DEFORESTASI DAN ILLEGAL LOGGING

rully syumanda, April 2007

Illegal logging adalah terminologi paling menarik dibicarakan dalam sektor kehutanan di Indonesia. Muncul akibat besarnya gap antara supply dan demand Industri di Indonesia, illegal logging segera saja digunakan oleh pemerintah sebagai sebuah faktor dominan yang menyebabkan hutan alam di Indonesia. Menafikan izin konversi hutan alam (yang juga cenderung illegal) seluas 27,02 juta hektar oleh pemerintah kepada pengusaha untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan HTI.

Konversi hutan yang ditujukan untuk pembangunan kelapa sawit merupakan salah satu faktor peningkatan deforetasi di Indonesia. Sejak menjadi primadona, hutan seluas 16,3 juta hektar hutan jutaan hektar hutan alam tropis dibabat. Berbanding terbalik dengan luas lahan, konsesi yang telah ditanami justru tidak mengalami peningkatan berarti. Dari 3,17 juta ha pada tahun 2000, hanya mengalami peningkatan menjadi 6.32 jt ha pada tahun 2006 . Lebih dari 10 juta hektar hutan ditinggalkan begitu saja setelah tanam tumbuh diatasnya di”panen”.

Masalah lainnya muncul dari industri pulp dan paper. Industri yang rakus kayu ini membutuhkan setidaknya 27,71 juta meter kubik kayu setiap tahunnya. Dengan kondisi Hutan Tanaman Industri untuk pulp yang hanya mampu mensuplai kurang dari separuhnya, industri ini akan meneruskan aktivitas pembalakan diatas hutan alam.

Tabel 1. Laju deforestasi Indonesia

Kembali pada terms illegal logging, penebangan tidak sah tersebut muncul salah satunya akibat peningkatan kapasitas industri kayu yang yang tidak dibarengi dengan analisa terhadap daya dukung lingkungan, penghormatan terhadap hak-hak tenurial, korupsi, persiapan hutan tanaman industri yang akan mensuplai bahan baku dan kecenderungan untuk melihat hutan sebagai potensi ekonomi berdasarkan tegakan pohon yang ada didalamnya.

Hutan itu sendiri dipandang dengan sudut pandang yang berbeda. Baik oleh masyarakat, perusahaan, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Tabel berikut bisa memberikan persepsi dari masing-masing pihak tentang hutan itu sendiri:


Penguasa nusantara, sejak lama memiliki kecenderungan untuk melihat hutan berdasarkan tegakan kayu diatasnya. Penjajah Belanda dan Jepang juga melihat hutan sebagai sumberdaya yang harus diekstraksi untuk pembuatan kapal, perdagangan, lahan penanaman untuk omoditi ekspor maupun sebagai pelumas mesin perang, dsb.

Sudah sejak lama pula hutan menjadi alat konsolidasi politik bagi penguasa, dari Belanda sampai Soeharto. Dimasa Megawati, hutan dijadikan alat konsolidasi politik bagi partai pemenang pemilu, yang ternyata juga berasal dari partai dimana Megawati sebagai pemimpin. Euforia desentralisasi telah mendorong munculnya ribuan perizinan pengolahan kayu yang sekaligus memicu deforestasi pada kecepatan yang mengagumkan.

Dalam 40 tahun Indonesia akan menjadi tandus,dan faktor penyebab utamanya adalah praktek penebangan kayu (logging) tanpa perhatian
(World Bank, 1986)

Pada tahun 2002, Departemen Kehutanan memperkirakan luas kawasan hutan yang terdegradasi mencapai 59,7 juta hektar dengan lahan kritis didalam dan diluar kawasan mencapai 42,1 juta hektar.

Hingga 1999/2000, kapasitas produksi industri kehutanan meningkat menjadi 74 juta meter kubik pertahun . Sementara itu Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa produksi kayu yang ditebang secara legal pada tahun 2000 hanya mencapai 17 juta meter kubik. Bila produksi ini ditambah dengan kayu impor (yang menurut berbagai kalangan nilainya sangat kecil dan tidak significant) yang mencapai 3 juta meter kubik,

Maka kita mendapatkan pasokan kayu sebesar 20 juta meter kubik. Sampai disini, diketahui defisit untuk memenuhi kebutuhan kayu bagi industri mencapai angka 54 juta meter kubik. Katakanlah bahwa seluruh perusahaan tidak menggenjot angka produksinya dengan maksimal, asumsi ini memungkinkan mengingat mesin yang sudah tua, sehingga kapasitas produksi hanya 80 persen, maka akan mendapatkan gambaran defisit sebesar 39,2 juta meter kubik setiap tahunnya.

Dengan angka defisit seperti ini, ditambah gambaran bahwa pada tahun 2000 tidak ada satupun catatan yang menunjukkan terjadinya kebangkrutan disektor industri kayu, maka bisa dipastikan bahwa pada tahun 2000, lebih kurang 39 juta meter kubik kayu yang ditebang di Indonesia adalah ilegal. Angka tersebut sekaligus menggambarkan bahwa laju deforestasi pada tahun 2000 mencapai 1,85 juta hektar dengan kerugian nominal langsung dari kayu mencapai 47,01 trilyun rupiah.

Tabel 3. Defisit industri Indonesia, laju deforestasi dan kerugian nominal


Pada tahun 2003, meskipun pemerintah hanya memberikan jatah tebang sebesar 6,8 juta meter kubik namun Departemen Kehutanan sendiri memperkirakan bahwa kapasitas produksi industri kehutanan mencapai 73 juta meter kubik. Sedangkan kemampuan hutan alam hanya mencapai 22 juta meter kubik pertahun dengan perincian 7 juta meter kubik dari hutan alam dan 15 juta meter kubik dari hutan tanaman industri. Dengan figure ini dapat dipastikan bahwa 36,4 juta meter kubik kayu yang ditebang di Indonesia adalah illegal. Angka ini sekali lagi menggambarkan laju deforestasi di Indonesia pada tahun yang sama mencapai 1,825 juta hektar pertahun dengan kerugian nominal mencapai 43,680 trilyun rupiah.

Pada tahun 2006, sebagian besar hutan tanaman di Sumatera dan Kalimantan sudah mulai mampu memenuhi kebutuhan industri sehingga pasokan bahan baku mencapai 46,7 juta meter kubik. Namun ini toh belum mampu memenuhi kebutuhan industri yang juga meningkat, akibat peningkatan produksi industri pulp, yang mencapai 96,19 juta meter kubik. Dengan figure ini dipastikan 30 juta meter kubik kayu ditebang secara illegal sehingga menciptakan angka deforestasi sebesar 2,6 juta ha. Belum termasuk kayu yang diselundupkan ke Malaysia yang diperkirakan mencapai 10 juta meter kubik setiap tahunnya.

Dengan kondisi kekurangan bahan baku ”resmi” dimulailah pesta pembalakan besar-besaran dalam sejarah industri kehutanan di Indonesia. Pada awal tahun 2000, seorang pejabat senior Departemen Kehutanan mengakui bahwa:

”industri pengolahan kayi telah diizinkan melakukan ekspansi tanpa mempertimbangkan kemampuan pasokan kayu yang tersedia, sehingga menyebabkan kelebihan kapasitas. Kegagalan memasok kayu secara resmi sebagian besar ditutupi dengan pembalakan illegal, yang telah mencapai proporsi epidemis”

Sampai disini, jelas sudah bahwa illegal logging adalah sebuah aktivitas kehutanan yang tidak saja merugikan secara lingkungan namun juga menciptakan sejumlah masalah besar lainnya baik dalam perannya dalam penghancuran sistem ekonomi maupun perannya sebagai pemicu konflik. Demikian halnya menjadi mustahil untuk menyangkal bahwa illegal logging adalah produk pokok masalah struktural disektor kehutanan yang terus menyebar seperti penyakit menular.

Sejak tahun 2001 hingga 2006, diperkirakan angka kayu yang ditebang secara illegal mencapai 23,323 juta meer kubik setiap tahunnya. Menciptakan kerugian negara sebesar Rp. 27,9 trilyun setiap tahun sejak tahun 2001. Operasi Hutan Lestari, meskipun mampu menekan keinginan orang untuk melakukan pembalakan secara liar namun dianggap belum mampu memenuhi target. Rata-rata setiap tahun, hanya 8 persen dari kayu yang tertebang secara illegal berhasil ditangkap. Pada tahun 2005 angka ini melonjak. Sepertinya operasi hutan lestari pada tahun tersebut membukukan banyak keberhasilan.

Tabel 4. Tebangan Kayu Tidak Sah Per Propinsi*


Graffik 1. Perbandingan antara tebangan tidak sah dengan yang ditangkap

DEFINISI ILLEGAL LOGGING

Illegal logging bukanlah sebuah masalah baru. Usianya hampir sama dengan sejarah penebangan komersial itu sendiri. Di Indonesia, sejak jaman penjajahan Belanda, pencurian kayu kecil-kecilan sering dilakukan di tanah-tanah yang diberikan izin konsesi penebangan oleh Belanda . Bahwa illegal logging menjadi perhatian yang sedemikian besar pada saat ini tidak lain karena skala dan intensitasnya yang memang sangat luar biasa.

Definisi illegal logging itu sendiri belum menemukan bentuk bakunya. Perbedaan dalam menentukan definisi ini seringkali terjadi, baik antara ornop lokal, ornop international dan masyarakat. Pada tahun 2000, Telapak menyelenggarakan lokakarya untuk menemukan definisi tersebut. Disepakati pada saat itu definisi dari illegal logging adalah “Kegiatan kehutanan yang tidak mendapat ijin dan yang merusak”

Pada tahun 2003, Lembaga Ekolabel Indonesia kemudian ditunjuk untuk memprakarsai penyusunan definisi “Kayu Sah”. Melalui serangkaian pertemuan yang alot, kemudian ditemukan definisi sah tidaknya kayu:

“Kayu disebut sah jika kebenaran asal kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindah-tanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku.”

Istilah ” Illegal Logging” itu sendiri berasal dari wacana yang dibawa dari luar, dan konteks yang dimaksud dapat berbeda dengan Indonesia . Dalam bahasa Indonesia, setidaknya digunakan istilah “penebangan liar” atau “penebangan haram”. Bagaimana pun istilah ini sangat bernuansa hukum, dan seringkali batasan yang digunakan oleh pemerintah dan sektor swasta, betul-betul dalam konteks hukum an sich. Pandangan legalistik ini, membuahkan pendekatan yang legalistik pula. Hal ini dapat dilihat dari istilah-isitilah yang digunakan seperti penegakan hukum atau law enforcement.

Cara pandang yang demikian menjadi pangkal dari seluruh kerumitan hukum dan implementasi yang dilakukan kemudian. Indonesia sendiri mengalami kesulitan luar biasa untuk menyikapi illegal logging. Terdapat konflik satu sama lain antara UU Otonomi Daerah dan UU Kehutanan. Bahkan untuk peraturan yang terkait dengan kehutanan sendiri terdapat sedikitnya 500 peraturan yang saling bertolak belakang dan tumpang tindih satu sama lain.

Ketika sektor kehutanan didesentralisasikan, niat baik ini ternyata tidak menghasilkan satu peraturan perundangan yang mencukupi dan mampu menampung geliat dari desentralisasi itu sendiri. Pemerintah lokal tidak memiliki sumber keuangan yang mencukupi untuk menjalankan roda pemerintahan daerah. Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan yang memberi otoritas kepada pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin 100 ha dalam upaya untuk mengentaskan kemiskinan. Harapannya, kebijakan ini bisa digunakan oleh masyarakat untuk membangun subsistence pertanian yang akan menopang penghidupan mereka, disamping sebagai kompensasi atas hilangnya lahan tenurial milik masyarakat.

Model penebangan seperti ini tidak membutuhkan kewajiban untuk melakukan reforestasi dan hanya berlaku untuk satu tahun. Pada akhirnya, sikap yang mendua dari sebuah kebijakan, tumpang tindih kebijakan itu sendiri, konflik antara peraturan ditambah kebutuhan untuk mendapatkan financial bagi pendapatan daerah telah mendorong pemerintah lokal untuk mengeluarkan perizinan pengelolaan hutan skala besar yang seringkali tumpang tindih dengan perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.

Dengan kerumitan seperti ini, Pemerintah Pusat pun kebakaran jenggot dan mengklaim bahwa seluruh ijin resmi tersebut bertentangan dengan UU Kehutanan. Lalu, dengan kerumitan ini pula, untuk menentukan legal atau tidak legal sebuah kayu dari sebuah operasi kehutanan, hukum mana yang anda pakai?

Interpretasi hukum atas “illegal logging” pada akhirnya hanya akan terbatas pada persoalan hukum semata-mata. Untuk menentukan legalitas sebuah operasi atau kayu kayu yang dihasilkan dari operasi kehutanan tertntu, maka ia akan menjadi otoritas ‘orang-orang hukum’, yang cara pandangnya tentu saja pada nilai-nilai normatif pada hukum-hukum secara tekstual .

Istilah "illegal logging" juga seringkali dikenakan pada masalah perdagangan illegal atau penyelundupan kayu maupun produk kayu (kayu gergajian, plywood, dll). Fenomena ini dapat dilihat secara kasat mata dengan menggunakan data-data resmi antara negara pengekspor dengan negara pengimpor. Sebagai misal, pada tahun 2000, catatan pemerintah menunjukkan Indonesia tidak mengimpor sebatang kayu bulat pun ke Malaysia, sementara data di negara tersebut menunjukkan bahwa Malaysia telah mengimpor kayu bulat dari Indonesia sebesar 623.000 meter kubik. Sementara itu di Cina, angka impor kayu lebih besar 103 kali dari angka ekspor kayu dari Indonesia. Seperti fenemona gunung es, realitas "illegal logging" dan illegal trade tentu saja lebih besar dari angka-angka resmi tersebut.

Dengan kondisi seperti ini, tidaklah mengherankan apabila isu illegal logging mendapat perhatian utama dari berbagai kalangan. Masalahnya adalah, terdapat perbedaan mendasar dari masing-masing organisasi/institusi tersebut dalam memandang illegal logging. Musti diakui bahwa isu illegal logging adalah isu yang paling ramah dan tidak memiliki dimensi politis sama sekali. Isu illegal logging lebih merupakan dimensi teknis. Berkaitan dengan hukum positif yang berkenaan dengan cara–cara penebangan. Dengan isu ini pula pemerintah dapat dengan nyaman bertemu muka dengan NGO. Jauh berbeda apabila isunya berkaitan dengan masalah tenurial, hak-hak sosial budaya maupun hak asasi manusia.


REDEFINISI ILLEGAL LOGGING

Hingga hari ini, lebih dari jutaan dolar dihabiskan untuk membahas masalah illegal logging di Indonesia. Berbagai analisa, pembentukan misi, dan program telah dilakukan untuk membantu mengatasi masalah illegal logging. Belum terhitung pula banyaknya pertemuan berbiaya mahal yang diselengarakan dalam tiga tahun terakhir ini, baik sekala nasional, regional maupun internasional. Namun jumlah kayu tangkapan dari hasil praktek tidak sah tersebut jauh dari kenyataan bahwa praktek illegal logging berlangsung secara terang-terang-an dan melibatkan hampir seluruh unsur dinegeri ini. Dari mulai aparat kepolisian berpangkat Prajurit Dua sampai Jenderal, dari seorang pegawai rendahan sampai seorang Bupati dan Ketua DPR.

Dukungan lembaga donor juga mengalir mendukung pemerintah Indonesia dalam mengatasi “illegal logging” ini. Bila isu “illegal logging” adalah sebuah isu mesra antara pemerintah dan ornop, maka bagi donor, isu ini adalah isu yang paling menarik untuk didanai. Namun, perhatian dan dukungan yang luas tersebut belum mencerminkan sebuah cara pandang dan kepentingan yang sama terhadap masalah “illegal logging”. Kalangan ornop biasanya melihat masalah ini dalam sebuah persepsi “masalah sosial” yang lebih luas dalam pengelolaan sumberdaya alam, sementara pemerintah nampaknya lebih menekankan aspek “penegakan hukum”, dan lembaga donor datang dengan kepentingan “jaminan pasokan kayu”.

Istilah illegal logging berpotensi membawa pemaknaan dangkal atas kompleksitas masalah kehutanan Indonesia, karena illegal logging kerap dilihat seolah-olah sebagai sebuah masalah utama yang harus diperangi dengan segala cara, tanpa melihat akar masalah yang menyebabkan terjadinya fenomena illegal logging tersebut.

Dalam carut-marut hukum dan ketidakjelasan kerangka-kerja hukum di Indonesia, istilah ini juga akan dapat mendorong perdebatan yang menjebak pada konteks hukum yang sangat kabur, membingungkan, dan lebih jauh lagi dapat membawa implikasi politis bagi rakyat yang sementara ini menjadi 'sasaran tembak' empuk istilah ini. Kepentingan industri kayu juga nampaknya memanfaatkan kampanye ini untuk untuk mendukung legitimasi pembalakan "legal". Kampanye anti "illegal logging" juga dapat membuat pandangan publik menjadi myopic terhadap masalah-masalah 'commercial logging' secara keseluruhan.

Sangat krusial melakukan pemaknaan ulang atas terminologi "illegal logging" dengan makna-makna lokal, dengan aspek-aspek hukum adat, keberlanjutan dan aspek-aspek sosial lainnya, ATAU, melawan mainstream terminologi "illegal logging" dengan terminologi lain yang lebih 'politically correct' misalnya seperti "destructive logging" atau pembalakan komersial yang merusak .

Tidak ada komentar: