MASIH ADA MILITER DI HUTAN

rully syumanda, April 2007

Aparat keamanan telah menjadi bagian yang menerima manfaat dari berbagai kebijakan kehutanan negara. Dalam hal ini, pihak militer/polri memainkan peranan penting dalam melakukan konsolidasi dan usaha untuk mempertahankan kekuasaan orde baru, sekaligus kepentingan bisnis, sehingga menimbulkan konflik kepentingan dalam sistem penegakan hukum yang diperuntukkan mengatur industri.

Hingga hari ini keterlibatanmiliter/polri disektor kehutanan/perkebunan belum berkurang secara nyata sejak Orde Baru berakhir. Ide pentingnya pembangunan kawasan perbatasan dengan perkebunan kelapa sawit dipertahankan dengan gigih oleh kalangan militer, terkait unit usaha militer yang telah lama ada di kawasan tersebut. Sepertinya aparat keamanan areal kelapa sawit yang cukup luas dalam upaya mempertahankan negara dari serbuan musuh .

Dimasa lalu, sebagian besar keterlibatan militer tersebut sedikit tersembunyi. Hubungan yang terjadi masih terbatas antara pemilik HPH atau pabrik kayu dengan para komandan militer lokal. Keterkaitan ini tidak dapat dibuktikan karena tidak ada satupun dokumen-dokumen perusahaan merujuk pada hubungan tersebut. Hubungan ini hanya dapat dibuktikan dengan sejumlah kesaksian baik bagi pelaku HPH itu sendiri maupun masyarakat yang berada di dan sekitar kawasan HPH. Namun lagi, keterlibatan mereka (militer dan polisi) sangat penting secara operasional bagi pabrik lokal atau HPH yang bersangkutan.

Sejak awal pemerintahan Soeharto, tentara sudah sangat terlibat dalam kehutanan komersial sebagai pemegang konsesi, rekan usaha, dan penyelenggara perusahaan hutan, dan juga sebagai penyokong keuangan dan pelindung penebangan liar. Pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, sejumlah besar ijin HPHP diberikan kepada para jendral. Cara ini, bagi Soeharto dinilai sangat efektif untuk menggalang dukungan politkk bagi orde baru disamping upaya untuk membungkam resistensi yang mungkin muncul dari jajaran militer dan polisi.

Diatas itu semua, keterlibatan militer dan polisi dalam bisnis ini juga, salah satunya, merupakan cara untuk menutupi anggaran dan gaji yang tidak mencukupi. Keterlibatan para pejabat senior, baik secara kelembagaan maupun pribadi, tidak saja diizinkan, tetapi juga dianjurkan . Brown memperkirakan bahwa lebih dari 62 juta hektar hutan telah diserahkan kepada HPH tanpa proses penawaran tender kepada limapuluh satu konglomerat dan perusahaan hutan negara yang mempunyai ikatan dengan militer dan keluarga Soeharto.

Karena tidak memiliki modal atau keahlian untuk mengembangkan usaha penebangan, para pejabat militer kemudian mengadakan kerja sama dengan para investor, dengan membentuk “yayasan amal”, perusahaan terbatas, koperasi, atau perusahaan perseroan yang dikuasai kepentingan militer. Pada tahun 1995, lebih dari satu juta hektar konsesi penebangan dipegang oleh berbagai perusahaan yang seluruhnya dimiliki oleh yayasan militer . Ini belum termasuk berbagai perusahaan yang sebagian kecilnya dimiliki oleh militer atau beroperasi tanpa izin dan konsesi resmi.

Seorang analis menghitung bahwa pada tahun 1999, secara kolektif angkatan bersenjata Indonesia dan berbagai perusahaan perseroannya menjadi pemegang konsesi kayu terbesar ketujuh di Indonesia, dan produsen kayu papan dan kayu lapis terbesar kesebelas.

Kontribusi modal militer dalam berbagai usaha ini umumnya sangat kecil, namun demikian berbagai yayasan “amal” tersebut menerima bagian yang besar. Kontribusi militer bukan dalam bentuk modal keuangan, tetapi modal politik yang diperlukan untuk memperoleh akses ke lahan hutan dan menekan para pejabat pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan investasi negara yang menguntungkan mereka.

Pada tingkat lokal, tentara dan polisi secara rutin berlaku sebagai penegak hukum yang menguntungkan perusahaan, baik untuk menekan protes maupun untuk disewa perusahaan melakukan “pembebasan lahan” dari masyarakat lokal. Pada bulan Oktober tahun 1997, polisi menyerang para demonstran yang berasal dari Desa Delik, yang memprotes penyitaan lahan untuk kepentingan pembangunan pabrik pulp dan kertas terbesar kedua di Riau, yaitu Riau Andalan Pulp & Paper. Polisi menembak para demonstran yang menghambat pembangunan jalan, melukai dua orang dan menangkap salah seorang dari pengurus masyarakat yang juga seorang wartawan, Marganti Manaloe . Manaloe dihukum tiga tahun penjara karena melakukan provokasi dan sabotase.

Pada tahun 1996 perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Tor Ganda di kabupaten Rokanhulu, membuka lebih dari 10.000 hektar hutan dan kebun karet lokal tanpa izin . Pada tahun 1999, ketika masyarakat lokal dari desa Mahato dan Dalu-Dalu memprotes kehilangan lahan mereka, mereka diserang oleh polisi dan preman-preman yang membakar 100 rumah di tiga desa dan menembak para demonstran sehingga membunuh satu orang dan melukai tigapuluh orang lainnya.

Sampai disini, para tentara dan polisi tetap mempunyai alasan ekonomi yang kuat untuk melindungi industri kehutanan, dan pada masa pemerintahan paska-Soeharto. Hanya sedikit yang telah dilakukan untuk memperbaiki pertanggung gugatan aparat keamanan negara atau keterlibatan mereka secara formal maupun tidak formal dalam bisnis kehutanan.

Kedekatan hubungan Presiden Indonesia paska Soeharto, Megawati, dengan pihak militer kemudian juga menjadi hambatan bagi upaya perbaikan pertanggunggugatan atas pelanggaran hak-hak asasi manusia. Megawati menyerahkan tampuk pimpinan milter kepada pribadi-pribadi yang dahulu termasuk dalam lingkaran Soeharto, dan dalam pengadilan hak-hak asasi manusia kasus Timor Timur yang banyak cacatnya. Para penasihat hukum hak-hak asasi manusia kemudian menyatakan bahwa kegagalan dalam mengusahakan transparansi berbagai bisnis dan anggaran operasional militer adalah salah satu penghalang utama dari usaha meningkatkan pertanggung gugatan dan mengurangi konflik bersenjata di berbagai daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Aceh, Papua, Maluku, dan Poso. Meskipun telah menjadi rahasia umum bahwa keterlibatan militer di berbagai sektor ilegal merupakan strategi yang sudah lama diterapkan untuk menambah anggaran militer sekaligus keuntungan pribadi, terutama melalui sektor pertambangan dan kehutanan.

Bentuk-bentuk umum praktek illegal yang dilakukan meliputi penebangan di wilayah hutan lindung dan taman nasional, dan penebangan tanpa izin atau di luar wilayah yang diizinkan. Kesemuanya dilakukan untuk memenuhi ekspor legal dan illegal ke Singapore dan Malaysia, selain memenuhi kebutuhan dalam negeri yang terus meroket. Selama itu pula para agen militer, polisi dan pejabat pemerintahan lokal bertindak sebagai pendukung keuangan dan pelindung dalam masing-masing tahap operasi penebangan liar, termasuk ekstraksi kayu, pengangkutan, dan pengolahan. Keterlibatan yang dalam ini telah didokumentasikan dengan baik di hutan-hutan lindung di Aceh dan Kalimatan Tengah . Pada tahun 1998, DFID mendokumentasikan 23 penggergajian liar di sekitar Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di Riau; 12 di antaranya mempunyai dukungan militer, 1 memiliki dukungan polisi, dan 5 mendapat dukungan Departemen Kehutanan.

Keterlibatan mendalam pemerintah dengan penebangan liar telah diakui secara terbuka oleh mantan Direktur Jendral Kehutanan Suripto . Suripto kemudian menyerahkan bukti dugaan keras korupsi yang dilakukan oleh para gembong bisnis utama dan 18 sindikat penebangan liar ke Kantor Kejaksaan Agung dan Polisi. Mereka yang terlibat di antaranya adalah bos kayu dan kroni Soeharto yaitu Prajogo Pangestu dan puteri Soeharto yaitu Siti Hardijanti “Tutut” Rukmana. Suripto menduga keras bahwa mereka di antaranya terlibat dalam penipuan dan menyalahgunakan dana reboisasi (karena memberikan perkiraan yang terlalu tinggi tentang luas lahan yang akan direboisasi dengan tujuan mendapatkan dana reboisasi yang lebih besar), menghindari pajak, dan sengaja membakar lahan untuk perkebunan yang melanggar undang-undang tentang larangan pembakaran. Sampai sekarang belum ada tuduhan atau tuntutan resmi yang telah diajukan.

Militer telah lama menjadi dari penerima manfaat kebijakan kehutanan negara yang memperbolehkan negara menyita secara besar-besaran lahan yang diklaim oleh masyarakat lokal. Pihak militer memegang peran utama dalam konsolidasi dan usaha mempertahankan kekuasaan Orde Baru, sekaligus mempunyai kepentingan bisnis dalam ekonomi bangsa.

Tidak ada komentar: