Potret Hutan Indonesia

Dilihat dari sudut manapun, pembicaraan tentang hutan alam Indonesia selalu menarik. Meski pernah tercatat sebagai negara yang memiliki areal hutan terluas ketiga di dunia (setelah Brasil dan Kongo), Indonesia kini juga tercatat sebagai negara dengan laju deforestasi tertinggi didunia. Pembalakan liar, legal dan illegal konversi yang beraroma korupsi menjadi biang dari semuanya.

Sampai dengan tahun 2005, pemerintah mengklaim Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 126,8 juta hektar dengan fungsi konservasi (23,2 juta ha), kawasan lindung (32,4 juta ha), hutan produksi terbatas (21,6 juta ha), hutan produksi (35,6 juta ha), dan hutan produksi konversi (14,0 juta ha) .

Meskipun hanya memiliki luasan 1,3% dari seluruh daratan dunia, namun kekayaan didalamnya meliputi 38.000 jenis tumbuhan (10% dari flora dunia yang ada di dunia berada di Indonesia), ditambah 515 jenis mamalia (12% dari mamalia dunia), reptilia 511 jenis (7,3% dari reptilia dunia), burung 1.531 jenis (17% jenis burung dunia), amphibi 270 jenis, binatang tak bertulang belakang 2.827 jenis (IBSAP, 2003). Sejumlah species langka juga ada didalamnya seperti orangutan, harimau, badak dan gajah asia yang sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara kedua terkaya dengan kehidupan alam liarnya (wildlife).

Sejurus dengan itu, kerusakan hutan alam Indonesia terus bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 1950 sampai dengan 1985 angka kerusakan mencapai 32,9 juta hektar atau setara dengan 942 ribu hektar setiap tahun. Penguasaan 70 persen pasar plywood dunia pada tahun delapan puluhan juga memicu kehilangan hutan seluas 45,6 juta juta hektar atau dengan rata-rata deforestasi 5,7 juta hektar hutan pertahun (1985 – 1993). Ini adalah angka tertinggi deforestasi di Indonesia. Seperti fenomena gunung es, angka ini bisa jadi lebih tinggi dari yang sebenarnya terlihat. Sampai dengan tahun 2004 lahan kritis di hutan mencapai 59,17 juta hektar dan lahan kritis diluar kawasan hutan mencapai 41,47 juta hektar. Sebagian besar dari lahan yang rusak tersebut tersebar di 282 Daerah Aliran Sungai (DAS) .

Degradasi hutan alam di Indonesia mulai tercatat pada tahun 1788. Dirk Van Hogendorp, seorang residen kelas satu di Patna (Benggala), kembali ke Batavia dan menjadi administratur menulis dalam catatan hariannya setelah diangkat menjadi Residen Jepara ,

”Jabatan saya yang baru ini sangat memuaskan. Saya menaruh perhatian pada hutan yang ada di distrik ini. Hutan itu sudah rusak dan terbengkalai dan ditinggalkan rakyat yang dipaksa melakukan penebangan dan menyerahkan kayunya dengan harga yang begitu rendah sampai mereka tidak berminat sama sekali untuk melestarikan hutannya.”

Selanjutnya, ketika kembali ke Belanda:

”Hutan itu milik negara, atau setidak-tidaknya milik masyarakat. Kita bayar saja kepada orang Jawa upah untuk menebang dan mengangkut kayu. Upah yang sedikit itu sudah memuaskan orang Jawa, dan kalau kita angkat orang yang jujur maka ia akan memperhatikan agar hutan itu ditebang secara teratur, dibakar tumbuhan bawahnya dan dibersihkan pada waktunya, sedang tempat yang kosong ditanami kembali, maka Pulau Jawa selama berabad-abad akan menyediakan semua kayu yang diperlukan Republik kita untuk angkatan laut dan armada perdagangan.”


DEFINISI HUTAN

Dalam kenyataan hidup sehari-hari terdapat banyak batasan (konsepsi) tentang apa yang dimaksud dengan hutan. Perbedaan latarbelakang pendidikan ataupun wilayah darimana orang tersebut berasal akan memberikan pandangan yang berbeda tentang makna hutan. Pengalaman dan pengetahuan masing-masing individu maupun masyarakat tentang hal ini juga turut melahirkan konsepsi yang majemuk ini.

Dari sudut pandang ilmu yang menekankan perhatian pada ciri-ciri fisik biologis, hutan pada hakekatnya adalah salah satu faktor ekologi dalam sistem pendukung kehidupan mahluk hidup, termasuk dalam hal ini manusia. Pada dasarnya hutan mempunyai pengaruh terhadap daur air, yaitu terhadap hujan, peresapan dan aliran sungai (Soemarwoto, 1983).

Disamping memiliki fungsi hidrologis, hutan juga berfungsi sebagai penyimpan sumberdaya genetis dan menjaga keseimbangan proses fotosintetis yang menghasilkan oksigen untuk kelangsungan hidup manusia (Soemarwoto, 1983).

Sementara itu dari sudut pandang pemerintah, menurut Undang-undang No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, disebutkan bahwa hutan ialah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya dan yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan. Selanjutnya disebutkan pula bahwa hutan merupakan persekutuan hidup yang mempunyai kemampuan untuk memberikan manfaat-manfaat produksi, perlindungan dan manfaat-manfaat lainnya secara lestari.


HUTAN DAN MASYARAKAT

Interaksi antara hutan dengan masyarakat di Indonesia tidak hanya dapat dijumpai dalam cerita-cerita rakyat atau legenda yang ada. Dalam realitanya, demikian juga bangsa ini, manusia diawal peradabannya memiliki hubungan yang sangat spesifik dengan hutan, baik sebagai pemburu maupun sebagai pengumpul/peramu yang semua bahannya hanya dapat diperoleh dari hutan alam.

Hingga abad ke empat pada saat Kerajaan Mulawarman, suku pribumi Kalimantan masih tinggal dan membentuk hubungan equilibirium dengan hutan alam disekitarnya. Banyaknya ramuan obat-obatan dan makanan yang dapat kita temui pada masa ini yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari hutan pada dasarnya merupakan indikasi kuat adanya korelasi yang telah berlangsung selama berabad-abad ini.

Pada saat ini, dengan jumlah penduduk mencapai 219,9 juta jiwa , sekitar 48,8 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal didalam dan sekitar hutan (CIFOR, 2000). Bagi mereka, sumberdaya alam hutan mampu mendukung kebutuhan mereka terhadap sandang, pangan dan papan, dan dibeberapa tempat hutan juga sekaligus sebagai medium dalam melaksanakan aktivitas spiritualitas mereka.

Sebagian besar petani asli yang tinggal di pulau-pulau di luar pulau Jawa, Bali, dan Madura yang padat penduduknya—melakukan praktik usahatani gabungan subsistensi dan komersial antara padi gogo dan tanaman tahunan. Berbagai produk hutan juga dikumpulkan untuk dijual dan dikonsumsi di rumah, termasuk rotan, madu, damar, daun-daunan dan buah-buahan yang dapat dimakan, termasuk satwa liar, dan ikan.

Perkiraan menyebutkan sekitar 7 juta penduduk di Sumatera dan Kalimantan bergantung pada kebun karet yang menyebar di lahan seluas kurang lebih 2,5 juta hektar. Di Sumatera saja, kira-kira 4 juta hektar lahan dikelola oleh masyarakat lokal dalam bentuk berbagai jenis wanatani (yaitu kebun berbagai spesies buah digabung dengan pertumbuhan hutan alami) tanpa bantuan dari luar.

Walaupun tidak memiliki sertifikat tanah secara tertulis, masyarakat asli memahami bentuk tradisional pengelolaan sebagai hak adat yang diwariskan, yang diakui secara spesifik dalam pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Indonesia. Namun lagi dimasa reformasi, sebetulnya juga sejak masa demokrasi terpimpin dengan UU Pokok Kehutanan No 5 Tahun 1967, pengesahan UU Kehutanan No 41 tidak melakukan koreksi sama sekali terhadap latar belakang berpikirnya. Klaim oleh pemerintah sudah ditegaskan dalam peraturan perundangan tersebut dimana hutan adat adalah hutan negara yang kebetulan berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Artinya lagi, kalau ada masyarakat yang telah menguasai dan mengelola hutan jauh sebelum negara ini lahir dan kemudian berkeinginan untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan maka terlebih dahulu harus memohon izin kepada ‘pemilik’ barunya - negara – pemerintah.

Perdebatan mengenai hak pertanahan ini pada dasarnya lama muncul jauh sebelum kemerdekaan. Pada masa itu dipahami bahwa hak pertanahan di Nusantara adalah sama dimana ia lebih tua dari hak raja. Raja hanya menguasai tanah yang tidak dikuasai/diolah oleh rakyat. Namun Raja juga berhak menguasai tanah/hutan yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat dengan pemberian kompensasi berarti .

Kasus seperti ini muncul dan sempat tercatat dalam Dagregister (buku harian) tertanggal 21 September 1659: ”Dekat Mandalika (sebuah pulau kecil di sebelah utara Muria) ada hutan luas yang sangat indah. Rakyat tidak dizinkan mengambil kayu karena dicadangkan untuk pengambilan kayu lunas dan tiang kapal Susuhunan .” Contoh yang sama juga dapat ditemui pada hutan swasta di Prancis dan Inggris, yang khusus dikelola untuk keperluan armada perang .


HUTAN SEBAGAI ALAT PRODUKSI

Masuknya Belanda kemudian memberikan arti berbeda terhadap sumberdaya hutan. Secara lugu Belanda menganggap semua sumberdaya hutan (juga lahan liar yang diperoleh dengan perjanjian) adalah domainnya sendiri . Karena kebutuhan untuk perluasan pemukiman penduduk dan penanaman budidaya untuk memberikan daya dukung tambahan terhadap perniagaan, secara berangsur-angsur pembukaan lahan dan kehidupan berpindah-pindah diberantas, dengan alasan pemerintahan dan pungutan cukai, termasuk pelestarian hutan.

Larangan penebangan muncul kali pertama di Betawi (Batavia) dan untuk penebangan yang diperbolehkan dikenakan pembayaran cukai sepuluh satu (10%) . Hukum ini kemudian terus dipakai oleh pemerintah lokal pada masa itu. Sebagaimana diketahui, setelah kompeni mengambil alih daerah yang diserahkan Sunan, tata pemerintahannya dibiarkan seperti sediakala. Kompeni mengangkat Bupati yang kemudian ditugasi mengawasi dan mengelola hutan dan menerapkan larangan tebang. Tetapi lagi, para Bupati ini tidak menerima gaji dari Kompeni, sehingga sesudah melunasi beberapa kewajiban kepada Kompeni, masing-masing Bupati kemudian menggaruk keuntungan dari jabatannya sendiri dari sumberdaya alam hutan didaerahnya. Cukai lama ”sepuluh satu” dimanfaatkan sendiri dan tidak diberikan kepada Kompeni sebagai pengganti Sunan atau kepada pemilik hutan yang ada. Kepemilikan hutan milik rakyat di Jawa pada saat itu cukup dibuktikan dengan keberadaan ”tetak”. Sementara itu untuk daerah lainnya, rakyat menganggap bahwa hutan sebagai milik umum sehingga orang boleh mengambil apa saja untuk memenuhi kebutuhannya (pembangunan rumah, pengolah sawah maupun kapal penangkap ikan).

Namun lagi, berbicara masalah hak ulayat, maka hak itu sudah ”mengalah” terhadap hak Raja (penguasa). Ada anggapan bahwa hak rakyat terhadap hutan hanya dilimpahkan pada kelompok orang tertentu. Tidak kepada setiap orang. Demikian, Kompeni kemudian menggunakan anggapan ini untuk menentukan domainnya sendiri.

Dalam masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soeharto ternyata juga mempunyai rencana yang sama. Hutan-hutan lebat yang sangat luas dan menguntungkan ini dianggap tidak memiliki bukti hak kepemilikan pribadi resmi, sehingga “tidak dimiliki” siapapun. Pembalakan mekanis melalui sistem konsesi kemudian diperkenalkan dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 1970, tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Pada waktu yang bersamaan, sistem budaya hutanpun ”disempurnakan” melalui penerbitan Pedoman Tebang Pilih Indonesia, yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia.

Fokus utama kebijakan pengusahaan hutan diluar Jawa pada tahap awal pembangunan nasional (Rencana Pembangunan Lima Tahun – RePelita) adalah pengumpulan devisa sebesar-besarnya melalui ekspor log (kayu bulat). Segera saja, hutan diekstraksi dan dijadikan ”Agen Pembangunan” Orde Baru selama tiga dasawarsa yang digerakkan secara tidak berkelanjutan dan didasarkan pada penyitaan 75 persen dari total luas lahan di Indonesia, dan 90 persen dari luas lahan diluar pulau Jawa yang kemudian disebut sebagai “hutan negara. ”

Penetapan status ini dilakukan oleh negara seperti halnya masa penjajahan Belanda, tanpa melalui proses yang seharusnya (due process) atau tanpa pemberian kompensasi yang berarti. Hutan-hutan tropis yang lebat ditebang untuk memperoleh kayu dan kemudian diganti dengan perkebunan luas yang ditanami spesies monokultur eksotis yang cepat tumbuh dalam baris yang lurus dan dibersihkan dari tumbuhan tingkat bawah.

Bapak Pembangunan ini kemudian juga menggunakan miliaran dolar dari Dana Reboisasi (yang dikumpulkan dari berbagai perusahaan perkayuan tetapi tidak dikembalikan ke anggaran negara untuk reboisasi) sebagai dana yang digunakan untuk membiayai agenda pribadi pembangunan nonhutan. Undang-undang yang pertama disahkan oleh Soeharto di antaranya adalah Undang-undang Pokok Kehutanan , Penanaman Modal Asing , dan Penanaman Modal Dalam Negeri — suatu indikasi dari peran sentral investasi di sektor kehutanan. Menciptakan proses konversi yang tinggi dari hutan ke uang tunai.

Peningkatan kapasitas mesin pemakan kayu ini memberikan hasil yang luar biasa . Pada tahun yang sama industri pulp dan kertas mulai meluncur, menggunakan pinjaman tidak berbunga dari dana reboisasi, membuat biaya produksinya terendah didunia . Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan yang melarang ekspor kayu bulat pada awal tahun 1980an. Kebijakan yang tidak diikuti dengan ambang batas ekstraksi ditambah berbagai subsidi untuk perusahaan-perusahaan kayu untuk membangun unit-unit pengolahan terlebih dahulu pada akhirnya memastikan terjadinya dominasi konsesi kayu oleh sejumlah kecil perusahaan-perusahaan perkayuan raksasa yang berpusatkan pada produksi kayu lapis..

Ekspansi dan peningkatan produksi industri kehutanan tersebut pada akhirnya telah melebihi kemampuan perkebunan-perkebunan yang sangat besar untuk memasok bahan baku dan telah mendorong perluasan perkebunan lebih jauh menembus hutan alam. Diperkirakan setidaknya 72% hutan alam Indonesia telah hancur. Badan Planologi Departemen Kehutanan Indonesia justru memperkirakan pada tahun 2004 hutan yang rusak mencapai 101,73 juta hectare. Namun, pada tahun 2005, Departemen Kehutanan mengklaim bahwa hutan yang rusak hanya mencapai 59,17 juta hektar.

Pada tahun 2006 , laju kerusakan mencapai 2,72 juta hektar pertahun. Setiap menitnya kita kehilangan 5 kali lapangan sepakbola. Jika penebangan liar yang terjadi dalam satu menit tersebut dinilai, maka Pemerintah Indonesia kehilangan pendapatan dari bea dan pajak yang tidak dibayari sebesar US$ 1300 (lebih dari pendapatan rata-rata tiga keluarga Indonesia dalam satu tahun), dan segolongan kecil keluarga usaha konglomerat dan elit memperoleh pendapatan 24.000 dolar AS.

Dampak kehilangan hutan yang begitu cepat itu sangat luas dan beragam. Para ilmuwan telah lama membuktikan konsekuensi kehilangan hutan yang luas terhadap lingkungan. Dampak ini meliputi kehilangan keanekaragaman hayati yang unik, frekuensi banjir dan kekeringan yang meningkat, kuantitas dan kualitas air menurun, dan peningkatan frekuensi kebakaran hutan yang menyebabkan polusi udara dengan asap beracun, debu, abu, dan gas-gas rumah kaca.

Besarnya kesenjangan antara supply dan demand dalam industri kehutanan di Indonesia pada akhirnya telah mendorong hutan Indonesia lenyap dengan cepat baik secara resmi maupun illegal.

Ironisnya, meskipun daftar bencana lingkungan semakin panjang , akibat yang ditimbulkan sektor kehutanan terhadap hak-hak asasi manusia masih sedikit dibicarakan. Seperti halnya dalam sektor lainnya yang menguntungkan dan illegal, gerombolan disektor kehutanan ini telah berkembang dan bertindak sebagai pemeras dan pelindung yang melawan pihak yang mengganggu dengan kekerasan. Di Indonesia, ilegaliltas dan kekerasan yang terjadi di sektor ini sering mempunyai mata rantai yang jelas dengan para pelaku di kalangan pemerintah.

Kehilangan hutan, lahan, dan mata pencaharian masyarakat lokal seluruhnya berlangsung di bawah berbagai kebijakan negara yang seharusnya ditujukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Visi umum Soeharto tentang “pembangunan,” seperti kebanyakan bangsa industrialisasi baru, adalah kesejahteraan ekonomi yang digerakkan oleh ekstraksi sumber daya alam secara cepat. Akan tetapi, dalam praktiknya, agenda ini terdesak dan menjadi kurang penting dibandingkan dengan, dan pada akhirnya terancam oleh, tujuan tersembunyi Soeharto untuk melakukan konsolidasi kekuasaan melalui perlindungan (patronase) politik, di mana ia juga menggunakan sumber daya alam yang menguntungkan itu secara lihai. Walaupun Soeharto turun dari jabatannya pada tahun 1998, bangsa dan lingkungan negara Indonesia tetap menderita konsekuensi dari buruknya pemerintahan dan penegakan hukum mengenai hutan negara dan kebijakan keuangan.

Tradisi ini pada akhirnya menjadi bagian dari budaya yang dilanggengkan oleh para pemimpin baik di nasional maupun daerah. Praktek bagi-bagi hutan terus saja digunakan dan secara cerdik dijadikan sarana untuk membungkam lawan-lawan politik dan membayar kesetiaan para kroni. Berkaca pada kehutanan Indonesia artinya berkaca pada metamorfosa kebangkrutan, sumber konflik dan pelanggengan budaya keruk.


LEDAKAN INDUSTRI KEHUTANAN INDONESIA

Hutan, dimasa awal berdirinya republik ini memang memegang peranan penting. Posisinya sebagai penyokong perekonomian nasional ketika itu berada pada urutan kedua setelah minyak. Hutan sekaligus berfungsi sebagai kado politik pemerintah, hingga kini, untuk menjamin kesetiaan pendukungnya. Satu kabupaten di Riau malah membagi hutan sebagai wilayah ekstraksi kayu bagi partai pemenang pemilu.

Pada masa penjajahan, dan hingga kini hutan dipandang dari nilai kayu yang tumbuh diatasnya. Kewenangan Bupati bisa dicabut oleh Belanda apabila kawasan yang dibawahinya terdapat cadangan hutan (baca: kayu). Demikian halnya kewenangan tersebut bisa kembali diberikan bila tidak lagi terdapat kayu didalam wilayah hutannya. Dimasa itu, hutan memberikan kontribusi ganda, sebagai penyedia kayu untuk komoditi niaga, bahan (baca: kayu) bakar dan sebagai bahan baku pembuat kapal, juga sebagai penyedia lahan untuk tanaman lain seperti jarak , rami, kapas dsb (Fernandes, 1946).

Boswezen, dalam laporannya ditahun 1940 – 1946 menyebutkan bahwa sejak tahun 1942, Pemerintah Jepang menaruh perhatian besar pada hasil hutan sebagai bahan baku untuk memenuhi kebutuhan perang. Keadaan ini meningkat setiap tahunnya sehingga melampaui batas yang cukup besar terhadap tebangan tahunan maksimum, yang dibenarkan oleh peraturan. Dan karena produksi dianggap lebih penting, penghutanan kembali pada setiap tahun dengan sendirinya ditangguhkan sampai tahun-tahun berikutnya .

Kayu-kayu tersebut ditebang dan dijadikan kayu bakar bagi kereta api, bagi keperluan pembuatan kapal dan keperluan militer lainnya (darat dan laut). Untuk kayu bakar, Jepang bahkan menempatkan pegawai khusus bangsa Jepang untuk menjamin pasokan kayu bakar tersebut. Pada tahun 1944, Ringyoo Tyuoo Zimusyo menyediakan kayu jati bagi perusahaan Nomura-Tohindo untuk pembuatan 500 kapal motor ukuran 150 sampai 250 ton.

Antara tahun 1939 – 1945, sekitar dari 4.761.906 meter kubik kayu dihasilkan dari penebangan diseluruh Jawa dan Madura. Sementara di Sumatera, lebih dari 730.000 meter kubik kayu dihasilkan pada medio yang sama. Ini belum termasuk produksi dari tebangan penduduk .

Pada masa Demokrasi Liberal (1950 – 1959), pengurusan dan pengusahaan hutan dikembalikan kepada Pemerintah Indonesia. Bukan pekerjaan ringan, mengingat hutan di Jawa dan sedikit di Sumatera dan sarana pengelolaannya telah mengalami kerusakan. Banyak yang sudah tidak jelas lagi batas-batasnya. Untuk menyusun rencana produksi dibutuhkan proses inventarisasi hutan yang sayangnya kembali tertunda mengingat kesibukan luar biasa dalam menyusun perangkat organisasi Jawatan Kehutanan.

Segera setelah Jawatan Kehutanan bersatu kembali pada 1951, produksi hutan (baca: kayu) segera digenjot hingga mencapai angka 432.179 meter kubik. Angka ini menyamai produksi pada masa penjajahan ditahun 1940 (551.854 meter kubik). Diperkirakan sekitar 400.000 ha hutan lindung sebagai kawasan tataguna air di Pulau Jawa mengalami kerusakan. Sebagaimana halnya masa perang, tingkat produksi tersebut tidak memperhitungkan kemampuan produksi hutan itu sendiri.

Pada tahun 1950 – 1956, dengan bantuan Economic Cooperation Administration (ECA) dan Export Import Bank (EximBank), Pemerintah dalam hal ini Jawatan Kehutanan mendirikan 6 buah penggergajian di Brumbung, Bojonegoro, Saradan, Madiun dan Benculuk. Dengan sumber dana yang sama kemudian didirikan pula penggergajian di Samarinda dan dua buah penggergajian di Balikpapan . Segera saja, produksi kehutanan kembali pulih dan bahkan produksinya mendekati produksi pada tahun 1938 (masa perang), walaupun rehabilitasi terhadap kerusakan hutan baru selesai 11 persen (Jawatan Kehutanan, 1956).

Dari segi pendapatan, antara tahun 1950 – 1956, sektor ini mengalami kerugian rata-rata Rp. 58 juta setiap tahunnya. Sebagai perbandingan, pada masa itu harga beras perliternya 50 sen, dan harga emas pergramnya adalah Rp 4,-. Baru pada tahun 1957 – 1959 sektor ini menyumbang Rp. 75 juta setiap tahunnya. Hal yang penting dicatat adalah bahwa pos anggaran pengembangan sektor kehutanan selalu disubsidi oleh Anggaran Rencana Kesejahteraan Indonesia, rata-rata sebesar Rp. 45 juta setiap tahunnya sejak 1950 sampai 1959.

Pada tahun 1956, Jawatan Kehutanan kemudian mengusulkan secara sistematis pengubahan susunan hutan alam dengan menanam hutan-hutan yang terdiri dari kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Usulan ini kemudian dituangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun 1056 – 1960 dengan biaya 300 juta rupiah. . Dengan penyusunan rencana hutan industri maka pada waktunya nanti diharapkan industri ini dapat tumbuh dan berkembang memenuhi kebutuhan masyarakat.

Rencana pembangunan kehutanan ini utamanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kayu dari sejumlah besar industri yang sudah ada di Indonesia yang pada tahun 1955 memiliki:

  1. Penggergajian Mesin, 284 buah dengan kapasitas produksi 491.000 meter kubik kayu/tahun dan memperkerjakan 11.000 buruh,
  2. Penggergajian tangan yang mengolah 3 juta meter kubik kayu/tahun dengan 50.000 buruh,
  3. Fiberboard di Banyuwangi dengan kapasitas 1500 ton/tahun,
  4. Kayu lapis dan veeneer di Sumatera Utara dan lampung yang menghasilkan 270.000 peti setiap tahunnya,
  5. Sembilan buah pabrik pengawetan kayu dengan kapasitas produksi setiap tahunnya 90.000 meter kubik kayu,
  6. Pabrik pinsil di Jakarta dengan kapasitas produksi 39.000 gross pertahun,
  7. Enam buah pabrik korek api dengan kapasitas produksi 187 juta kotak setiap tahunnya,
  8. Dua pabrik kertas di Padalarang dan Leces dengan kemampuan produksi 7.000 ton pertahun .

Sampai dengan tahun 1962, cadangan devisa yang diperoleh dari sektor kehutanan mencapai US$ 131.366. Angka ini akan jauh lebih besar (kemungkinan mencapai US$ 850.000) bila tersedia fasilitas pengapalan yang cukup baik. Semester berikutnya, cadangan kembali meningkat menjadi US$ 250.507.

Demikianlah, hutan yang kaya dengan kayu digerus untuk menggenjot pendapatan negara. Sebagai negara yang baru berdiri, hal ini sedikit banyak dapat diterima. Belum tersedianya infrastruktur untuk membangun industri hilir mendorong Indonesia untuk mengekstrak sumberdaya hutan dan melakukan niaga dalam bentuk mentah (raw material). Hal yang tidak pernah tercatat dalam sejarah adalah tentang pengambilalihan tanpa kompensasi berarti tanah-tanah masyarakat baik di Jawa, Kalimantan Timur, Lampung dan diberbagai tempat lainnya di Indonesia.

Dalam catatan sejarah yang ada, konflik akibat pengambil alih paksakan tanah hutan oleh pemerintah terjadi pada tahun 1742 di Padalarang, yang ketika itu dikuasai oleh Belanda. Penduduk yang marah kemudian memilih untuk beremigrasi ke Jawa Tengah dan sebagian melarikan diri kehutan untuk mendirikan pemukiman baru .

Hutan sebagai alat konsolidasi politik juga bukan hal yang baru. Belanda sudah menggunakan politik ini jauh hari sebelumnya. Bila pada masa Kerajaan Mataram, hutan dijadikan alat konsolidasi politik karena fungsinya sebagai wilayah buruan, kelangenan Raja dan Bupati, maka pada jaman penjajahan, hutan dijadikan alat dikarenakan kayu tidak saja bisa mendatangkan profit bagi perniagaan namun juga untuk bahan baku pembuatan kapal perang dan kapal dagang. Pemahaman bahwa Sang Pencipta hanya menganugrahkan hutan kepada kelompok-kelompok pilihan begitu diterima oleh masyarakat Jawa . Bupati kemudian memberikan kesatuan-kesatuan hutan kepada lurah-lurah yang dianggap memiliki kesetiaan kepadanya untuk diolah. Sistem satu batang untuk sepuluh (10 persen) terus digunakan sampai berdirinya negara ini. Banyak dari lurah-lurah ini kemudian mempraktikkan korupsi dengan melaporkan lebih kecil dari kayu yang ditebang .

Pada masa Presiden Soeharto, hal yang sama kembali terulang. Hutan yang kaya dengan kayu di lima pulau besar di Indonesia dijadikan alat konsolidasi kekuasaan politik melalui patronase ekonomi. Disahkannya Undang-undang Pokok Kehutanan, Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri merupakan indikasi penting peran sentral sektor kehutanan, tidak hanya untuk kepentingan negara namun juga dalam rangka menjamin kesetiaan kroni-kroni politik dan militer. Tidak kurang dari 4,230 juta hektar hutan dikuasai oleh keluarga Soeharto.

Dimulai pada tahun 1960-an melalui pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan, sektor ini terus menggeliat. Pada tahun 1962, kapasitas industri pengolahan kayu mencapai 4,294 juta meter kubik pertahun ditambah 414.000 meter kubik kayu bakar , dan meliputi areal pengusahaan seluas hampir 1,3 juta hektar di Jawa, Sumatera dan Kalimantan .

Pada tahun 1963, kapasitas produksi terus digenjot sehingga mencapai 6,823 juta meter kubik pertahun. Peningkatan ini salah satunya didorong adanya perjanjian kerjasama untuk Pembangunan Kehutanan di Kalimantan Timur dengan Pemerintah Jepang setahun sebelumnya. Devisa yang diperoleh dari ekspor di sektor ini juga terus meningkat. Dari US$ 347 ribu pada tahun 1962, meningkat menjadi US$ 640 ribu pada tahun berikutnya. Pada tahun 1963, cadangan devisa dari eksport sektor kehutanan mencapai US$ 775 ribu .

Pada tahun 1967 diterbitkan Undang-Undang Kehutanan tahun 1967 yang memberikan dasar dasar hukum pemanenan kayu. Dua tahun setelah peraturan tersebut keluar, ada banyak HPH besar yang diberi hak untuk mengelola hutan selama 20 tahun. Ekspor kayu bulat kemudian meningkat secara dramatis pada tahun 1970-an yang kemudian menghasilkan devisa guna menjadi modal pembangunan berbagai kerajaan bisnis yang baru bermunculan Indonesia dan menyediakan lapangan kerja.


MENUJU BUNUH DIRI MASAL KEHUTANAN INDONESIA

Industri kehutanan adalah anak emas perekonomian Indonesia. Tidak ada yang dapat menyangkal hal itu. Dari mulai penggenjotan produksi tanpa didahului inventarisir pada awal kemerdekaan, pemberian kredit reboisasi dengan bunga nol persen, pembangunan pabrik pulp tanpa didahului hutan tanaman sampai dengan kebijakan yang terbaru: dihapuskannya sistem lelang, yang dipercayai oleh berbagai pihak sebagai salah satu alat untuk memberikan pengusahaan kehutanan hanya kepada pihak-pihak yang dianggap kapable dan kompeten. Tentu, ada banyak justifikasi yang dapat diberikan untuk membenarkan itu semua. Namun, dengan demikian banyak logika yang dijungkir balikkan, menjadi naif kalau masyarakat Indonesia “dipaksa” untuk menerima berbagai justifikasi tersebut.

Yang sangat disayangkan kemudian, berbagai pembenaran dan trilyunan devisa yang diperoleh dari sektor ini kemudian malah membuat Pemerintah menutup mata atas berbagai anomali yang terjadi. Segera saja sektor kehutanan menjadi salah satu sektor yang berperan dalam penghancuran ekonomi, ekologi, dan sosial budaya.

Pada aspek ekonomi, sektor ini menyumbang besaran hutang yang harus ditanggung pemerintah. Nilainya pun tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp 21,9 trilyun yang berasal dari 120 an perusahaan kehutanan. Lebih dari separuhnya merupakan industri pengolahan yang tidak memiliki konsesi. Utang ini merupakan utang sektor kehutanan swasta yang dibebankan ke pemerintah.

Melalui proses penyehatan perbankan yang didukung dengan pembiayaan dari IMF, Bank Dunia, dan Consultative Group on Indonesia (CGI), utang sektor swasta termasuk utang industri kehutanan dialihkan menjadi utang pemerintah.

Sebelum krisis keuangan di Indonesia pada tahun 1997, bank-bank lokal di Indonesia menyediakan lebih dari 4 miliar dollar AS dalam bentuk pinjaman untuk industri kayu di Indonesia. Industri kayu juga menerima lebih dari 7 miliar dollar AS dalam bentuk pinjaman jangka pendek dan pendanaan jangka panjang dari lembaga keuangan internasional. Sepuluh bank lokal teratas di Indonesia mendanai industri kayu. Bank-bank tersebut termasuk beberapa bank pemerintah yang sekarang bergabung menjadi Bank Mandiri, Bank Danamon, Bank Umum Nasional (yang telah ditutup oleh pemerintah) dan Bank Internasional Indonesia. Lembaga-lembaga internasional, Credit Suissee First Boston, ING Bank N.V. dan Credit Lyonnais dari Singapura juga telah mendanai ekspansi industri kayu di Indonesia (Setiono 2005). Di samping lembaga lembaga tersebut, sampai tahun 1999 empat bank dari Belanda -ABN-AMRO Bank, ING Bank, Rabobank and Mees Pierson telah berinvestasi mengembangkan perkebunan kelapa sawit seluas 740.000 ha di Indonesia (Wakker dkk. 2000).

Sejak awal tahun 1990an, lembaga keuangan swasta internasional juga telah memainkan peranan penting dalam memfasilitasi ekspansi yang sangat cepat dari industri bubur kayu (pulp) dan kertas di Indonesia. Lembaga-lembaga ini bertanggung jawab dalam menyalurkan lebih dari 12 miliar dollar AS kepada industri-industri tersebut sampai tahun 1999 (Barr 2001). Dengan dukungan lembaga keuangan ini pula, industri kehutanan termasuk industri bubur kertas dan pulp telah menghasilkan devisa sebesar 6 miliar dollar AS sampai 9 miliar dollar AS setiap tahunnya .

Akibatnya baru dirasakan sekarang. Kapasitas produksi membumbung jauh tinggi dan tidak mampu dipenuhi oleh hutan alam dan HTI yang ada. Pilihan kebijakan SBY-JK yang menjawab masalah ini dengan pendekatan revitalisasi juga menambah daftar panjang blunder kebijakan sektor kehutanan.

Kebijakan revitalisasi - penyediaan bahan baku dapat dilihat dari rencana Departemen Kehutanan pada tahun 2005 dimana target yang ingin dicapai adalah perluasan 5 juta hektar HTI. Anehnya lagi, pemerintah merasa tidak ada yang salah dengan berdirinya 2 industri pulp baru di Kalsel oleh United Fibre System (UFS) dan di Kalteng oleh Korindo Group. Belum lagi rencana investor dari Malaysia dan India yang akan membangun pabrik di Kalimantan Barat, yang kesemuanya malah justru menambah angka demand industri kehutanan dan menciptakan ancaman baru hutan Indonesia dengan pola serupa, membangun industri terlebih dahulu dan bukan membangun perkebunannya terlebih dahulu.

Pembentukan Badan Restrukturisasi untuk menyelesaikan carut marut industri kehutanan ternyata juga tidak segarang nama yang dimilikinya. Disamping tidak adanya kewajiban bagi daerah untuk memberikan nama perusahaan dan konsesi yang telah dikeluarkan oleh daerah, badan yang berada dibawah naungan Departemen Kehutanan ini juga cenderung pasif dan menunggu bola. Padahal, sedari awal, pembentukan Badan Restrukturisasi pada dasarnya merupakan upaya untuk menjawab proses deforestasi yang tengah berlangsung di sejumlah daerah akibat penyerahan kewenangan kepada Gubernur dan Bupati untuk menerbitkan IPK.

Kembali ke belakang, sejak tahun 2000 hampir seluruh fungsi pemerintahan dipindahkan ke kabupaten, melampaui kewenangan propinsi sebagai satu cara untuk menghilangkan ketakutan munculnya separatisme. Pemerintah pusat hanya bertanggung jawab untuk masalah pertahanan dan pengamanan ditambah perencanaan nasional dan pemanfaatan sumberdaya alam. Sementara itu, tanggung jawab pertanian, industri dan perdagangan, tenaga kerja di berikan ke 360 Kabupaten(jumlah kabupaten pada tahun 2000). Tindakan ini secara positif mempengaruhi iklim politik di Indonesia.

Namun demikian, pemerintah daerah tidak memiliki anggaran yang cukup untuk mengelola pemerintahannya. Pemerintah pusat kemudian mengeluarkan peraturan yang mengizinkan kebupaten untuk mengeluarkan izin penebangan diatas lahan seluas 100 hektare yang awalnya ditujukan untuk membantu masyarakat miskin disekitar hutan untuk mengembangkan pertanian subsisten dengan modal dari logging tersebut.

Model tebang habis ini sayangnya tidak mengharuskan pemegang konsesi untuk melakukan reforestasi dan hanya berlaku selama satu tahun (CGI 2003). Namun lagi, ambisi pemerintah daerah ditambah tumpang tindih peraturan dan inkonsistensi peraturan otonomi, ditambah euforia sentimen kedaerahan dan kebutuhan pemenuhan kas daerah membuat pemerintah daerah mengeluarkan izin penebangan berskala besar yang tumpang tindih dengan konsesi berskala besar yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Pada tahun 2002, lebih dari 500 peraturan perundangan dalam sektor kehutanan saling tumpang tindih .

Sampai disini, desentralisasi, dalam kenyataannya telah menghasilkan ketidak seimbangan kekuatan antara nasional dan lokal level. Prilaku politik ditingkat daerah pada akhirnya hanya merupakan reinkarnasi nepotisme dan kolusi yang pernah dimainkan Soeharto sebelumnya. Tiba-tiba saja desentralisasi menciptakan Soeharto-Soeharto kecil, disamping peningkatan korupsi yang menggila. Pada tahun 2002, pemerintah mengeluarkan PP 34/2002 yang ditujukan untuk menurunkan angka deforestasi dan menghentikan penerbitan izin konsesi oleh pemerintah daerah. Peraturan ini sekaligus menyatakan bahwa konsesi yang dikeluarkan pemerintah kabupaten sejak 2002 menjadi illegal dan oleh karenanya harus dicabut. Disini sebetulnya bisa dilihat bahwa pemerintah pusat kehabisan akal untuk menegakan hukum ketika polisi dan militer menerima suap dari pelaku logging atau secara aktif menjadi bagian dari illegal logging itu sendiri .

Masalah bertambah sulit karena kedua level pemerintah ini merasa berhak untuk menerbitkan perizinan. Ketiadaan peraturan yang jelas mengenai masalah ini, yang mungkin akan menyelesaikan masalah, seringkali diselesaikan dilapangan. Angka deforestasipun kemudian serta merta melonjak dengan drastis tanpa ada upaya lebih lanjut untuk mencari akar masalah. Satu demi satu industri kehutanan berjatuhan karena ketiadaan bahan baku legal.

FAO mengklaim bahwa tutupan hutan telah berkurang dari 74% menjadi 56% dalam jangka waktu 30-40 tahun . Pada tahun 1950 sampai dengan 1985 laju kerusakanmencapai 900 ribu hektar pertahun. Angka ini melonjak pada medio 1985 – 1993 dimana angka kerusakan mencapai 5,7 juta hektar pertahun. Pada periode 1997/1998 angka kerusakan menurun drastis menjadi 1,7 juta hektar. Meskpun belum diketahui sebab musabab turunnya angka deforestasi namun sejumlah pemerhati kehutanan memperkirakan kebingungan politik dan melonjaknya nilai tukar mata uang asing menjadi penyebab turunnya lesunya laju aktivitas kehutanan. Masa itu memang angka deforestasi bukan berasal dari konversi namun dari praktek illegal logging dan sejumlah landclearing pada konsesi kehutanan pada tahun sebelumnya.

Pada tahun 2000 - 2004, angka kerusakan meningkat. Badan Planologi Departemen Kehutanan memperkirakan angka 3,4 juta hektar hutan rusak setiap tahunnya. Pada tahun 2005 dan 2006 . Angka kerusakan turun kembali menjadi 2,7 – 2,8 juta hektar pertahun. Faktor penyebabnya bukan lagi semata penebangan legal dan illegal untuk pemenuhan industei, namun pembukaan perkebunan kelapa sawit .

Pada tahun 2003, industri kehutanan mengalami defisit sampai dengan 63 persen. Pada tahun 2006, hutan alam dan HTI ditambah kayu tebangan dari perluasan perkebunan hanya mampu memenuhi 48,62 persen dari kebutuhan. Sisanya, sebesar 51 persen dipenuhi dari tebangan illegal.

Bila masalah gap yang cukup besar ini tidak diperbaiki dari sekarang, diperkirakan pada tahun 2020 hutan alam indonesia kecuali di hutan lindung dan kawasan konservasi akan musnah. Hal ini akan berpengaruh besar terhadap sejumlah industri yang ada di Indonesia. Sepuluh tahun dari sekarang sekitar dua pertiga industri kehutanan akan kolaps dan sekitar 1,982 juta kepala keluarga yang bekerja sebagai buruh akan kehilangan pekerjaan. Hutan alam indonesia sedang menuju bunuh diri massal.

Tidak ada komentar: