PLANTATION INDUSTRY

rully syumanda, april 2007

Bagi jutaan masyarakat lokal, pembangunan hutan tanaman industri berarti membangun masalah. Disadari atau tidak, pembangunan hutan tanaman industri sepertinya mengesahkan pembongkaran hutan alam sekaligus menabrak peraturan pemerintah mengenai kriteria kawasan yang dijadikan areal IUPHHKHT atau HTI, yakni bukanlah pada hutan alam, melainkan pada lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar di hutan produksi (PP 34/2002, pasal 30 ayat 3), atau pada penutupan vegetasi berupa non-hutan atau areal bekas tebangan yang kondisinya rusak dengan potensi kayu bulat berdiameter 10 cm untuk semua jenis kayu dengan kubikasi tidak lebih dari 5 m3 per hektar (Kepmenhut 10.1/2000, Pasal 3). Demikian halnya, kriteria yang sama juga ditegaskan oleh Kepmenhut 21/2001, poin (b), Kepmenhut 33/2003, pasal 5 ayat (2) huruf c); Kepmenhut 32/2003, pasal 4 ayat (2) huruf a); dan Permenhut 05/2004, pasal 5 ayat (1)

Sebagian besar hutan taman industri juga dibangun dengan dana reboisasi (DR) yang berasal dari penebangan hutan alam yang seharusnya digunakan untuk jaminan kelestarian hutan alam bagi kepentingan rakyat pada masa-masa yang akan datang. Demikianlah, pembangunan hutan tanaman industri didasarkan pada pengesahan pengabaian hak-hak rakyat, melalui pelepasan lahan-lahan produktif milik masyarakat lokal menjadi kebun kayu komersial. Berkembangnya gagasan pembangunan Hutan Tanaman Industri, diawali sebuah seminar di tahun 1984 yang membahas tentang ”Timber Estate”. Seminar kemudian merekomendasikan program untuk merehabilitasi lahan-lahan hutan yang kritis dan tidak produktif. Sebagai tindak lanjutnya, dilakukan berbagai penelitian dan percobaan di sentra-sentra lahan kritis, seperti di Benakat dan Sumberjeriji (Sumatera Selatan), Padang Lawasa (Sumatera Utara) dan Riam Kanan (Kalimantan Selatan) .

Dalam perkembangannya, gagasan ini bergeser, dimana HTI didorong menjadi penyeimbang bahan baku kayu untuk industri. Di tahap awal, realisasi gagasan ini dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), baru kemudian, lewat Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang HPHTI, dilibatkan sektor-sektor swasta dalam bentuk unit-unit pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI) .

Meskipun tujuan pembangunan kebun kayu adalah untuk menyediakan kayu dalam jumlah besar dalam waktu sesingkat-singkatnya, selalu dikatakan bahwa pembangunan kebun kayu adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Selalu dipropagandakan bahwa keuntungan pembangunan kebun kayu sebenarnya diperuntukkan bagi masyarakat setempat. Dalam skala nasional pun sering dikatakan bahwa masa depan ekonomi dan sosial negara tergantung dari kebun kayu sebagai bahan baku kertas. Janji-janji ini terutama dikatakan bahwa kebun kayu akan meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan ekspor bagi pembangunan negara .

Namun lagi dalam perkembangannya kemudian, sebagaimana halnya industri berbasis lahan lainnya di Indonesia, hutan tanaman industri telah menciptakan ketegangan dan masalah-masalah ekonomi, sosial dan budaya yang sebagian besar belum terselesaikan hingga sekarang. Hutan alam biasanya menjadi penyedia air, makanan dan tanaman yang dibutuhkan masyarakat. Sekali hutan alam hilang dan digantikan kebun kayu, maka seluruh kebutuhan tersebut serta-merta hilang dan tidak dapat digantikan.

Pembangunan hutan tanaman industri juga seringkali menciptakan konflik horisontal di dalam masyarakat. Konflik dipicu antara mereka yang menolak kehadiran perusahaan kebun kayu dengan mereka yang menerimanya. perusahaan, dengan sponsor pemerintah kemudian semakin memecah kedua kelompok ini dengan menyebut kelompok yang pro sebagai “maju” dan “terbelakang” bagi yang menolaknya. ‘Money politic’ sudah sejak lama diterapkan dalam menghadapi masyarakat yang dianggap berpotensi ‘menggangu’. Uang diberikan kepada pemimpin-pemimpin desa dan kepala-kepala adat agar masyarakat menerima proyek-proyek pembangunan kebun kayu serta membantu mempermudah manipulasi penyerahan lahan-lahan hutan untuk pembangunan kebun kayu .

Masalah ekonomi yang ditimbulkan dari pembangunan hutan tanaman industri adalah terkonsentrasinya kekayaan. Dengan menguasai lahan dalam skala besar, industri kebun kayu membutuhkan dukungan dan investasi jangka panjang yang membebani pemerintah. Dalam banyak kasus, perusahaan tersebut butuh subsidi langsung, keringanan pajak, hutang lunak dari kreditor, penelitian kehutanan pembangunan jalan serta peningkatan infrastruktur lain dan subsidi-subsidi lain yang diperoleh dari rakyat secara keseluruhan. Dengan kata lain, dukungan bagi pembangunan kebun kayu —yang diberikan pemerintah— sebenarnya berasal dari rakyat untuk segelintir pemilik kebun kayu. Konsentrasi kekayaan berimplikasi pada konsentrasi kekuasaan dan menghilangkan kepemilikan masyarakat lokal. Pembangunan kebun kayu skala besar memag dapat mendorong ekonomi makro, namun sekaligus menghancurkan pola-pola ekonomi lokal dan konservasi alam

Perkembangan pembangunan hutan tanaman industri itu sendiri selama ini jauh dari yang diharapkan. Alih-alih hutan tanaman industri ditujukan untuk mengganti hutan yang rusak dan sebagai pemasok kayu bagi industri kehutanan, skema hutan tanaman industri justri dijadikan alat untuk mendapatkan kayu dari hutan alam. Banyak industri (utamanya pulp) yang mengajukan pembangunan hutan tanaman industri namun tidak melakukan penanaman. Pembukaan hutan terus dilakukan untuk memasok kayu namun tidak dibarengi dengan penanaman. Berbagai insentif dan kemudahan yang diberikan kepada pengusaha untuk sesegera mungkin membangun hutan tanaman industri ternyata disalahgunakan.

Jelas, pembangunan sektor hilir tanpa dibarengi hutan tanaman industri selama ini membuat pengusaha diuntungkan dengan terus menerus mengkonsumsi kayu bulat dari hutan alam baik di konsesi cadangan HTI miliknya maupun dari sumber luar.
Industri pulp di Indonesia adalah industri yang paling banyak mengkonsumsi kayu. Berdiri pada awalnya di Leces dan Padalarang di Jawa dan satu di Sumatera Utara. Pada tahun 1997-1998 pemerintah memberikan dana reboisasi sebesar 1 triliun bunga sangat rendah kepada group Barito dan Bob Hasan

Meskipun pembangunan HTI baik untuk industri pulp maupun untuk industri pertukangan lainnya adalah didalam kawasan hutan produksi tetap dan dalam kondisi kritis. Akan tetapi banyak diketahui, banyak perusahaan pulpwood plantation mendapatkan konsesi diatas kawasan yang masih mempunyai potensi kayu yang cukup bagus. Disamping itu, industri pulp-paper juga sampai sekarang masih dipasok dari hutan alam, akibat laju realisasi pertumbuhan hutan tanaman industri yang masih rendah.

Tabel 1. Pembangunan HTI 2000 - 2006

Pada tahun 2003, Departemen Kehutanan sendiri menyebutkan bahwa rata-rata industri pulp-paper mengalami kekurangan bahan baku sekitar dua juta meter kubik per tahunnya. Sedangkan pasokan dari Hutan Tanaman Industrinya, baik dari groupnya ataupun dari pasokan diluar groupnya hanya berkisar sekitar 25 persen saja. Artinya, lebih dari separoh pasokan berasal dari luar pulpwood plantation dalam satu group, bahkan dari konversi hutan alam.

Sampai dengan tahun 2006, angka kekurangan ini bukan semakin mengecil namun justru bertambah. Peningkatan kapasitas produksi yang dilakukan tanpa didahului analisis ketersediaan bahan baku menjadi penyebab utama. Pada tahun 2006 ke tujuh industri pulp nasional membutuhkan kayu hingga 27,708 juta meter kubik. Sekitar 33 persen persen kayu untuk industri pulp diperoleh bukan dari HTI .

Dalam salah satu wawancara dengan koran lokal, Menteri Kehutanan Era Megawati, M. Prakosa mengungkapkan bahwa banyak pabrik pulp dan kertas menampung kayu ilegal untuk bahan bakunya.

"Banyak industri pulp dan kertas yang menggunakan bahan baku bukan dari hutan tanaman industri (HTI), melainkan dari hutan alam atau bahkan menampung kayu ilegal. Sifat industri ini sangat rakus terhadap bahan baku sehingga juga berpeluang menjadi faktor perusak hutan. Industri pulp dan kertas seharusnya tidak akan kekurangan bahan baku jika mereka melaksanakan penanaman HTI sesuai jadwal yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan industri yang dikelolanya”.

Tabel 2. Pembangunan HTI sampai dengan April berdasarkan kelas perusahaan 2006


Adalah fakta di lapangan dimana para pengelola HTI pulp itu lebih banyak memanfaatkan kayu hutan alam yang akan dikonversi menjadi HTI tapi realisasi penanamannya terabaikan. Dari tujuh industri pulp di Indonesia, hanya satu yang terlebih dahulu membangun konsesi HTInya. Enam lainnya dibangun terlebih dahulu tanpa disertai persiapan pembangunan hutan tanaman industri, yang rata-rata dibangun pada tahun 1995, memastikan legalisasi penghancuran besar-besaran hutan alam Indonesia selama 25 tahun hanya dari sektor industri pulp.

”kami tidak terburu-buru membangun kebun akasia selama masih ada pasokan kayu campuran yang murah. Kenapa kami harus menggantinya dengan akasia? Kami punya akses terhadap bahan baku yang murah. Membangun perkebunan akasia tidak hanya membutuhkan biaya yang cukup tinggi namun juga penuh resiko. Perkebunan akasia yang kami bangun sekarang ini tidak ubahnya polis asuransi. Kami akan uangkan bila bahan baku kayu dari hutan alam sudah tidak tersedia lagi. ”

Tidak ada komentar: