FOREST FIRES


Setelah bencana El Nino pada tahun 1997/98 yang menghanguskan 25 juta hektar hutan diseluruh dunia, kebakaran hutan dianggap sebagai faktor yang paling potensial dalam menghambat pembangunan berkelanjutan karena dampaknya yang dahsyat bagi ekosistem , peningkatan emisi karbon dan keanekaragaman hayati. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun yang sama bahkan disebutkan sebagai bencana terburuk tahun 1997 karena dampaknya bagi hutan dan emisi karbon yang dilepaskan ke udara. Lebih dari 2.67 juta ton karbon dioxide dilepaskan keudara oleh pembakaran tersebut. Nilainya setara dengan 40 persen dari seluruh emisi yang ditimbulkan dari pembakaran bahan bakar fosil di Indonesia selama setahun. Bapenas memperkirakan kerugian dari kebakaran 4,5 juta hektar hutan dan lahan pada tahun 1997/1998 mencapai angka US$ 9,72 milyar

Pembakaran hutan dan lahan selama ini merefleksikan bahwa praktek ini dilakukan secara sengaja dan menjadi salah satu bagian penting dari masalah kehutanan dan perkebunan Indonesia. Fakta lapangan menunjukkan bahwa kawasan yang terbakar adalah kawasan yang telah telah dibersihkan melalui proses land clearing sebagai salah satu persiapan pembangunan perkebunan. Artinya kebakaran hutan secara nyata dipicu oleh api yang sengaja dimunculkan yang ditujukan untuk melakukan pembersihan lahan.

Maraknya pembakaran hutan hutan dan lahan setidaknya juga dipengaruhi oleh (1) pembangunan industri kayu yang tidak dibarengi dengan pembangunan hutan tanaman sebagai bahan baku; (2) besarnya peluang yang diberikan Pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan konversi lahan menjadi perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan sawit dan perkebunan kayu (HTI); (3) penegakan hukum yang lamban merespon tindakan konversi dan pembakaran yang dilakukan meskipun instrumen hukumnya melarang hal tersebut.

Berkaca pada kebakaran hebat tahun 1997/1998, penyebabnya cukup bervariasi. Di Jambi dan Riau pembakaran disebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit oleh perusahaan. Di Sumatera Selatan kebakaran terjadi di lahan basah yang berkaitan dengan kebiasaan masyarakat untuk bersawah, penangkapan ikan dan penebangan pohon. Di Kalimantan, Project Lahan Sejuta Hektar menjadi pemicu utama ekspor asap ke Malaysia dan Singapura. Sementara di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, kebakaran disebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan HTI.

Pada tahun-tahun berikutnya, kebakaran hutan dan lahan memang tidak sedahsyat yang ditimbulkan pada tahun 1997. Namun toh, angka hotspot yang muncul setiap tahunnya tetap menjadi perhatian karena memicu pencemaran kabut asap dan emisi karbon yang cukup besar.

Pada tahun 2001, angka hotspot yang dapat direkam di Sumatera dan Kalimantan pada Bulan Januari sampai dengan Agustus sebanyak 3.202 titik, dan kemudian angka hotspot tidak pernah turun dari 40.000 titik setiap tahunnya pada tahun-tahun berikutnya kecuali pada tahun 2005 sebanyak 39 ribu titik dan menurun kembali pada tahun 2006 menjadi 23 ribu titik. Dari dua pulau tersebut, Propinsi Riau tetap tercatat merupakan propinsi yang paling banyak menghasilkan titik panas. Disusul kemudian Kalimantan Tengah, Kalbar dan Sumatera Selatan.

Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan di tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 cukup besar. Untuk sumatera saja, total kerugian untuk kebakaran pada pada medio tersebut mencapai US$ 7,8 milyar kemudian disusul dengan Kalimantan yang mencapai US$ 5,8 milyar. Namun toh gabungan keduanya telah mencapai separuh dari total kerugian di seluruh Indonesia pada medio yang sama.

Dari kebakaran tersebut, hilangnya fungsi hutan sebagai pengendali erosi merupakan satu hal yang patut dicermati. Keuntungan jang panjang yang dimiliknya membuat parameter ini memiliki nilai yang sangat besar. Bukaan hutan dan lahan karena kebakaran hutan akan mengakibatkan tanah menjadi tidak stabil. Ketika musim hujan, molekul-mlekul tanah akan saling melepaskan diri. Pada pergerakan minimal, molekul tersebut akan terbawa air hujan dan menciptakan sedimentasi di sungai. Dimasa mendatang, ketika curah hujan tinggi maka sungai tidak lagi mampu menampung air dalam volume yang besar sehingga menyebabkan banjir. Sedangkan pada pergerakan maksimal yang apabila dipengaruhi dengan faktor kemiringan maka akan menciptakan longsor.

Tabel 1 Jumlah Hotspot Sumatera, Kalimantan dan Indonesia 2001 - 2006

Sumber: Diolah dari satelit NOAA, Dbase WALHI 2007

Tabel 2 Penilaian Ekonomi Kerusakan Fungsi Ekologis Hutan Pasca Kebakaran Hutan 2001 – 2006 (US$)

Tabel 3 Rekapitulasi Kerugian Nasional Akibat Kebakaran Hutan nasional Tahun 2001 – 2006 (US$)



MENYALAHKAN PETANI
Sejak kebakaran hebat tahun 1997/1998, pemerintah memiliki kecenderungan untuk menyalahkan peladang gilir balik (petani). Tidak heran. Objek yang satu ini (peladang gilir balik) sedari awal selalu menjadi kambing hitam atas segala kerusakan di hutan. Pada tahun 1967 sampai dengan 1990, peladang gilir balik merupakan objek yang paling sering dianggap sebagai sumber masalah karena deforestasi yang diciptakannya. Soedjarwo, Menteri Kehutanan Indonesia tahun 1987, dalam kata sambutan buku Sejarah Kehutanan Indonesia menyebutkan

”Langkah-langkah yang salah (seperti peladangan berpindah-pindah, penebangan liar, pemudaan yang tidak serius), kita jadikan cermin peringatan, yang harus senantiasa kita waspadai.”

Hal ini sangat tidak beralasan. Terkait dengan masalah kebakaran, analisa yang dilakukan terhadap sebaran hotspot pada tahun 2001 hingga 2006 justru menyebutkan bahwa 81,1 persen kebakaran terjadi justru di wilayah konsesi perkebunan skala besar. Selebih berada di kawasan milik masyarakat dan atau kawasan lindung. Masalah ini sebenarnya telah diungkapkan enam tahun yang lalu oleh Bapedal yang menyampaikan dalam kesimpulannya bahwa:

”Terjadi akumulasi asap akibat pembakaran hutan yang berkontribusi terhadap penurunan kualitas udara disebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan serta wilayah serawak Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Selanjutnya dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan/lahan penting untuk diupayakan penegakkan hukum bagi para pelaku pembakaran oleh pengelola lahan skala besar selain meningkatkan kesadaran masyarakat.”

Hampir semua orang menyadari bahwa ada yang salah dengan penegakan hukum sehingga masalah kebakaran hutan dan lahan selalu berulang setiap tahunnya. Namun kesadaran saja ternyata tidak cukup. Dibutuhkan kemauan untuk merubah kebiasaan tersebut. Masalah penegakan hukum misalnya, sampai dengan tahun 2006 ternyata hanya 11 kasus yang ditangani pengadilan. Dari sebelas kasus tersebut hanya 3 yang memiliki putusan tetap. Sisanya kandas sebelum atau dalam putusan sela dengan alasan administrasi atau masalah keterwakilan.

Pengendapan kasus-kasus kebakaran adalah hal lain yang juga harus dicermati. Kebakaran hutan dan lahan pada pertengahan 2006 lalu misalnya, meskipun telah disebutkan bahwa seluruh berkas telah siap namun hingga hari ini tidak pernah terdengar khabar beritanya. Jadi pertanyaan publik nasional dan internasional mengenai keseriusan penegakkan hukum baik yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ada maupun instrumen internasional yang telah disepakati oleh Indonesia menjadi pertanyaan serius, terutama untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, kepentingan menjaga lingkungan dan penerapan prinsip zero burning.

Sampai disini, pemerintah pada dasarnya telah gagal untuk meminimalisir kebakaran hutan dan lahan. Meskipun ratusan seminar dan workshop telah dilakukan, ratusan agenda telah dihasilkan namun toh kebakaran selalu berulang. Apakah dana menjadi kendala? Sepertinya tidak. Hingga tahun 2004, Departemen Kehutanan telah menjalin kerjasama dengan pihak donor dan mendapatkan dana hibah lebih dari 452 milyar. Ini belum termasuk kerjasama bilateral yang dilakukan secara langsung baik dengan departemen luar negeri maupun dengan kemerntrian lingkungan. Ini juga belum termasuk bantuan langsung dari Malaysia yang acap kali menurunkan bantuannya dalam bentuk team pemadam kebakaran (Bomba).

Tabel 4 Daftar Proyek Kerjasama Luar Negeri di Lingkup Departemen Kehutanan, 2004

Catatan: Nilai tukar per 5 Maret 2007

MUSIM PEMBAKARAN
Sampai disini, kita semua sadar bahwa pembakaran hutan dan lahan adalah menu tahunan industri kehutanan dan perkebunan di Indonesia. Disebut pembakaran, bukan kebakaran, karena lebih banyak ditemukan unsur kesengajaannya. Hutan Indonesia masuk dalam kategori hutan hujan basah yang tidak memungkinkan bagi hutan terbakar dengan sendirinya. Dalam banyak kasus, kawasan yang terbakar adalah kawasan yang telah dibersihkan (landclearing) sebagai proses persiapan pembangunan perkebunan. Api yang tidak terkendali kemudian memasuki hutan skunder yang memiliki vegetasi kurang dari 20 m3/ha. Dengan tipe hutan yang kita miliki pula, serasah yang muncul jauh lebih sedikit dibanding tipe hutan seperti Eropa dan Amerika. Munculnya serasah disebabkan semakin luasnya tutupan hutan alam yang terbuka akibat penebangan yang merusak. Kebakaran hutan tidak akan mungkin terjadi bila tidak dipantik oleh api diatas serasah.

Pembakaran hutan sendiri merupakan buah dari kesalahan kebijakan dan pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia. Dosa turunan ini dimulai sejak 1980 an, ketika industri perkebunan mulai menggeliat dan mulai mempraktekkan budaya tebang, imas dan bakar, yang akhirnya menjadi ritme keseharian industri kehutanan dan perkebunan di Indonesia, dan menjadikan asap sebagai menu tahunan masyarakat.

Bila ditarik benang merah, pembakaran hutan dan lahan adalah sebuah symptom dari memburuknya kesehatan hutan alam akibat eksploitasi hutan secara masif sejak 1970 an. Blunder pengelolaan hutan inilah yang menjadi penyebab utama rusaknya hutan alam yang ada disamping sebagai penyebab utama kebakaran hutan dan lahan.

Sedikitnya, terdapat tiga turunan kesalahan pengelolaan hutan di Indonesia yang mendorong praktik kebakaran hutan: pertama besarnya gap antara supply dan demand dimana hutan alam dan HTI hanya mampu mensupply 49 persen dari separuh kapasitas produksi industri kehutanan. Pemerintah kemudian memberikan jutaan hektar hutan untuk dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit dan HTI. Meskipun peraturan mensyaratkan pembangunan kelapa sawit dan HTI dilakukan pada lahan-lahan kritis, namun pemerintah memiliki tujuan bahwa dari landclearing yang dilakukan perusahaan perkebunan dan HTI itu nantinya akan menghasilkan kayu yang cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan industri.

Bila semua sudah didapatkan, segera saja mesin buldozer dan chainsaw bergerak membabat hutan sampai rata. Masalah baru muncul ketika ada begitu banyak bekas kayu-kayu kecil dan tonggak-tonggak kayu berserakan di hamparan hutan yang baru ditebang tersebut. Untuk membersihkannya dibutuhkan dana antara Rp. 200.000 sampai dengan Rp. 300.000 per hektarnya. Keliahatan kecil. Namun ila dikalikan dengan ribuan hektar yang telah dibuka maka nilai ini menjadi kendala. Hal yang paling gampanga dalah membayar petani setempat sebesar Rp. 50.000/haktar (pada tahun 2006 harganya naik menjadi Rp. 150.000/hektar). Itupun tidak semuanya diberikan kepada petani. Perusahaan cukup menumpuk kayu menjadi lajur-lajur yang lurus dan panjang dan memberikan upah 10 hektar pembakaran kepada petani. Sisanya biarkan angin yang bekerja.

Ketiga, masalah penegakan hukum. Paradigma pembangunan kehutanan di Indonesia adalah menarik investasi dalam dan luar negeri sebesar-besarnya. Kepentingan investasi dan sang investor sendiri tentu harus dijaga agar kedepannya dapat memberikan devisa yang cukup. Untuk menjaga agar investasi tetap ada maka pemerintah membuka pintu kepada investor selebar-lebarnya untuk melakukan konversi diatas hutan alam. Ditambah dengan permintaan kertas dan CPO dunia yang terus meningkat, segera saja industri perkebunan kelapa sawit dan HTI Pulp melakukan land clearing dengan metode pembakaran agar bisa dengan cepat dilakukan penanaman dengan biaya yang rendah sekaligus menghasilkan keuntungan yang besar. Praktek ini berlangsung dengan telanjang tanpa tindakan apapun dari pemerintah selain rakor, workshop dan permohonan bantuan ke negara-negara tetangga.

Grafik 1 Pasar Eksport CPO Indonesia


Selain pertimbangan untuk mempercepat landclearing, pembakaran hutan dan lahan dibeberapa tempat juga dijadikan pilihan untuk menaikkan pH tanah. Di sebagian Kalimantan dan Sumatera misalnya, dengan pH berkisar antara 3 - 4 membuat komoditi perkebunan sawit dan akasia tidak cocok untuk tumbuh dikawasan tersebut. Dengan melakukan pembakaran, abu yang tersisa akan mampu menaikkan pH tanah menjadi 5 – 6 sehingga layak untuk ditanami (contoh putusan hukum: Pembakaran yang di lakukan di areal PT. Adei Plantation & Industry dimana industri bersangkutan mengakui bahwa pembakaran lahan salah satunya ditujukan untuk menaikkan kadar pH tanah).

El Nino memang berhubungan dengan kekeringan dan kebakaran hutan. Namun patut digaris bawahi bahwa el Nino bukan penyebab kebakaran hutan melainkan necessary condition terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Patut digarisbawahi pula bahwa upaya menyalahkan perladangan tradisional gilir balik adalah sangat tidak beralasan sama sekali. Hal ini bisa kita lihat dan pahami bahwa kegiatan tradisional tersebut telah lama diakukan oleh masyarakat namun belum pernah terjadi seperti ini. Meskipun pada masa itu juga telah terjadi el Nino.

Sejak tahun 2001 hingga Mei 2006 diketahui bahwa kebakaran pada lahan-lahan milik masyarakat hanya mencapai 18,1 persen dari total keseluruhan wilayah yang terbakar. Dari angka itu, kurang separuhnya terjadi pada lahan-lahan pertanian milik masyarakat yang menerapkan sistem rotasi pertaniannya. Sisanya lagi di kawasan-kawasan eks HPH yang ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya kemudian digunakan oleh masyarakat.

Patut digarisbawahi bahwa kebijakan pemerintah yang menafikan hak masyarakat terhadap tanah adat istiadat telah memunculkan sejumlah konflik antara masyarakat disatu sisi dengan pemerintah dan perusahaan HPH disisi lain. Konflik yang pada akhirnya merugikan kedua belah pihak seringkali berakhir dilapangan untuk menentukan benar salahnya. Tidak pernah konflik ini ditangani secara serius dengan memfasilitasi pihak-pihak yang bertikai. Meskipun sulit menjadi penengah mengingat pemerintah selama ini selalu menempatkan dirinya pada ruang yang sama dengan perusahaan.

Sementara itu, penegakan hukum terhadap berbagai modus metode yang digunakan oleh perusahaan perkebunan dalam melakukan praktek landclearing dengan menggunakan api juga tidak pernah menjadi perhatian serius pemerintah.

Bukti-bukti bahwa konsesi perkebunan dibersihkan dengan cara bakar sebetulnya sudah bisa dilihat indikasinya di lapangan. Tanpa harus menemukan sekaleng bensin dan sebatang korek api, tumpukan kayu yang disusun berjalur-jalur sebetulnya sudah mengindikasikan bahwa kawasan tersebut sedang dalam persiapan pembersihan lahan dengan metode bakar. Metode ini paling sering digunakan oleh perusahaan untuk mendapatkan hasil yang efektif dan juga sebagai salah satu upaya meminimalisir penyebaran api yang lebih luas.

Di berbagai perkebunan di Sumatera maupun di Kalimantan mempraktekkan hal serupa. Kayu seukuran betis orang dewasa dan yang telah membusuk disusun berjalur-jalur. Metode ini juga sekaligus mematahkan argumen yang sering kita dengar dari perusahaan bahwa mereka akan melakukan landclearing secara alami dengan bantuan bahan kimia maupun organisme tertentu. Penyusunan tumpukan kayu dalam bentuk jalur akan membutuhkan bahan kimia dan atau organisme dalam jumlah besar yang tentunya berlawanan dengan sifat perusahaan yang berorientasi profit.

Pada tahun 2004, WALHI Riau melakukan gugatan terhadap 36 perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran hutan dan lahan. Bukti-bukti yang didapatkan dari lapangan menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga perusahaan tersebut menerapkan metode serupa dengan membuat lajur-lajur tumpukan kayu agar memudahkan pembakaran. Dari total tersebut, lebih dari separuhnya memiliki indikasi kuat kearah tersebut. Sayang, gugatan ini mental hanya karena putusan selanya memutuskan bahwa WALHI tidak mempunyai kewenangan melakukan gugatan.


KEBIJAKAN YANG TIDAK BIJAK
Pemerintah sama sekali tidak memiliki keseriusan untuk meminimalisir apalagi menindak pelaku pembakaran. Padahal, sejak bencana kebakaran hutan yang terjadi di tahun 1997, berbagai studi dan kajian telah dilakukan. Bahkan sejumlah bantuan dari UNDP pada tahun 1998 yang telah menghasilkan Rancang Tindak Pengelolaan Bencana Kebakaran-pun seolah tidak mampu dimanfaatkan. Fakultas Kehutanan IPB bersama Departemen Kehutanan dan ITTO juga menelurkan 14 rancangan kebijakan yang menghasilkan rekomendasi kebijakan operasional yang, sekali lagi, belum diadopsi menjadi kebijakan pemerintah.

Sementara itu, UU Kehutanan No 41 tahun 1999 juga tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran. Contohnya, larangan membakar hutan yang terdapat dalam UU Kehutanan ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3 huruf d).

Bandingkan dengan negara Malaysia yang memberlakukan kebijakan tegas (tanpa kecuali) tentang larangan pembukaan lahan dengan cara bakar. UU ini juga secara tegas memberikan denda sebesar 500.000 ringgit dan/ 5 tahun penjara baik bagi pemilik mapun penggarap lahan.

Demikian halnya dengan PP No. 6/99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi dimana tidak ada satupun referensinya yang menyinggung masalah pencegahan kebakaran hutan dalam konteks pengusahaan hutan. Bahkan UU No 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bersama UU No. 41/99 juga tidak memberikan mandat secara spesifik sama sekali untuk mengembangkan PP tentang kebakaran hutan.

Instrumen Hukum Internasional :
1. The Geneva Convention on The Long-Range Transboundary Air Pollutan, 1979 (Konvensi Geneva 1979) : pasal 2 menyebutkan bawa mewajibkan Negara-negara peserta konvensi untuk berusaha menekan serendah mungkin, secara bertahap mengurangi dan mencegah pencemaran udara termasuk pencemaran udara lintas batas.
2. Asean Agreement on The Conservation of Nature and Natural Resources, 1985 (ASEAN ACNN) : selain kerangka hukum kerjasama bidang konservasi alam dan sumber daya alam tetapi memuat juga kewajiban negara-negara ASEAN untuk mencegah kebakaran hutan sebagaimana yang tercermin dalam pasal 6 ayat (1) dan (2)
3. Resolusi Singapore 1992 : Menegaskan dan memperkuat kerjasama dibidang bencana alam, pencemaran udara dan air lintas batas, tumpahan minyak, pembuangan limbah berbahaya dan kebakaran hutan.
4. Resolusi Bandar`Seri Begawan, 1994 : Rencana Aksi Strategis ASEAN tentang Lingkungan Hidup
5. ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollutan, 1995 (ASEAN CPTP) : memuat 3 program dan salah satunya mengenai pencemaran udara lintas batas .


Peraturan Perundang-undangan Indonesia :
1. Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 49 & 50, dengan jelas mengatur tanggung jawab pemegang izin konsesi atas terjadinya kebakaran hutan dan larangan melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan di dalam areal kerjanya.
2. UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan pasal 26 menyebutkan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup dan larangan ini diatur dalam pasal 48 dan pasal 49.
3. Undang-undang No. 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 41 dan 42, dengan jelas mengatur perbuatan melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau pengrusakkan lingkungan hidup. Serta pasal 45 mengatur pidana dibidang lingkungan hidup jika tindakan tersebut dilakukan oleh badan hukum (perusahaan).
4. Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan pasal 10 ayat (2) hurup b menyebutkan bahwa perlindungan hutan meliputi pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak kebakaran walaupun didalam pasal 42 dan 43 mengenai tindakan pidana diberlakukan bagi pihak yang tidak memiliki surat-surat dan ijin atas hasil hutan.
5. Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan juga mengatur larangan terhadap pembakaran hutan dan lahan, namun sanksi yang diberlakukan hanyalah sanksi administrasi seperti yang diatur dalam pasal 25 dan 27 UU PLH.


MEMILIH YANG BISA DARIPADA YANG SEHARUSNYA

Berbagai anomali kebijakan terkait pemberantasan praktek kebakaran hutan belum menemukan titik pasti bagaimana masalah ini disikapi. Bahkan arah menuju ke titik tersebutpun belum lagi terlihat. Berbagai inisiatif pemerintah cenderung untuk memilih pelaksanaan aktivitas dan kebijakan yang bisa dilakukan dibanding dengan apa yang seharusnya dilakukan. Misalnya dengan pengadaan sarana dan prasarana pemadaman kebakaran, membuat sistem deteksi yang bisa diakses dengan cepat untuk mengetahi keberadaan titik api, melakukan rapat kordinasi dengan berbagai institusi ketika api dan asap tengah menjalar.

Sementara itu belum ada satupun kebijakan maupun aktivitas penegakan hukum yang mengarah pada tindakan preventif yang bisa dijadikan alat untuk membuat efek jera bagi para pelaku kebakaran. Ada indikasi perusahaan-perusahaan menjadi parasit ditubuh pemerintah dengan menciptakan simbiosis mutualisme dan saling menguntungkan. Perusahaan diuntungkan dengan meminimalkan biaya landclearing dan pemerintah menjadikan perusahaan sebagai ATM yang siap sedia diakses kapan saja untuk biaya-biaya dinas maupun non dinas yang tidak tercover dalam anggaran pembangunan daerah. Yang jelas, ada pengakuan perusahaan terhadap banyaknya pungutan-pungutan dari pemerintah yang jauh lebih besar dibanding pungutan resminya.



PENTING DILAKUKAN
Apa yang salah dari penanganan kebakaran di Indonesia ini? WALHI melihat ada beberapa faktor yang perlu untuk dilakukan sesegera mungkin.

1. Menyetop pengeluaran izin baru bagi konversi lahan, utamanya pada kawasan yang memiliki tutupan hutan.
2. Mengeluarkan peraturan perundangan yang melarang dengan tegas dan memuat sanksi baik terhadap perusahaan yang menggunakan metode bakar, maupun yang konsesinya terbakar.
3. Mencabut seluruh izin usaha bagi perusahaan-perusahaan yang menggunakan metode bakar dalam proses land clearing.
4. Memberlakukan hukuman bagi PENJAHAT LINGKUNGAN dengan proporsional
5. Menyusun Pedoman Pembukaan Lahan Tanpa Bakar yang sifatnya tegas, jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat awam sekalipun
6. Memberlakukan insentif ekonomi sebagai ransangan kepada perusahaan yang melakukan land clearing tanpa metode bakar


Tidak ada komentar: