SUBSIDI RAKYAT UNTUK INDUSTRI KAYU

rully syumanda, april 2007


Peran lembaga keuangan nasional dan international terhadap pembangunan sektor kehutanan di Indonesia sangat besar.Dengan dukungannyapada masa pra kemerdekaan, Indonesia bisa memenuhi kebutuhan kayu dunia. Pada tahun 1950 – 1956 Indonesia memperoleh pinjaman dari Economic Cooperation Administration (ECA) dan Export Import Bank (EximBank) pada tahun untuk mendirikan 6 buah penggergajian di Brumbung, Bojonegoro, Saradan, Madiun dan Benculuk. Dengan sumber dana yang sama kemudian didirikan pula penggergajian di Samarinda dan dua buah penggergajian di Balikpapan . Segera saja, produksi kehutanan kembali pulih dan bahkan produksinya mendekati produksi pada tahun 1938 (masa perang). Jawatan kehutanan kemudian mengklaim bahwa rehabilitasi terhadap kawasan hutan telah dilakukan dan mencapai areal seluas 11 persen .

Dengan dukungan lembaga keuangan ini pula Industri kehutanan termasuk pulp mampu menghasilkan 16,0 miliar dollar AS pada medio 1992 – 1997, dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 3,5 persen (BPS 2004).

Mesti diakui, tanpa pendanaan bank, proyek eksploitasi hutan skala besar tidak akan mungkin dilakukan. Eksploitasi ini memerlukan modal tidak saja untuk membeli peralatan dan mesin, tetapi juga untuk membayar biaya menebang kayu, memprosesnya, dan mengangkut produk akhir ke pasar. Fungsi bank disini adalah untuk menyediakan kredit untuk perdagangan, letter of credit untuk menjamin pembayaran perdagangan, fasilitas diskon untuk piutang dagang dan instrumen keuangan jangka pendek lainnya . Tanpa ini semua, industri berbasis hutan tidak dapat memasuki pasar saham dan obligasi untuk mendapatkan pembiayaan jangka panjang.

Selama ini, baik bank lokal maupun internasional telah mendanai industri berbasis kehutanan di Indonesia. Sebelum tahun 1997, bank-bank lokal di Indonesia telah menyediakan lebih dari 4 miliar dollar AS dalam bentuk pinjaman untuk industri kayu di Indonesia. Industri kayu kemudian juga menerima lebih dari 7 miliar dollar AS dalam bentuk pinjaman jangka pendek dan pendanaan jangka panjang dari lembaga keuangan internasional (Setiono 2005). Bisa dipastikan bahwa sepuluh bank lokal teratas di Indonesia mendanai industri kayu. Bank-bank tersebut termasuk beberapa bank pemerintah yang sekarang bergabung menjadi Bank Mandiri, Bank Danamon, Bank Umum Nasional (yang telah ditutup oleh pemerintah) dan Bank Internasional Indonesia.

Sementara itu, lembaga-lembaga internasional seperti Credit Suissee First Boston, ING Bank N.V. dan Credit Lyonnais dari Singapura juga telah mendanai ekspansi industri kayu di Indonesia . Sampai tahun 1999 juga tercatat empat bank dari Belanda -ABN-AMRO Bank, ING Bank, Rabobank and Mees Pierson-telah berinvestasi mengembangkan perkebunan kelapa sawit seluas 740.000 ha di Indonesia . Sejak awal tahun 1990an, lembaga keuangan swasta internasional juga telah memainkan peranan penting dalam memfasilitasi ekspansi yang sangat cepat dari industri bubur kayu (pulp) dan kertas di Indonesia. Lembaga-lembaga ini bertanggung jawab dalam menyalurkan lebih dari 12 miliar dollar AS kepada industri-industri tersebut sampai tahun 1999 (Barr 2001).

Namun demikian, meskipun triliunan dolar telah mengalir ke industri ini, hingga saat sektor kehutanan dianggap belum dapat menampakkan indikasi kearah peningkatan kesejahteraan masyarakat di dan sekitar hutan. Sebab mendasar dari kegagalan ini lebih dikarenakan ekstraksi sumberdaya alam hutan turut serta menghancurkan sumber-sumber kehidupan masyarakat setempat. Masyarakat kehilangan bukan saja sumber pendapatan alternatif akibat pembongkaran hutan alam namun juga turut serta menghancurkan daya dukung lingkungan sehingga mempengaruhi musim panen, hama baru, konflik satwa-manusia dan lainnya. Trickle down effect yang diharapkan ternyata tidak terjadi. Pertumbuhan ekonomi hanya muncul pada saat ekstraksi tengah berlangsung untk kemudian padam setelahnya dan meninggalkan luka ekologi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi lokal.

Singkatnya, sektor kehutanan telah gagal dalam menyelesaikan masalah kemiskinan disekiyar hutan. Ditambah kegagalan dalam menyelesaikan konflik-konflik sosial dengan masyarakat lokal.

Pada sisi yang lain, meskipun lembaga keuangan selama ini telah memacu peningkatan penebangan kayu bulat untuk dikonsumsi oleh industri yang juga didanai oleh lembaga keuangan yang sama, industri ini kehutanan Indonesia tiba-tiba saja menjadi sebuah industri yang sangat tidak layak bagi perbankan. Hal ini sangat menarik. Dari anak emas industri di Indonesia, tiba-tiba saja industri kehutanan menjadi seperti penderita penyakit sampar yang harus dijauhkan dari komunitas lain agar tidak tertular.

Maslaah justru muncul dari industri bersangkutan. Eksploitasi yang berlebihan dan korupsi yang merajalela membuat industri kehutanan limbung dan tidak dapat memenuhi kewajiban membayar hutang-hutangnya. Sama seperti industri lainnya di Indonesia, hutang disektor kehutanan tiba-tiba saja harus ditanggung APBN yang berarti ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia. Putusan ini sangat tidak bisa diterima akal. Melalui proses penyehatan perbankan yang didukung dengan pembiayaan dari IMF, Bank Dunia, dan Consultative Group on Indonesia (CGI) utang sektor kehutanan dialihkan menjadi utang pemerintah. Dalam jangka pendek maupun jangka panjang, kredit perbankan dan utang pemerintah akan memberikan tekanan kepada hutan alam di Indonesia. Pemerintah akan memaksa industri kehutanan untuk melakukan eksploitasi hutan alam besar-besaran dapat mengurangi jumlah kredit perbankan dan utang pemerintah.

Sebagai gambaran, jatuhnya nilai rupiah menyebabkan perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak mampu membayar kredit kepada bank. Pemerintah kemudian melaksanakan program rekapitalisasi perbankan dengan cara membekukan operasi bank bersangkutan dam menelan biaya hingga Rp.650 trilyun rupiah. Pada akhir tahun 2005, BPPN memperkirakan angka yang harus ditanggung oleh masyarakat Indonesia mencapai Rp.7.000 trilyun.

Selanjutnya, untuk menyehatkan bank tersebut otomatis kredit macet dari bank tersebut harus diselamatkan oleh pemerintah/BPPN untuk direstrukturisasi dengan tujuan menjadi lancar dan dapat dikembalikan ke dunia perbankan .

Sampai disini, dipahami dulu bahwa ada dua jenis kredit macet yang dimiliki oleh sebuah bank. Pertama, kredit yang tidak terkait dengan pemilik bank. Kredit ini diberikan kepada perusahaan kehutanan yang tidak terkait dengan pemilik bank. Kredit macet jenis ini dipindahkan ke BPPN dan ditangani oleh unit Asset Management Credit (AMC). Per Maret 2001, terdapat 128 perusahaan kehutanan termasuk perusahaan HPH yang kredit macetnya ditangani oleh AMC.

Tabel 1. Sepuluh Besar Kreditur Macet di Sektor Kehutanan Dibawah BPPN.


Jenis yang kedua adalah kredit macet yang terkait dengan pemilik bank (kredit grup). Para pemain disini diantaranya adalah Bob Hasan (Bank Umum Nasional), Soedono Salim (Bank BCA), dan Eka Tjipta Widjaja (Bank International Indonesia). Kredit grup yang macet harus dikeluarkan dari bank dan harus diselesaikan oleh pemilik bank. Bob Hasan dan Salim menandatangi perjanjian dengan BPPN untuk membentuk sebuah Holding company (Holdco) dan memberikan tanggung jawab kepada Holco untuk menyelesaikan kredit macet grup tersebut. Holdco menerbitkan surat utang kepada BPPN sebesar nilai kredit macet pemilik bank dan pemilik bank menyerahkan aset pribadinya kepada Holdco untuk dijual sebagai sumber pembayaran utang Holdco kepada BPPN (Setiono 2005). Umumnya, aset-aset pribadi tersebut adalah saham di perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh para konglomerat

Pada mulanya utang macet dibawah AMC diarahkan untuk direstrukturisasi sehingga menjadi utang lancar dan laku dijual kepada lembaga keuangan termasuk bank-bank yang telah disehatkan pemerintah. Proses restrukturisasi utang dibawah AMC dilakukan melalui 7 langkah. Salah satunya adalah melakukan uji tuntas yang mencakup kecukupan bahan baku kayu dari industri yang bersangkutan. Hasilnya kemudian digunakan oleh BPPN untuk menilai kemampuan perusahaan menyelesaikan utangnya kepada BPPN.

Terhadap utang macet perusahaan di sektor kehutanan tersebut, pada intinya memberikan kesimpulan sbb:
• Sulit mencari model keuangan yang menguntungkan pemerintah untuk menyelesaikan utang perusahaan kehutanan.
• Tingkat kemampuan perusahaan membayar utangnya rata-rata hanya sebesar 20%. Artinya, perusahaan tidak akan mampu membayar Rp.80 untuk setiap Rp.100 utang mereka kepada BPPN.
• Setelah dilakukan penilaian perusahaan dan memperhitungkan nilai buku utang perusahaan, banyak perusahaan kehutanan yang memiliki nilai ekuitas (modal) negatif.
• Sebagian besar utang macet gagal direstrukturisasi oleh AMC.
• Hanya satu utang macet yang selesai direstrukturisasi dan laku dijual kepada lembaga keuangan. Beberapa utang yang telah selesai direstrukturisasi tidak laku dijual kepada lembaga keuangan.
• Debitur mengendalikan secara normal operasi perusahaan tanpa ada pengawasan yang cukup tentang kewajiban pembayaran utangnya kepada BPPN .

Kesimpulannya adalah industri kehutanan memiliki kemampuan membayar utang yang sangat rendah dan memiliki risiko kegagalan yang tinggi. Resiko yang terdapat didalam sektor kehutanan tidak sebanding dengan nilai utang yang ditawarkan. Kondisi ini menyebabkan utang macet sektor kehutanan sulit direstrukturisasi dan jika dapat direstrukturisasi sulit dijual kepada pemodal lembaga keuangan.

Mendekati akhir masa kerja BPPN dan dalam upaya menghasilkan berapapun nilai pemasukan untuk APBN, BPPN kemudian melakukan kebijakan jual obral utang macet. Kebijakan ini tidak hanya membahayakan sistem perbankan yang masih sangat lemah, tetapi juga membahayakan kelestarian hutan.

Jika utang macet dibeli oleh sebuah bank, maka tingkat kecukupan modal bank akan berkurang dan membahayakan kesehatan bank tersebut. Utang macet tersebut akan tetap menjadi utang perusahaan kehutanan yang harus dibayar kepada pembeli utang macet tersebut. Sumber pembayaran utang tentunya adalah hutan. Hutan akan dieksploitasi secara maksimal untuk membayar utang tersebut. Dengan tingginya risiko usaha di sektor kehutanan, ada indikasi pembeli utang macet ini akan terkait dengan perusahaan kehutanan di BPPN. Walaupun BPPN melarang pemodal yang terkait dengan debitur BPPN membeli utang di BPPN, sulit bagi BPPN untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Nilai jual utang macet maksimal hanya 20%.

Dengan demikian, pemerintah memberikan subsidi sebesar 80% kepada debitur kehutanan yang berhasil membeli utangnya melalui kaki tangannya dengan nilai hanya 20% dari total utang. Jika utangnya adalah Rp.100, maka debitur hanya perlu membayar Rp.20. Sisanya dibayar oleh rakyat Indonesia.

Kebijakan penyelesaian utang macet para konglomerat kehutanan seperti diuraikan diatas mengabaikan pengelolaan hutan oleh perusahaan-perusahaan konglomerat ini. Para konglomerat yang secara teknis dalam kondisi bangkrut dibiarkan oleh BPPN untuk menerapkan pengelolaan hutan yang tidak lestari. Bahkan Raja Garuda Mas dapat melakukan ekspansi kapasitas pabrik pulpnya menjadi 2.000.000 ton per tahun pada saat utangnya macet di BPPN. Pemerintah merasa tidak ada yang salah dengan ini. Harapannya tentu dengan peningkatan kapasitas maka RGM akan mampu memenuhi kewajiban pembayaran hutangnya. Pemerintah jutsri tidak merasa salah dengan kenyataan bahwa kKelebihan kapasitas adalah salah satu penyebab tingginya tingkat kerusakan hutan di tanah air yang menimbulkan inefisiensi dalam APBN dan APBD..

Dengan mempertahankan pola pengelolaan hutan yang ada saat ini, diperkirakan pemerintah akan kehilangan sebesar Rp.40 trilyun per tahun dari kegiatan penebangan liar dan hilangnya jasa lingkungan yang diberikan oleh hutan. Tingginya permintaan atas kayu dan lemahnya penegakan hukum telah menyebabkan merebaknya penebangan liar sehingga mempercepat rusak dan hilangnya hutan. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia atau APHI memperkirakan setiap tahunnya jumlah kayu yang ditebang secara illegal mencapai 60 juta m3 kayu dengan nilai Rp.30 trilyun per tahun. Dengan menggunakan perhitungan Bappenas, hilangnya hutan sekitar 1.600.000 ha per tahun akan mengakibatkan pemerintah mengalami kerugian sebesar Rp.10,9 trilyun per tahun seperti yang terurai didalam Tabel 2.

Tabel 2 Perkiraan nilai kerugian pertahun


Melalui BPPN, seharusnya pemerintah menguasai secara strategis seluruh industri kehutanan swasta kecuali industri sawmill. Pemerintah juga dapat memiliki peran yang cukup strategi di perusahaan HPH swasta. Dengan memperhitungkan kapasitas industri dan areal HPH perusahaan kehutanan dibawah BPPN, Tabel di bawah ini menyajikan proporsi pengaruh yang dapat BPPN lakukan kepada sektor kehutanan secara nasional. Berdasarkan data dibawah ini, BPPN saat itu menguasai 60% kapasitas industri plywood, 75% kapasitas industri blockboard, 9% kapasitas industri sawmill, 78% industri pulp, dan 58% kapasitas industri kertas secara nasional. Kecuali industri sawmill, BPPN dapat mengendalikan secara strategis industri kehutanan karena BPPN dapat menguasai lebih dari diatas 60% kapasitas industri.

Tabel 3. Peran Strategis BPPN


BPPN seharusnya dapat menjadi lembaga strategis di sektor kehutanan karena perusahaan-perusahaan ini memiliki utang sebesar kurang lebih Rp.26 trilyun yang tidak dapat dibayar oleh perusahaan, baik bunganya maupun pengembalian pokok pinjaman. Melalui penyelesaian utang macet ini, BPPN seharusnya lagi dapat menjadi pemilik saham perusahaan melalui konversi utang ke saham. Menurut BPPN, 80% utang perusahaan tidak akan mampu dibayar oleh perusahaan dengan tingkat operasi yang sesuai dengan peraturan dibidang kehutanan yang berlaku.

Bagian utang ini disebut dengan unsustainable loan. Dengan demikian, 80% utang perusahaan akan dikonversi menjadi saham perusahaan. Jumlah konversi ini, menurut analis BPPN, pada umumnya akan memberikan jumlah saham yang cukup bagi BPPN atau pemerintah untuk mengambil alih kendali perusahaan kehutanan swasta ini. Dalam posisi ini, pemerintah dapat melakukan restrukturisasi industri kehutanan dengan lebih efisien dan efektif. Pemerintah dapat menerapkan skenario restrukturisasi industri yang paling tepat baik dilihat dari sudut sosial (tenaga kerja), ekonomi (kesehatan industri dan devisa luar negeri), dan politis. Pemerintah dapat menutup perusahaan yang tidak sehat dan mengalihkan tenaga kerja kepada perusahaan-perusahaan yang masih sehat dan masih bekerja dibawah kapasitas yang diizinkan. Sayangnya ini tidak dilakukan. Lemahnya integrasi kebijakan antara BPPN, Departemen Kehutanan, dan Deperindag terhadap perusahaan-perusahaan kehutanan dibawah BPPN telah menyebabkan terjadinya kerugian pemerintah pada saat ini, yang pada akhirnya menjadi tanggung jawab rakyat.

Tidak ada komentar: