Membaca

Zaim Uchrowi

Suatu kebetulankah kalau Firman pertama Allah SWT untuk Nabi Muhammad SAW adalah seruan membaca? Dikisahkan bahwa Malaikat Jibril sampai mengulang tiga kali seruan Iqra sebelum menyampaikan ayat-ayat berikutnya. Bacalah! Bacalah! Bacalah! Seruan yang gemanya tak habis terserap oleh batu-batu besar pembentuk rongga sempit Hira pada tahun 610 silam, melainkan kian terasa keras terdengar sekarang.

Saya berkesempatan mengunjungi Norwegia lagi pekan lalu. Dalam penerbangan ke Oslo, perempuan di samping saya segera mengeluarkan buku dari tasnya begitu duduk di pesawat. Selama hampir dua jam perjalanan, ia tenggelam dalam bacaannya. Begitu pula laki-laki setengah baya dalam perjalanan empat jam kereta api antara Myrdal-Oslo. Buku bukan saja menemaninya, namun juga mengisi detik-detik waktunya. Membaca tampaknya telah menjadi bagian dari budaya mereka. Mungkin itu yang membuat Norwegia menjadi salah satu bangsa dan negara paling sejahtera di dunia.

Pengaruh membaca tecermin kuat pada sikap dan perilaku masyarakat di sana sehari-hari. Sebagaimana lazimnya di negara maju, tertib menjadi ciri mereka, termasuk dalam berlalu lintas. Tak ada saling potong jalan, tak pula suara klakson. Bahkan, di pusat kota sekalipun. Sementara itu, alam terpelihara sedemikian baik di seluruh pelosok negeri. Hutan menghijau sampai ke pinggir kota. Air jernih berlimpah di seluruh wilayah, membuat kita mengangan-angankan surga. Masyarakat yang tak suka membaca tak mungkin mampu mengelola lingkungannya sebaik itu.

Kecenderungan untuk hidup selaras dengan alam memang terasa kuat pada masyarakat setempat. Tak tampak rumah mewah di sana, bahkan di lingkungan elitenya, sebagaimana rumah orang-orang kaya di Jakarta dan di berbagai wilayah lain di Indonesia. Yang ada adalah rumah-rumah yang terlihat fungsional dan nyaman. Masyarakat setempat memang lebih mementingkan kualitas hidup secara menyeluruh ketimbang bergemerlap dan bermegah-megah dalam simbol material. Kualitas kehidupan masyarakat relatif merata. Tak tampak kemiskinan seperti yang bertebaran di sekitar kita.

Budaya membaca itu juga berkorelasi dengan etika dan sikap bertanggung jawab. Dalam mengelola kekayaan alam, misalnya. Di sini semua cenderung berebut konsesi kekayaan alam dan ingin segera mengeksploitasinya sebanyak mungkin hingga bisa sedemikian kaya. Persetan dengan masa depan. Mereka tidak bersikap demikian. Mereka punya minyak melimpah. Tapi, percaya bahwa minyak adalah milik semua generasi, dan bukan cuma milik generasi sekarang. Uang minyak tidak digunakan untuk anggaran negara, apalagi dikorupsi, melainkan harus diinvestasikan.

Nilai uang minyak itu terus membesar dan membawa akibat pada perkembangan bisnis secara nyata. Dengan itulah mereka mampu menyulap diri dari bangsa paling miskin menjadi paling makmur di antara bangsa-bangsa tetangganya. Keadaan seperti itu saya bayangkan semestinya ada di sini, di masyarakat yang merasa beragama ini. Namun, sayangnya, tidak demikian.

Di sini, yang banyak adalah kemiskinan di satu sisi dan bermegah-megah di sisi lainnya, juga korupsi, penjarahan alam, kriminalitas, hingga ketidakbertanggungjawaban. Francis Fukuyama mnyebut rasa percaya antarsesama atau trust sebagai modal sosial bangsa untuk maju. Tetapi, di sini, rasa percaya itu telah menjadi langka. Sama langkanya dengan kebiasaan membaca yang jelas-jelas menjadi seruan pertama Tuhan dalam beragama.

Semestinya kita juga malu pada presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono yang dikenal kutu buku itu. Ia tak seperti banyak pejabat dan 'ibu-ibunya' yang sibuk shopping bila keluar negeri. SBY lebih memilih memborong buku, dan meluangkan waktu khusus untuk membacanya. Sungguh luar biasa bila kegemaran itu menular ke semua anak bangsa. Akan sangat sejahtera Indonesia bila kita semua, mulai dari para pejabat publik, hakim-jaksa-polisi, politisi dan tokoh-tokoh, pebisnis, buruh, sopir, hingga ibu rumah tangga suka membaca. Kegemaran itulah yang perlu kita semua dorong untuk diwujudkan, termasuk oleh Balai Pustaka yang sekarang saya diamanahi untuk memimpinnya. Seruan agar membaca menjadi seruan pertama Allah SWT pada kita semua pasti bukan suatu kebetulan.

Tidak ada komentar: