Rumah Bumi Manusia

John Muhammad


Bumi adalah rumah manusia. Rumah kehidupan. Bila ada yang membantah sejarah Adam-Hawa atau sejarah asal-usul manusia sekalipun, sejarah bumi sebagai wadah kehidupan tetap kekal dan tak bisa ditawar.

Bahkan, kalaupun ada yang berhasil menemukan jejak kehidupan di Mars, mereka hanya menemukan masa lalu. Sebab, satu-satunya yang hidup dan tersisa saat ini hanyalah bumi kita ini.

***

Namun manusia kurang pandai menjaga rumahnya. Hari ini, kesehatan bumi terus memburuk. Nafas bumi semakin ngos-ngosan. Kadang kala ia terbatuk-batuk. Meletupkan bencana alam dan menebarkan penyakit pada penghuninya.

Ini karena paru-parunya terus digerogoti. Tadinya bumi punya banyak paru-paru dan sekarang tersisa hanya dua. Pertama, hutan di Amazon, Brazil, Amerika Selatan dan yang kedua adalah hutan di Kalimantan, Indonesia, Asia Tenggara. Hutan-hutan ini adalah produsen oksigen. Bila menciut maka jumlah oksigen yang dihasilkan akan berkurang.

Ini juga karena manusia terus memproduksi racun, seperti karbon monoksida dari polusi yang dibuatnya. Atmosfer yang seharusnya melindungi, mengatur temperatur bumi malah disesaki racun yang membuat pantulan sinar matahari terperangkap.

Tak ayal, bumi langsung kena demam. Suhu tubuhnya terus meningkat hingga mencairkan es di dua kutub kita, merubah iklim dan merusak tatanan ekosistem bumi. Inilah biang petaka yang sering kita alami akhir-akhir ini, yakni fenomena yang disebut: pemanasan global (global warming).

Padahal obat mujarab buat bumi kita yang sekarat sebenarnya sederhana saja: kurangi polusi dan lindungi hutan. Manusia tak perlu repot-repot bolak-balik ke Mars, mencari kemungkinan pindah kesana. Obatnya ada pada kita, yakni: kebijaksanaan (wisdom).

***

Sebenarnya, Indonesia punya potensi sebagai pahlawan. Yakni dengan menyumbangkan daya upaya menyelamatkan hutan, terutama paru-paru bumi di Kalimantan.

Fakta bahwa negeri kita mencatat rekor tercepat penghancuran hutan, memang memalukan. Catatan badan PBB yang menangani masalah pangan dan agrikultur (FAO) menunjukkan dalam waktu lima tahun (2000-2005), kita sudah menghancurkan kurang lebih 1,871 juta hektar per tahun atau 51 kilometer persegi per hari. Kalau kurang percaya dengan PBB, silakan tengok catatan milik WALHI, yakni tiap satu menit, lima hektar hutan musnah atau setahunnya hutan seluas Pulau Bali hilang.

Tapi sebagai calon pahlawan bumi, kita harus anggap itu jadi tantangan. Kita harus menghentikan kerakusan memeras alam kita. Insyaf dari berfoya-foya atas kenikmatan yang kita miliki sekarang.

Sebagai contoh adalah kampanye jeda tebang (berhenti menebang) yang dikumandangkan aktivis lingkungan beberapa waktu yang lalu. Contoh lain adalah apa yang saya sebut sebagai “rumah bumi manusia”, yakni rumah-rumah yang turut andil menyelamatkan bumi. Sebuah konsep rumah yang dilandasi kesadaran maksimal atas kondisi bumi saat ini. Kebijaksanaan memperlakukan rumah seperti menyelamatkan bumi.

***

Dalam dunia arsitektur, aliran ini disebut sebagai “arsitektur hijau” (green architecture). Di dunia barat, catatan mengenai gerakan ini diawali oleh Ian McHarg, seorang arsitek lansekap asal Skotlandia pada 1969 lewat bukunya berjudul Design with Nature. Namun karya McHarg tidak secara detil menggambarkan penerapan konsep “hijau” dalam sebuah desain lingkungan dan bangunan.

Baru kemudian, Sim van der Ryn dan Sterling Bunnell, kelompok pengajar di Universitas Berkeley memulai eksperimen bangunan hijau melalui proyek Integral Urban House (1979). Disini prinsip-prinsip hijau mulai terungkap dalam dikotomi desain integral dan desain linier (keberlanjutan penggunaan energi).

No. Integral System Linear System
1. Energy flows through loops Energy flows along straight lines
2. Parts fit overlapping functions Parts are specialized modular components
3. Low entropy/high information High entropy/low information
4. Open system/closed loops Closed system/no loops
5. Memory stored diffusely Memory stored in centralized components
6. High rate of material recovery High rate of material loss
7. Multiple alternate channels Single channels
8. Little waste High waste
9. Self-regulating Imbalance passed along
10. Multipurpose Single purpose
11. Steady flow of energy Surging flow of energy
12. Diversity, complexity, stability Uniformity, simplicity, instability
13. High number of species Low number of species
14. Biomorphic aesthetic Linear aesthetic

Wacana McHarg juga mempengaruhi sayap-sayap desain ekologis lain seperti Anne Whiston Spirn (The Granite Garden – 1984) yang mengetengahkan prinsip komplementarian dalam desain, John dan Nancy Todd (Bioshelters, Ocean Arks and City Farming: Ecology as the Basis of Design – 1984) yang memformulaskan prinsip ekologi desain. Hassan Fathy (Natural Energy and Vernacular Architecture, 1986), Kenneth Yeang (Tropical Urban Regionalism – 1987) serta Team Zoo/Keiko Arimura-Hiroyasu Higuchi-Keichi Otake-Tsutomu Shigemura dan Reiko Tamida (Principles of Design – 1991).

Precepts of Biological Design (John & Nancy Todd)
1. The living world is the matrix of all design
2. Design should follow, not oppose the laws of life
3. Biological equity must determine design
4. Design must reflect bioregionality
5. Projects should be based on renewable energy sources
6. Design should be sustainable through the integration of living systems
7. Design should be coevolutionary with the natural world
8. Building and design should help heal the planet
9. Design should follow a sacred ecology

Kemudian ditegaskan oleh Robert dan Brenda Vale (Green Architecture, 1991) hingga akhirnya, disaripatikan oleh William McDonough (The Hannover Principles – 1992).

Six Principles of Green Architecture (Robert & Brenda Vale)
1. Conserving energy
2. Working with climate
3. Minimizing new resources
4. Respect for users
5. Respects for site
6. Holism

The Hanover Principles (William McDonough)
1. Insist on rights of humanity and nature to co-exist in a healthy, supportive, diverse and sustainable conditon
2. Recognize interdependence
3. Respect relationship
4. Accept responsibility for the consequence of design decisions
5. Create safe objects of long-term value
6. Eliminate the concepts of waste
7. Rely on natural energy flows
8. Understand the limitation of design
9. Seek constant improvement by the sharing of knowledge

Biasanya karya-karya mereka disebut green building atau green house. Yang menonjol dari bangunan mereka adalah penerapan teknologi high-end, seperti penggunaan tenaga surya atau angin sebagai pemasok listrik pada bangunan, atau jenis kaca jendela khusus yang dapat berperan aktif mengatur terik matahari, tidak memantulkan panas ke sekitar bangunan dan lainnya.

Sementara, Indonesia? Teknologi high-end untuk menciptakan rumah yang bisa merawat bumi, jelas sulit diterapkan. Alasannya apalagi kalau bukan ongkosnya terlalu mahal. Sehingga tak ada pilihan lain selain mengoptimalkan prinsip dasar arsitektur seperti penataan cahaya alami, sirkulasi udara alami dan beralih ke material non kayu atau meminimalisir penggunaan kayu.

***

Contoh nyata karya semacam ini ada pada sebuah rumah di depan Taman Tangkuban Perahu, dekat Pasar Rumput, arah ke Manggarai. Tepatnya di Kelurahan Guntur, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Pusat. Rumah ini mendapatkan penghargaan IAI (Ikatan Arsitektur Indonesia) Award tahun 2006 lalu. Arsiteknya Adi Purnomo atau yang biasa dipanggil Mamo.

Meneladani kepedulian pada bumi atau arsitektur empatis ala Mamo sebenarnya tidak sulit. Pertama, optimalkan kaidah-kaidah fisika bangunan untuk menghemat energi, seperti ventilasi silang, kolam air penyejuk dan teritisan atap yang lebar. Hal ini berpengaruh menyejukkan ruangan sehingga meminimalisir penggunaan listrik. Pelajari pola sirkulasi angin dan orientasi cahaya matahari saat akan mendesain rumah. Sehingga kita tidak perlu sering-sering menggunakan kipas angin, AC dan lampu.

Kedua, optimalkan vegetasi pada site. Taati kaidah arsitektur dalam perbandingan minimal untuk 40 % ruang luar dan 60 % ruang dalam. Lebih bagus lagi jika halaman lebih luas dari bangunan. Jika memang terpaksa melebihi aturan etika ini, jalan keluarnya bisa meniru Mamo, yakni membuat atap beton berlapis rumput atau atap rumput. Jenis rumput yang umum biasanya rumput manila (Zoysia Matrella), rumput yang biasa digunakan pada lapangan sepak bola.

Bahkan, kita dapat menerapkan living wall atau dinding hidup, yakni menanami vegetasi secara vertikal di dinding. Caranya bisa menggunakan tanaman merambat atau meniru Mamo, yakni membuat “secondary skin”, dinding tanaman yang terbuat dari rak kayu sehingga memungkinkan meletakkan pot-pot tanaman perdu.

Asal tahu saja, setiap pohon besar mampu memproduksi 4580 kg oksigen per tahun. Sementara, manusia membutuhkan 2,9 kg oksigen per hari atau sekitar 1058,5 kg per tahun. Jika satu rumah berisi 4 orang maka dibutuhkan 4234 kg per tahunnya. Jadi menanam satu pohon besar di halaman rumah, sudah mencukupi kebutuhan oksigen dan kesegaran udara sepanjang tahun. Bahkan, setiap pohon yang ditanam memiliki kapasaitas mendinginkan udara yang setara dengan 5 unit AC yang dioperasikan selama 20 jam per hari.

Kalau perlu berdiskusi dengan ahli pertamanan untuk menentukan jenis tanaman yan tepat. Sebab, tanaman-tanaman tertentu secara alami dapat membantu persoalan manusia. Sebagai contoh misalnya tanaman lidah mertua atau ular-ularan (sanseveira) yang memiliki kemampuan menekan polusi udara terbaik saat ini. Daunnya yang panjang dan tebal terbukti mampu meresap asap rokok hingga asap knalpot. Untuk mengatasi gangguan serangga gunakan tanaman penghalau nyamuk seperti zodia, lavender dan geranium sebagai ganti obat nyamuk atau yang lebih agresif seperti kantung semar atau tanaman pemakan serangga lainnya.

Ketiga, meminimalisir penggunaan kayu. Yang terbaik sebenarnya kita beralih ke material non kayu namun keyakinan umum bahwa material kayu memberikan nuansa tropis dan menampilkan kesan “hommy” (rumahan, nyaman) memang sulit ditolak. Tanpa kayu, publik biasanya akan mengasosiasikan bangunan sebagai kantor, toko dan bukan rumah (house).

Berguru dari Mamo, semua pintu dan jendela sebenarnya bisa dibebaskan dari kusen. Sebagai gantinya digunakanlah sistem bukaan yang dibor langsung ke dinding. Sementara, untuk perabot-perabot yang berbahan kayu bisa diganti dengan menggunakan kayu olahan, kayu sisa atau bahkan bambu yang jumlahnya masih melimpah.

Keempat, hindari penggunaan bahan kimia dalam bangunan. Selain merusak lingkungan, pengaruhnya terhadap kesehatan penghuni juga kurang baik. Itu sebab mengapa Mamo, seringkali membiarkan beberapa dinding tidak dicat atau diganti dengan penutup batu alam.

Kelima, jangan lupa “menanam” air dan memperbaiki polutan rumah tangga. Bencana banjir belakangan ini meski tanggungjawab pemerintah, bisa dibantu dengan membuat sumur resapan dan mulai memisahkan jenis sampah kita. Lebih bagus lagi kalau kita bisa dan mau mengolah sampah kita menjadi kompos.



Mudah kan? Pengalaman saya menerapkan lima kiat ini bisa menekan anggaran biaya pembangunan normal 10 – 20 % (diluar pembuatan atap rumput). Sayangnya, saya baru bisa meyakinkan satu klien. Kebanyakan klien memang masih terpengaruh tren umum. Tapi, kalau bisa mempraktekkan paling tidak satu dari lima kiat tadi, beban rasa bersalah pada anak-cucu kita tentu berkurang.

***

Itu saja? Ya jelas tidak. Sehebat-hebatnya penciptaan rumah yang menyelamatkan bumi tidak akan menghentikan musuh-musuh bumi, seperti pembalak, pabrik-pabrik atau bahkan perang yang juga turut menghancurkan lingkungan. Jadi kita musti melawan mereka.

Inilah kiat keenam dan terakhir: lanjutkan dengan bergabung dengan aksi-aksi menyelamatkan bumi! Akhir kata, saya ucapkan: “Sampai jumpa di lokasi demonstrasi!”



Jakarta, Mei 2007


jm.



Sumber:
 Kopi Materi Presentasi WALHI berjudul “Hutan Alam Indonesia”, Rully Syumanda (Forest Campaign Walhi), 2007.
 Buku “Relativitas”, Adi Purnomo, Borneo Publication, 2005;
 Majalah Serial Rumah/Arsitektur, Cetakan I Maret 2007, “Kayu & Aplikasinya”, PT. Prima Indosarana Media;
 DVD (bajakan) berjudul “An Inconvenient Truth”, David Guggenheim, Lawrence Bender Production, 2006;
 Catatan pribadi, judul “Hijau – Dari Gerakan ke Desain Hingga Politiknya”, 2004
 dan lainnya.








Tidak ada komentar: