PARADOKS HUTAN TANAMAN INDUSTRI

Maret 2003

Bagi jutaan masyarakat lokal di seantero nusantara, pembangunan Hutan Tanaman Industri (selanjutnya akan disebut dengan kebun kayu komersial) juga berarti membangun masalah. Disadari atau tidak, pembangunan kebun kayu komersial sejak awal merupakan kesalahan fatal. Sebagai satu model pengelolaan sumberdaya hutan, kebun kayu komersial, merupakan blunder (kecerobohan) kedua setelah pembalakan hutan alam melalui sistem HPH, karena setidaknya tiga hal sebagai berikut:
(1) Mengesahkan perusakan hutan alam karena pembangunannya membongkar hutan-hutan alam, dan pembangunan kebun kayu komersial terutama dilakukan untuk mendapatkan insentif Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK);
(2) Mengesahkan subsidi rakyat bagi konglomerat yaitu melalui pemberian dana reboisasi (DR) yang berasal dari penebangan hutan alam yang seharusnya digunakan untuk jaminan kelestarian hutan alam bagi kepentingan rakyat pada masa-masa yang akan datang;
(3) Mengesahkan pengabaian hak-hak rakyat, melalui pelepasan lahan-lahan produktif milik masyarakat lokal menjadi kebun kayu komersial.

Sebagian besar kebun kayu skala besar dibangun di atas tanah-tanah yang telah didiami oleh masyarakat lokal. Meskipun tujuan pembangunan kebun kayu adalah untuk menyediakan kayu dalam jumlah besar dalam waktu sesingkat-singkatnya, selalu dikatakan bahwa pembangunan kebun kayu adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Selalu dipropagandakan bahwa keuntungan pembangunan kebun kayu sebenarnya diperuntukkan bagi masyarakat setempat. Dalam skala nasional pun sering dikatakan bahwa masa depan ekonomi dan sosial negara tergantung dari kebun kayu sebagai bahan baku kertas. Janji-janji ini terutama dikatakan bahwa kebun kayu akan meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan ekspor bagi pembangunan negara.

Kebun kayu komersial yang seharusnya dibangun di atas tanah kritis, padang alang-alang atau hutan tidak produktif, namun —karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi—, jarang sekali dibangun diatas lahan-lahan yang telah mengalami degradasi tersebut. Selain untuk mendapatkan insentif dari pemanfaatan kayu, pembangunan kebun kayu komersial —yang cepat tumbuh dan daur pendek— menginginkan kesuburan dan ketersediaan air dalam keadaan dan jumlah tertentu. Dan, lahan-lahan tersebut pada umumnya sedang digunakan oleh masyarakat lokal untuk berbagai keperluan untuk menyediakan kebutuhan hidup mereka.

Akasia dan Ekaliptus adalah pohon utama bagi pembangunan kebun kayu komersial skala besar. Dalam skala besar, jenis-jenis cepat tumbuh tersebut mengancam sistem pertanian lokal. Banyak bukti menunjukkan bahwa kedua jenis ini yang ditanam secara monokultur dan skala besar, telah menimbulkan masalah-masalah bagi tanah dan air. Di Porsea Sumatera Utara, dimana Ekaliptus ditanam menggantikan pohon-pohon pinus yang asli, para petani mengatakan bahwa telah terjadi penurunan permukaan air tanah secara serius. Meskipun diketahui kedua tanaman tersebut sangat rakus akan air dan nutrisi tanah, yang menjadi masalah bukanlah jenis kedua tanaman tersebut. Penanaman monokultur dalam skala besar —baik tanaman lokal maupun eksotik— akan mengakibatkan hal yang sama. Masalah lain adalah rentannya kebun kayu terhadap serangan hama yang dapat menyerang tidak saja kebun kayu tersebut namun juga areal pertanian yang lain —mulai dari serangga, jamur sampai virus. Masalah serius lain dari kebun kayu ini adalah ia begitu mudah terbakar, bahkan sejak penyiapan lahan.


MASALAH LOKAL DAN NASIONAL

Kebun kayu komersial yang umumnya mengambil lahan hutan alam, juga mengakibatkan masalah-masalah sosial, ekonomi dan budaya. Hutan alam yang biasanya menjadi penyedia air, makanan dan tanaman yang dibutuhkan masyarakat, madu, buah-buahan, sayuran, hewan buruan, bahan untuk bangunan dan peralatan, obat-obatan, kayu api dan sumber bagi nilai-nilai spiritual bagi masyarakat lokal. Sekali hutan alam hilang dan digantikan kebun kayu, maka seluruh kebutuhan tersebut serta-merta hilang dan tidak dapat digantikan. Dan, kebun kayu sering menciptakan konflik horisontal di dalam masyarakat antara mereka yang menolak kehadiran perusahaan kebun kayu dengan mereka yang dapat menerimanya. Pengusahan kebun kayu dengan sponsor pemerintah membuat kedua kelompok ini menjadi terpecah dengan menyebut kelompok yang pro sebagai “maju” dan “terbelakang” bagi yang menolaknya. ‘Money politic’ sudah sejak lama diterapkan dalam menghadapi masyarakat yang dianggap berpotensi ‘menggangu’. Pemberian uang juga kerap diberikan kepada pemimpin-pemimpin desa dan kepala-kepala adat agar masyarakat menerima proyek-proyek pembangunan kebun kayu serta membantu mempermudah manipulasi penyerahan lahan-lahan hutan untuk pembangunan kebun kayu. Pembangunan kebun kayu juga dapat mengakibatkan tekanan sosial bagi masyarakat lokal dengan migrasi besar-besaran yang mengikuti pembangunan kebun kayu.

Secara keseluruhan masalah-masalah sosial pembangunan kebun kayu tersebut dapat terakumulasi menjadi masalah nasional. Contoh yang paling umum adalah perpindahan penduduk secara besar-besaran di sekitar kebun kayu, —secara langsung maupun tidak— dapat mengakibatkan tumbuhnya pemukiman-pemukiman penduduk padat dengan sejumlah masalah-masalah sosial seperti tumbuhnya kemiskinan, kejahatan, prostitusi dan seringkali menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat.

Politik pembangunan kebun kayu dapat pula menimbulkan masalah ekonomi, yaitu konsentrasi kekayaan. Dengan menguasai lahan dalam skala besar, industri kebun kayu membutuhkan dukungan dan investasi jangka panjang yang membebani pemerintah. Dalam banyak kasus, perusahaan tersebut butuh subsidi langsung, keringanan pajak, hutang lunak dari kreditor, penelitian kehutanan pembangunan jalan serta peningkatan infrastruktur lain dan subsidi-subsidi lain yang diperoleh dari rakyat secara keseluruhan. Dengan kata lain, dukungan bagi pembangunan kebun kayu —yang diberikan pemerintah— sebenarnya berasal dari rakyat untuk segelintir pemilik kebun kayu. Konsentrasi kekayaan berimplikasi pada konsentrasi kekuasaan dan menghilangkan kepemilikan masyarakat lokal. Pembangunan kebun kayu skala besar, yang dapat mendorong ekonomi makro, namun di lapangan menghancurkan pola-pola ekonomi lokal dan konservasi alam, serta menjadikannya menjadi bagian dalam sumberdaya ekonomi makro. Sekali suatu lahan produktif milik masyarakat dikonversi menjadi kebun kayu, mereka akan tercerabut dari akarnya dan harus bersaing dalam bagian dari ekonomi pasar.

Masalah lain juga mengancam pada masa mendatang yaitu ketergantungan nasional terhadap tidak menentunya harga komoditas tersebut. Seiring dengan liberalisasi maka harga komoditas diperkirakan akan menurun secara pasti, mengingat bahwa pengembangan kebun kayu juga merupakan kecenderungan di negara-negara Selatan lainnya dalam dua puluh tahun terakhir. Kompetisi diantara negara-negara berkembang tersebut sekali lagi akan menguntungkan pembeli dari negara-negara industri.

Tidak ada komentar: