tidak bisa diganti begitu saja. Ketika satu kawasan yang berfungsi sebagai regulator air berubah, kemampuannya akan menurun sehingga potensial menciptakan bencana dimasa mendatang. Penyusunan RTRWP malah justru menjustifikasi bahwa perlu dilakukan perubahan peruntukkan bagi kawasan bersangkutan. Tidak pernah terlintas sedikitpun untuk mengembalikan kemampuan kawasan tersebut kepada fungsinya semula.

Masalah utama lainnya justru datang dari kebijakan tentang tata ruang itu sendiri. Disamping tidak ada ketetapan kapan penyusunan tataruang ditingkat propinsi harus diselesaikan, UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang juga membuka celah yang sangat berbahaya mengingat diberikannya kesempatan untuk melakukan revisi lima tahun sekali walau hanya dengan satu pertimbangan saja. Celah inilah yang sering digunakan untuk melakukan perubahan peruntukkan berdasarkan kepentingan wilayah dan sektoral. Seringkali alasan yang dikemukakan adalah demi pembangunan dan percepatan ekonomi. Padahal, menjadi penting untuk dipertimbangkan bahwa syarat perubahan harus mengacu pada kepentingan nasional dan kepentingan kawasan dengan memperhatikan aspek geografi, ekologi dan sosial budaya. Menjadi sangat naif bila perubahan hanya didasarkan pada kepentingan sektoral atau satu wilayah saja.

Menyalahkan desentralisasi sebagai biang percepatan perubahan peruntukkan juga sangat naif. Mesti dipahami bahwa ketika desentralisasi digulirkan, hampir seluruh fungsi pemerintahan dipindahkan ke kabupaten, melampaui kewenangan propinsi sebagai satu cara untuk menghilangkan ketakutan munculnya separatisme. Pertahanan, pengamanan dan pemerintah pusat memainkan perannya dalam perencanaan nasional dan pemanfaatan sumberdaya alam. Sementara itu, tanggung jawab pertanian, industri dan perdagangan, dan tenaga kerja di berikan ke kabupaten.

Lebih jauh, desentralisasi, dalam kenyataannya telah menghasilkan ketidak seimbangan kekuatan antara nasional dan lokal level. Tiba-tiba saja desentralisasi menciptakan Soeharto-Soeharto kecil yang kemudian melakukan perubahan peruntukkan kawasan atas nama pembangunan tanpa harus berkordinasi dengan pemerintah pusat atau bahkan tanpa harus mematuhi peraturan perundangan yang berlaku.

Masalah bertambah sulit karena kedua level pemerintah ini merasa berhak untuk melakukan perubahan peruntukkan. Yang satu menggariskan pada kebijakan yang berlaku, yang satu lagi bersikeras memandang bahwa daerah berhak menolak kebijakan pusat apabila tidak menguntungkan daerah itu sendiri. Ketiadaan peraturan yang jelas mengenai masalah ini, yang mungkin akan menyelesaikan masalah, seringkali diselesaikan dilapangan.

Ilmu pengetahuan bukanlah sebuah kitab yang setelah dibaca kemudian ditinggalkan. Demikian halnya berbagai kebijakan yang telah dibuat. Bukan sebuah kitab suci yang selesai disusun kemudian disimpan di lemari besi lalu disembah.

Ilmu pengetahuan telah membimbing kita untuk mempelajari gejala awal sebelum menjadi krisis. Anatomi persoalan negeri ini pada dasarnya juga sudah digelar dan dikritisi dalam berbagai kesempatan. Melalui seminar, workshop, diskusi rutin maupun dadakan, simposium nasional dan international, dan sebagainya. Semuanya dilakukan dan menghasilkan tumpukan kertas yang kalau dihitung tingginya telah mencapai bulan. Kembali pada pengambil kebijakan. Tanpa keinginan untuk melakukan tindakan dari apa yang sudah dihasilkan hanya akan menghasilkan sebuah kesia-siaan. Sampai datangnya bencana yang membuat kita terhenyak, bangkit lalu mengevaluasi diri, tapi tidak pernah konsisten untuk menjalankan hasil evaluasi tersebut. Meskipun sudah menjadi pemahaman bersama bahwa ada yang salah dengan berbagai kebijakan dan budaya korupsi negeri ini. Negeri ini memang enggan untuk belajar.

Tidak ada komentar: