Setahun kebijakan SBY – JK pada sektor kehutanan

rully syumanda, April 2006



Deforestasi terus berlangsung di Indonesia. Angkanya berubah dan cenderung menurun bukan karena penanganan yang sesuai namun dikarenakan semakin sulitnya bahan baku kayu dijangkau oleh penebang liar. Bila pada tahun 2003 WALHI memperkirakan laju kerusakan sebesar 3,2 juta hektar, pada tahun 2005 ini WALHI memperkirakan laju kerusakan hutan “hanya” berkisar pada angka 2,4 juta hektar.

Sektor kehutanan Indonesia pada dasarnya berada pada titik nadir. Puluhan industri kehutanan telah menutup usahanya karena ketiadaan bahan baku. Besarnya kebutuhan bahan baku industri yang mencapai 63 juta meter kubik pertahun tidak mampu dipenuhi oleh hutan alam dan kebun kayu (HTI) yang hanya mampu menyuplai kurang dari 20 persen dari total kebutuhan. Angka ini belum lagi termasuk 25 juta meter kubik kebutuhan kayu bagi masyarakat Indonesia.

Dengan gap yang sedemikian besar dan ancaman hancurnya industri yang pernah menyumbang 79% pasokan global, dibutuhkan penanganan khusus dari kepemimpinan SBY-JK. Utamanya untuk menjamin keberlanjutan industri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Tiga Masalah Mendasar

Kembali kebelakang, pada dasarnya masalah kehutanan didasarkan pada tiga hal pokok: Kegagalan pemerintah untuk menghormati hak-hak masyarakat terhadap hutan, kapasitas yang berlebih dari industri yang ada dan korupsi yang menyebar sedemikian parah pada sektor kehutanan, dari mulai institusi resmi yang mengurus sektor kehutanan sampai dengan aparat penegak hukumnya. Semua terlibat dan tidak menyisakan satupun aktor yang bersih dari korupsi.

Tiga masalah pokok tersebut menjadi judul besar dari penyelesaian masalah kehutanan Indonesia. WALHI meyakini bahwa bila ketiga hal tersebut tidak segera ditangani dengan segera, prediksi MS. Ka’ban tentang kemungkinan musnahnya hutan alam indonesia dalam 15 tahun kedepan bisa jadi akan datang jauh lebih cepat.

Setahun masa kepemimpinan SBY – JK, dalam kacamata WALHI, belum lagi menampakkan pijakan yang berarti dalam menangani sektor kehutanan. Pemberantasan illegal logging yang sempat menarik perhatian massa ternyata tidak juga diikuti dengan konsistensi. Seperti biasa, pemberantasan illegal logging masih bersifat sporadis dan mandeg pada satu titik. Brengseknya, operasi tersebut malah justru dijadikan momen bagi industri pencuri kayu untuk menarik nafas dan beristirahat dari aktivitas amoralnya.

Padahal lagi, praktik illegal logging di Indonesia telah menciptakan kerugian 30 triliun rupiah per tahun dengan total kayu tercuri 70 juta m3 setiap tahunnya. Perkiraan lain malah menyebutkan angka US$ 4 milyar per tahun. Angka ini menjadi fantastis mengingat saat ini BPPN menguasai 129 perusahaan kehutanan dengan total hutang mencapai Rp 21,9 trilyun. Lebih dari separuh (12 trilyun) milik perusahaan pengolahan kayu tanpa HPH.

Bila dilihat lebih jauh, illegal logging pada dasarnya bukan masalah utama dari sektor kehutanan. Illegal logging hanya merupakan simptom dari memburuknya sustainable forest industries. Ia merupakan dampak ikutan dari besarnya gap antara supply dan demand industri kehutanan, yang sayangnya tidak menjadi perhatian dari kepemimpinan SBY-JK.

Blunder Penyelesaian Masalah Over-Capacity

Ketimpangan antara supply dan demand malah dijawab dengan kebijakan yang bersifat blunder dan mengancam sisa hutan alam Indonesia. Pilihan revitalisasi industri kehutanan dengan peningkatan penyediaan bahan baku untuk pemenuhan industri, dalam logika paling awampun menjadi mustahil mengingat angka demand yang sulit untuk terkejar.

Kebijakan penyediaan bahan baku dapat dilihat dari rencana Departemen Kehutanan dimana target yang ingin dicapai adalah perluasan 5 juta hektar HTI. Anehnya lagi, pemerintah merasa tidak ada yang salah dengan berdirinya 2 industri pulp baru di Kalsel oleh United Fibre System (UFS) dan di Kalteng oleh Korindo Group. Belum lagi rencana investor dari Malaysia dan India yang akan membangun pabrik di Kalimantan Barat, yang kesemuanya malah justru menambah angka demand industri kehutanan dan menciptakan ancaman baru hutan Indonesia dengan pola kebodohan serupa, membangun industri terlebih dahulu dan bukan membangun perkebunannya terlebih dahulu.

Pembentukan Badan Restrukturisasi untuk menyelesaikan carut marut industri kehutanan ternyata juga tidak segarang nama yang dimilikinya. Disamping tidak adanya kewajiban bagi daerah untuk memberikan nama perusahaan dan konsesi yang telah dikeluarkan oleh daerah, Badan yang berada dibawah naungan Departemen Kehutanan ini juga cenderung pasif dan menunggu bola. Mungkin tepat bila idiom anak muda masa kini di tabalkan pada Badan Restrukturisasi: hari gini nunggu bola?

Tidak Ada Political Will Terhadap Hak Masyarakat

Dilain hal, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat terhadap hutan juga luput dari perhatian kepemimpinan SBY-JK. Dalam kacamata WALHI, hilangnya kontrol masyarakat terhadap hutan selama ini telah menyebabkan hutan terus saja dipandang sebagai komoditi berdasarkan tegakan pohon diatasnya. Tidak heran sistem pengelolaan kehutanan yang dimiliki pemerintah cenderung bersifat ekstraksi yang menafikan daya dukung lahan.

Ketidak berpihakan kepemimpinan SBY-JK terhadap hak-hak masyarakat terhadap hutan, secara gamblang bisa dilihat pada kebijakan Mendagri yang mencabut Peraturan Daerah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat di Wonosobo pertengahan tahun ini. Ini adalah preseden terbesar dari kepemimpinan yang tidak mengakui hak masyarakat terhadap hutan.

Meskipun kemudian pemerintah melontarkan ide HTI berbasis masyarakat untuk menjawab kebutuhan perluasan konsesi HTI, namun toh pengabaian hak masyarakat terhadap hutan sepertinya cenderung dijadikan patron sebagaimana pola HKM yang telah diperkenalkan beberapa tahun yang lalu.

---o00OOO00o---

Penyelamatan Sektor Kehutanan Indonesia

Sektor kehutanan pada dasarnya merupakan salah satu sektor yang memainkan peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor ini menjadi penyedia bahan baku utama bagi industri hilir yang bisa mengkatrol pendapatan devisa negara, asalkan dikelola secara arif dan bijaksana.

Dimulai pada tahun 1960-an melalui pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan, sektor ini terus menggeliat melalui terobosan industri kayu lapis, yang pada tahun 1980-an menjadi pemasok 79 persen kebutuhan global.

Pada akhir tahun 1980-an, industri pulp dan kertas mulai meluncur dengan subsidi dari Dana Reboisasi, sehingga biaya produksi menjadi yang terendah di dunia. Dari tahun 1988 hingga 2001, produksi pulp meningkat sepuluh kali lipat menjadi 6,1 juta ton per tahun. Produksi kertas meningkat tujuh kali lipat menjadi 8,3 juta ton per tahun pada masa yang sama. Pada tahun 2001, pulp dan kertas menyumbang 50% dari ekspor kehutanan negara.

Sayangnya, berbagai kemudahan bagi industri kehutanan dan trilyunan devisa yang diperoleh dari sektor ini malah membuat Pemerintah menutup mata atas berbagai anomali yang terjadi. Segera saja sektor kehutanan menjadi salah satu sektor yang turut serta berperan dalam penghancuran ekonomi, ekologi, dan sosial.

Pada aspek ekonomi, sektor ini turut serta menyumbang besaran hutang yang harus ditanggung pemerintah. Nilainya pun tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp 21,9 trilyun yang berasal dari 120 an perusahaan kehutanan.

Berbagai peraturan pemerintah yang mengiringi larangan ekspor kayu bulat yang tidak diikuti dengan kebijakan ambang batas ekstraksi, ditambah berbagai subsidi untuk perusahaan-perusahaan kayu untuk membangun unit-unit pengolahan terlebih dahulu, memastikan terjadinya dominasi konsesi kayu.

Larangan ekspor menurunkan harga kayu dalam negeri sehingga menjamin akses industri terhadap kayu murah. Larangan ekspor sekaligus memicu peningkatan kapasitas industri kayu yang menyebabkan terjadinya peningkatan kecepatan penebangan dan penyitaan lebih lanjut lahan masyarakat lokal.

Akibatnya baru dirasakan sekarang. Kapasitas produksi membumbung jauh tinggi dan tidak mampu dipenuhi oleh hutan alam dan HTI yang ada. Pilihan kebijakan SBY-JK yang menjawab masalah ini dengan pendekatan revitalisasi juga menambah daftar panjang blunder kebijakan sektor kehutanan. Tidak salah bila dikatakan, seperti yang telah diungkapkan diatas bahwa Sektor Kehutanan Indonesia berada di titik nadir!

Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan sektor kehutanan Indonesia, yaitu dengan mengeluarkan kebijakan yang bersifat radikal. Kebijakan ini harus diarahkan untuk menjamin keberlanjutan sektor kehutanan. Sejumlah kebijakan yang sifatnya menggampangkan masalah, sebagaimana pilihan SBY-JK harus dipangkas. Lebih baik prihatin dalam beberapa tahun asalkan menjamin keberlanjutan industri kehutanan daripada pesta pora di lima tahun pertama lalu kolaps pada tahun berikutnya.

Jeda Tebang Hutan Alam Indonesia

WALHI memandang perlu dilakukan sesegera mungkin jeda tebang pada hutan alam Indonesia. Jeda tebang tentunya tidak bisa dilakukan secara serta merta. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Hal utama yang harus dilakukan untuk menuju jeda tebang adalah penghentian izin peningkatan kapasitas produksi dan izin bagi konsesi baru.

Pemerintah kemudian harus merubah paradigma dan jangkauan Badan Restrukturisasi Industri Kehutanan. Badan ini sudah harus mulai menjemput bola dengan melakukan audit terhadap berbagai industri kehutanan. Pemerintah tidak boleh ragu untuk menutup perusahaan yang terbukti tidak lagi memiliki bahan baku.

Kebijakan ini juga harus diikuti dengan pembukaan kran impor bahan baku mentah bagi industri yang ada. Intensif juga perlu di berikan kepada industri yang terbukti secara managerial dan finansial memiliki prospek yang cerah sekaligus bertanggung jawab terhadap peningkatan perekonomian lokal.

Pada saat bersamaan, pemerintah juga harus mengeluarkan kebijakan pembangunan industri hilir perkebunan yang disesuaikan dengan kapasitas produksi terpasang untuk menyerap lonjakan tenaga kerja dari sektor kehutanan. Dua langkah ini harus dijalankan secara bersamaan agar tidak terjadi kegamangan tenaga kerja di sektor kehutanan.

Hal yang harus menjadi agenda utama pemerintah adalah pengakuan terhadap hak-hak masyarakat. Dengan pelibatan masyarakat dalam pengamanan hutan dan dengan menjamin hak merekalah masalah deforestasi dan degradasi lahan bisa diminimalkan. Tentunya pengakuan atas hak ini tidak hanya terbatas pada kawasan komunal milik masyarakat namun juga penjaminan akses mereka terhadap bioregion sebagai salah satu instrumen pendukung sustainable livelihood mereka.

Tidak ada komentar: