LOGGING CONCESSION RIGHT

rully syumanda, april 2007

Hak Pengusahaan Hutan adalah izin yang diberikan untuk melakukan pembalakan mekanis diatas hutan alam. Keluar pertama kali didasarkan pada Peraturan pemerintah No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Pada waktu yang bersamaan, sistem budaya hutan disempurnakan melalui penerbitan Pedoman Tebang Pilih Indonesia, yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia.

Pada tahap awal pembangunan nasional (Rencana Pembangunan Lima Tahun – RePelita), pemerintah memfokuskan kebijakannya untuk mengumpulkan devisa sebanyak-banyaknya dari bisnis ekstraksi hutan di luar Pulau Jawa melalui eksport kayu log (kayu bulat). Segera saja hutan dijadikan agen pembangunan selama tiga dasawarsa.

Dari tahun 1969 sampai 1974, sekitar 11 juta ha konsesi HPH diberikan hanya di satu propinsi, yaitu di Kalimantan Timur . Produksi kayu bulat melonjak menjadi 28 juta meter kubik. Sekitar 75 persen diantaranya diekspor .

Pendapatan kotor devisa dari sektor kehutanan melonjak dari US$ 6 juta pada tahun 1966 menjadi US$ 564 juta pada tahun 1974. kayu-kayu tersebut diekspor dalam bentuk bulat diantaranya ke Jepang 5,5 juta m3/tahun, Australia 0,2 juta meter kubik/tahun, Afrika Selatan 4 juta meter kubik/tahun dan Eropa 10 juta meter kubik pertahun .

Pada tahun 1979 Indonesia menjadi produsen kayu bulat tropis terbesar di dunia, menguasai 41 persen pangsa pasar dunia (2,1 miliar dolar). Volume ini lebih besar daripada gabungan ekspor Afrika dan Amerika Latin (Gillis, 1988:43-104). Seluruh kayu tersebut, baik dalam bentuk mentah maupun dalam bentuk kayu lapis diekspor ke berbagai negara tujuan seperti Hongkong, Jepang, China, Australia, Jerman Barat (ketika itu), Perancis, Singapura, Benelux dan Inggris.

Pada masa itu pula, hutan menempati urutan kedua setelah minyak sebagai penyumbang terbesar perekonomian nasional.

Pada tahun 1994, sepuluh kelompok perusahaan HPH terbesar mengontrol 28,18 juta ha (45 persen) konsesi HPH di negara ini . Perusahaan-perusahaan ini kemudian membentuk kartel (Apkindo) yang membuat Indonesia menjadi produsen kayu lapis terbesar di dunia dan berhasil meningkatkan harga kayu lapis internasional . Total pendapatan yang dihasilkan mencapai US$ 5,5 miliar, atau setara dengan 15% dari keseluruhan pendapatan ekspor .

Pada tahun 1995, sekitar 585 konsesi HPH melakukan pembalakan diatas 62,5 juta ha di seluruh Indonesia. Menyita lebih dari 62.5 juta (49 persen) hutan alam di Indonesia yang selanjutnya disebut sebagai ”hutan negara”. Sekitar 28,18 juta ha diantaranya dikuasai oleh 10 perusahaan.

Tabel 1. Sepuluh Besar Pemegang HPH, 1994/1995 dan 1997/1998

Pada tahun 1996 pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) berjumlah 445 dan meliputi area seluas 54.060.599 hektar. Hampir 50 persen diantaranya juga tetap dikuasai oleh 10 perusahaan yang sama. Namun demikian, pada pertengahan tahun 1990-an tersebut beberapa izin HPH dicabut. Sebahagian disebabkan karena pelanggaran hukum oleh pemegang konsesi HPH dan lainnya karena nilai tegakan pohon di banyak konsesi HPH menurun. Brown memperkirakan bahwa jumlah konsesi HPH berkurang hingga 464 sedangkan luas hutan yang berada di bawah HPH berkurang menjadi 52 juta ha. Dalam prakteknya, "pencabutan izin" lebih dari 100 HPH ini tidak berarti bahwa mereka menghentikan kegiatan. Sejumlah HPH yang periode kontrak 20 tahunnya telah berakhir dialihkan ke lima perusahaan kehutanan milik negara (Inhutani I sampai V), atau dibentuk kembali menjadi perusahaan patungan antara perusahaan swasta dan salah satu dari badan usaha milik negara ini.

Pada masa pembalakan berjamaah inilah Soeharto menjadikan hutan sekaligus sebagai alat dan hadiah bagi kekuasaan negara.

Tabel 2 Sebagian Nama Perusahan HPH Milik Keluarga Soeharto

Hadiah ini diberikan dalam bentuk konsesi HPH, HTI dan perkebunan untuk keluarga, teman, dan rekan kerja Soeharto, dan juga untuk para anggota kunci militer dan elit politik dalam rangka menjamin kesetiaan mereka. Otomatis, pihak yang menguasai hutan memiliki kekayaan dan pengaruh yang sangat besar.

Tabel 3 Sebagian Nama Perusahan HTI dan perkebunan Milik

Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan mengenai HPH yang mengharuskan perusahaan yang meminta izin konsesi HPH untuk memiliki atau menjalin hubungan dengan perusahaan lain yang memiliki pabrik pengolahan kayu. Dengan cara seperti inilah sejumlah kecil perusahaan raksasa mencengkeramkan dominasinya. Menguasai sektor hulu (HPH) dan Hilir (Industri Kayu Lapis) sekaligus.

Jumlah pabrik kayu lapis di Indonesia lalu meningkat dari 21 pada tahun 1979 menjadi 101 pada tahun 1985, dan produksi naik dari 624.000 m3 pada tahun 1979 menjadi hampir 4,9 juta m3 pada tahun 1985, kemudian meningkat dua kali lipat lagi hingga melebihi 10 juta m3 pada tahun 1993. Hampir 90 persen produksi kayu lapis pada tahun itu diekspor .

Pada pertengahan 1998, hanya 39 juta ha tetap berada seluruhnya di tangan para pemegang konsesi HPH swasta, sedangkan 14 juta ha dikelola oleh lima perusahaan Inhutani. Seluas 8 juta ha berada di bawah perusahaan patungan pemerintah–swasta, dan 8 juta ha lainnya dicanangkan untuk konversi ke penggunaan non kehutanan . Angkatan Bersenjata (ABRI) juga mendapatkan keuntungan dari redistribusi konsesi HPH ini; konsesi HPH mereka bertambah hampir dua kali lipat, menjadi 1,8 juta ha (Brown, 1999:12, 40).

Pada tahun 2004, jumlah pemegang HPH hanya tinggal 279 perusahaan. Sekitar 107 diantaranya dinyatakan tidak aktif.

Pada tahun 2006, dengan sisa hutan produksi seluas 57.620.301,69 ha, tercatat ada 303 perusahaan yang memiliki izin IUPHHK (pengganti HPH) yang menguasai 28.104.978 ha hutan.

Tabel 4. HPH/IUPHHK Aktif


Tabel 5. Jumlah Hak Pengusahaan Hutan 2006


Dari 303 IUPHHK pada tahun 2006 tersebut, hanya 149 unit yang masih aktif dengan luasan 14.604.069 ha. Sisanya sebanyak 154 unit (diatas luasan 17.381.534 ha) dinyatakan tidak aktif. Alasan pemerintah antara lain: tidak sehatnya perusahaan pemegang ijin, tidak profesional, rendahnya komitmen, konflik internal dan ada pemegang izin yang hanya ingin menguasai lahan “rent seeker”. Sementara faktor eksternal yang mempengaruhi diantaranya ada inkonsistensi antara aturan pusat dan daerah, masalah illegal logging, aspek keamanan, tidak ada kepastian berusaha, tidak ada insentif dan tuntutan yang berlebihan dari masyarakat setempat.Meskipun pihak perusahaan membenarkan lasan tersebut namun mereka juga mengeluh tentang tingginya biaya produksi akibat banyaknya pungutan dan retribusi diluar ketentuan yang berlaku yang harus di keluarkan yang tidak sebanding dengan biaya produksinya .

Pemerintah akan melakukan lelang terhadap HPH yang tidak aktif ini untuk dijadikan kawasan HTI. Sementara pada tahun 2007 ini pemerintah berencana menaikkan jatah tebang dari 8,4 juta m3 pertahun menjadi 9,1 juta meter kubik pertahun.

Tidak ada komentar: