KEBAKARAN HUTAN - SIKLUS TAHUNAN BENCANA INDONESIA

Rully Syumanda


Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, musim pembakaran kali ini datang sedikit terlambat. Kalau biasanya Bulan Juli dan Agustus diisi dengan pembakaran bagian ke dua, pada bulan ini jumlah titik api justru berada pada titik tertinggi tahunannya. Antara 19 Juli sampai dengan 7 Agustus 2006 saja tidak kurang dari 18.267 hotspot berada di dua pulau “langganan utama”. Propinsi Riau dan Kalimantan Barat masih tetap sebagai pemegang rekor. Riau “memproduksi” 3.344 hotspot dan Kalbar memproduksi 7.163 hotspot.

Sejak kebakaran dahsyat yang dikategorikan bencana terburuk 1997[1], setiap tahunnya Indonesia memproduksi lebih dari 40.000 hotspot. Angka ini menurun pada 2005 menjadi hanya 39.000 titik saja. Bila berdasarkan teori bahwa satu pixel/hospot mewakili kawasan seluas 1,1 km x 1,2 km dengan suhu yang terekam 315º K (420º C) pada siang hari dan 310º K (370º C) pada malam hari, total luasan yang terbakar di Indonesia sejak 2001 hingga 2006 adalah seluas 27,612 juta ha equivalen dengan 247.506 hotspot.

Pembakaran sendiri sudah menjadi bagian dari geliat industri kehutanan dan perkebunan. Disebut pembakaran karena lebih banyak ditemukan unsur kesengajaannya. Hutan Indonesia masuk dalam kategori hutan hujan basah yang tidak memungkinkan bagi hutan terbakar dengan sendirinya. Dalam banyak kasus, kawasan yang terbakar adalah kawasan yang telah dibersihkan (landclearing) sebagai proses persiapan pembangunan perkebunan. Dengan tipe hutan Indonesia, serasah yang muncul jauh lebih sedikit dibanding tipe hutan seperti Eropa dan Amerika. Kebakaran hutan tidak akan mungkin terjadi bila tidak dipantik oleh api diatas serasah.

Selain pertimbangan untuk mempercepat landclearing, pembakaran hutan dan lahan dibeberapa tempat juga dijadikan pilihan untuk menaikkan pH tanah. Di sebagian besar daerah Kalimantan dan Sumatera misalnya, dengan pH berkisar antara 3 - 4 membuat komoditi perkebunan sawit dan akasia tidak cocok untuk tumbuh dikawasan tersebut. Dengan melakukan pembakaran, abu yang tersisa akan mampu menaikkan pH tanah menjadi 5 – 6 sehingga layak untuk ditanami (contoh putusan hukum: Pembakaran yang di lakukan di areal PT. Adei Plantation & Industry dimana industri bersangkutan mengakui bahwa pembakaran lahan salah satunya ditujukan untuk menaikkan kadar pH tanah).

Bukti-bukti bahwa konsesi perkebunan dibersihkan dengan cara bakar sebetulnya sudah bisa dilihat indikasinya di lapangan. Tanpa harus menemukan sekaleng bensin dan sebatang korek api, tumpukan kayu yang disusun berjalur-jalur sebetulnya sudah mengindikasikan bahwa kawasan tersebut sedang dalam persiapan pembersihan lahan dengan metode bakar. Metode ini paling sering digunakan oleh perusahaan untuk mendapatkan hasil yang efektif dan juga sebagai salah satu upaya meminimalisir penyebaran api yang lebih luas.

El Nino memang berhubungan dengan kekeringan dan kebakaran hutan. Namun patut digaris bawahi bahwa el Nino bukan penyebab kebakaran hutan melainkan necessary condition terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Patut digarisbawahi pula bahwa upaya menyalahkan perladangan tradisional gilir balik adalah sangat tidak beralasan sama sekali. Sejak tahun 2001 hingga Mei 2006 diketahui bahwa kebakaran pada lahan-lahan milik masyarakat hanya mencapai 20 persen dari total keseluruhan wilayah yang terbakar. Dari 20 persen tersebut, kurang separuhnya terjadi pada lahan-lahan pertanian milik masyarakat yang menerapkan sistem rotasi pertaniannya. Sisanya lagi di kawasan-kawasan eks HPH yang ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya kemudian kembali digunakan oleh masyarakat.

Sampai saat ini, sepertinya Pemerintah tidak memiliki keseriusan untuk menghentikan apalagi menindak pelaku pembakaran. Padahal, sejak bencana kebakaran hutan yang terjadi di tahun 1997, berbagai studi dan kajian telah dilakukan. Bahkan sejumlah bantuan dari UNDP pada tahun 1998 yang telah menghasilkan Rancang Tindak Pengelolaan Bencana Kebakaran-pun seolah tidak mampu dimanfaatkan. Fakultas Kehutanan IPB bersama Departemen Kehutanan dan ITTO juga menelurkan 14 rancangan kebijakan yang menghasilkan rekomendasi kebijakan operasional.

Sementara itu, UU Kehutanan No 41 tahun 1999 juga tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran. Contohnya, larangan membakar hutan yang terdapat dalam UU Kehutanan ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3 huruf d). Demikian halnya dengan PP No. 6/99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi dimana tidak ada satupun referensinya yang menyinggung masalah pencegahan kebakaran hutan dalam konteks pengusahaan hutan. Bahkan UU No 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga tidak memberikan mandat secara spesifik sama sekali untuk mengembangkan PP tentang kebakaran hutan. Sama halnya dengan UU No 18 tentang Perkebunan yang tidak memuat sanksi administratif bagi perusahaan yang melakukan landclearing dengan cara bakar.

[1] Mark Lynas, Frankenstein fuels, New Statesman, 7th August 2006, Lebih dari 2.67 juta ton karbon dioxide dilepaskan keudara oleh pembakaran tersebut. Nilainya setara dengan 40 persen dari seluruh emisi yang ditimbulkan dari pembakaran bahan bakar fosil di Indonesia selama setahun

Tidak ada komentar: