Kebakaran Hutan dan lahan - Kebutuhan Akan Kebijakan Yang Mengatur Tanggung Jawab Perusahaan

rully syumanda

Abstraksi

Dalam briefing paper yang telah disampaikan oleh WALHI sebelumnya menyebutkan bahwa penyebab kebakaran hutan yang berakibat pada pencemaran asap dan meningkatnya emisi karbon disebablan oleh kebakaran yang dilakukan secara sengaja dan rambatan api dikawasan/lahan gambut dengan tottal luas hutan dan lahan yang terbakar dalam kurun waktu 6 tahun terakhir mencapai 27,612 juta hektar. Data yang dimiliki oleh WALHI menunjukkan bahwa tindakan kesengajaan secara khusus diwilayah Sumatera dan Kalimantan dipicu oleh : pembakaran lahan untuk perkebunan sawit dan HTI oleh perusahaan dan proyek lahan sejuta hektar yang berbuntut ekspor asap ke wilayah negara lain antara lain Malaysia dan Singapura.

Pembakaran hutan yang kami sampaikan dalam kertas posisi ini merefleksikan bahwa kebakaran hutan dilakukan secara sengaja dan menjadi salah satu bagian penting dari masalah kehutanan dan perkebunan Indonesia. Hutan Indonesia sebenarnya masuk dalam kategori hutan hujan basah yang sebenarnya kecil kemungkinan terjadi kebakaran dengan sendirinya atau yang disebabkan karena faktor alam. Faktanya kawasan yang terbakar adalah kawasan yang telah telah dibersihkan memalui proses land clearing sebagai salah satu persiapan pembangunan kawasan perkebunan. Artinya kebakaran hutan secara nyata dipicu oleh api yang sengaja dimunculkan.

Penyebab lain dari meningkatnya tingkat pembakaran hutan/lahan setidaknya juga dipengaruhi oleh (1) pembangunan industri kayu yang tidak dibarengi dengan pembangunan hutan tanaman sebagai bahan baku ; (2) besarnya peluang yang diberikan Pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan konversi lahan menjadi perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan sawit dan perkebunan kayu (HTI) ; (3) penegakkan hukum yang lamban merespon tindakan konversi dan pembakaran yang dilakukan pengusaha dengan alasan meningkatkan kadar PH (kesuburan) tanah padahal instrumen hukumnya melarang hal tersebut.

Saat ini ada upaya untuk menyalahkan perladangan tradisional gilir balik (ladang berpindah) sebagai pelaku kebakaran hutan/lahan padahal hal tersebut sangat tidak beralasan sama sekali sebab sejak tahun 2001 hingga Mei 2006 diketahui bahwa kebakaran pada lahan-lahan milik masyarakat hanya mencapai 20 persen dari total keseluruhan wilayah yang terbakar. Dari 20 persen tersebut, kurang separuhnya terjadi pada lahan-lahan pertanian milik masyarakat yang menerapkan sistem rotasi pertaniannya. Sisanya lagi di kawasan-kawasan eks HPH yang ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya kemudian kembali digunakan oleh masyarakat. Keadaan ini sebenarnya enam tahun yang lalu telah disampaikan dalam Laporan Bapedal yang menyampaikan dalam kesimpulannya bahwa terjadinya akumulasi asap akibat kebakaran/pembakaran hutan memberikan kontribusi terhadap penurunan kualitas udara disebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan serta wilayah serawak Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Selanjutnya dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan/lahan penting untuk diupayakan penegakkan hukum bagi para pelaku pembakaran oleh pengelola lahan skala besar selain meningkatkan kesadaran masyarakat.

Data dan informasi yang juga dikoleksi oleh WALHI melalui media massa terkait penegakkan hukum lingkungan untuk kasus kebakaran hutan/lahan yang pelakunya oleh pemegang hak pengusahaan hutan/perkebunan selama kurun waktu 2001-2006 menyebutkan sebanyak 11 kasus pembakaran hutan/lahan yang diproses hukum dan dibawa ke pengadilan. Jadi pertanyaan publik nasional dan internasional mengenai keseriusan penegakkan hukum baik yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ada maupun instrumen internasional yang telah disepakati oleh Indonesia menjadi pertanyaan serius, terutama unutk memenuhi rasa keadilan masyarakat, kepentingan menjaga lingkungan dan penerapan prinsip zero burning.

Aspek Hukum Kebakaran Hutan
Terkait dengan penegakkan hukum kebakaran hutan/lahan yang telah disampaikan diatas, terutama untuk mendorong proses penegakkan hukum, setidaknya ada instrumen hukum nasional dan instrumen hukum (perjanjian) internasional dalam kasus kebakaran hutan/lahan yang bisa dijadikan landasan, antara lain :

Instrumen Hukum Internasional :
  1. The Geneva Convention on The Long-Range Transboundary Air Pollutan, 1979 (Konvensi Geneva 1979) : pasal 2 menyebutkan bawa mewajibkan Negara-negara peserta konvensi untuk berusaha menekan serendah mungkin, secara bertahap mengurangi dan mencegah pencemaran udara termasuk pencemaran udara lintas batas.
  2. Asean Agreement on The Conservation of Nature and Natural Resources, 1985 (ASEAN ACNN) : selain kerangka hukum kerjasama bidang konservasi alam dan sumber daya alam tetapi memuat juga kewajiban negara-negara ASEAN untuk mencegah kebakaran hutan sebagaimana yang tercermin dalam pasal 6 ayat (1) dan (2)
  3. Resolusi Singapore 1992 : Menegaskan dan memperkuat kerjasama dibidang bencana alam, pencemaran udara dan air lintas batas, tumpahan minyak, pembuangan limbah berbahaya dan kebakaran hutan.
  4. Resolusi Bandar`Seri Begawan, 1994 : Rencana Aksi Strategis ASEAN tentang Lingkungan Hidup
  5. ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollutan, 1995 (ASEAN CPTP) : memuat 3 program dan salah satunya mengenai pencemaran udara lintas batas .

Peraturan perundang-undangan Indonesia :
  1. Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 49 & 50, dengan jelas mengatur tanggung jawab pemegang izin konsesi atas terjadinya kebakaran hutan dan larangan melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan di dalam areal kerjanya.
  2. UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan pasal 26 menyebutkan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup dan larangan ini diatur dalam pasal 48 dan pasal 49.
  3. Undang-undang No. 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 41 dan 42, dengan jelas mengatur perbuatan melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau pengrusakkan lingkungan hidup. Serta pasal 45 mengatur pidana dibidang lingkungan hidup jika tindakan tersebut dilakukan oleh badan hukum (perusahaan).
  4. Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan pasal 10 ayat (2) hurup b menyebutkan bahwa perlindungan hutan meliputi pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak kebakaran walaupun didalam pasal 42 dan 43 mengenai tindakan pidana diberlakukan bagi pihak yang tidak memiliki surat-surat dan ijin atas hasil hutan.
  5. Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan juga mengatur larangan terhadap pembakaran hutan dan lahan, namun sayang sanksi yang diberlakukan adalah sanksi administrasi seperti yang diatur dalam pasal 25 dan 27 UU PLH.

Ketentuan diatas memperlihatkan banyaknya aturan hukum yang menyangkut larangan pembakaran hutan/lahan terutama dalam dua aturan hukum, antara lain dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Keduanya memang melarang tindakan pembakaran lahan. Sementara dalam hal tindakan pembakaran hutan masuk dalam kategori pencemaran maka ketentuan larangan dan sangsinya pun diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang PLH.

Dari beberapa ketentuan diatas, setidaknya ada beberapa hal yang kami catat. Ketentuan mengenai kebakaran/pembakaran hutan didalam UU Kehutanan sebenarnya tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran karena larangan membakar hutan yang terdapat dalam UU Kehutanan ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3 huruf d) ditambah lagi dengan dengan PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi dimana tidak ada satupun pasal yang menyinggung masalah pencegahan kebakaran hutan bagi pengusahaan hutan. Sementara ketentuan dalam PP No. 4 tahun 2001 memperkecil interpretasi penggunaan pasal 10 dalam PP No. 45 tahun 2004 tentang tindakan penegakkan hukumnya, artinya tindakan perlindungan hutan dari tindakan pembakaran akan diberlakukan bagi mereka pelaku yang tidak memiliki ijin atau surat yang syah sesuai peraturan yang berlaku. Dalam PP No. 4 tahun 2001 itu pula ketentuan sangsi bagi pembakar hutan hanya diberlakukan sangsi administrasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 25 dan 27 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sementara itu UU No 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga tidak memberikan mandat secara spesifik untuk mengembangkan peraturan dibawahnya (setingkat Peraturan Pemerintah) tentang pencemaran lingkungan seperti kasus kebakaran hutan ini. Sama halnya dengan UU No 18 tentang Perkebunan yang tidak memuat sanksi administratif bagi perusahaan yang melakukan landclearing dengan cara membakar. Padahal ini salah satu yang dibutuhkan oleh penegakkan hukum sesuai mandat pelestarian lingkungan (hutan) dan prinsip zero burning yang ditetapkan dalam beberapa klausul perjanjian (hukum) internasional. Pertanyaan mendasarnya adalah : aturan hukum apa yang dipergunakan selama ini untuk melakukan penegakkan hukum mengenai kebakaran/pembakaran hutan terutama yang dilakukan oleh badan hukum baik pemilik hak pengusahaan hutan dan perkebunan dan siapa yang melakukannya ?

Rekomendasi
Dari beberapa uraian diatas ada banyak celah yang membingungkan dan ini nyata-nyata dipergunakan oleh pihak yang sengaja melakukan cara-cara pengusahaan hutan/perkebunan dengan jalan pembakaran hutan sebagai jalan yang sebenarnya melawan hukum, selain ada celah ketidakserasian siapa aktor penegak hukumnya, dalam hal penegakkan hukum secara sektoral yang selama ini dilakukan antara pihak Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kepolisian Republik Indonesia dengan arahan undang-undangnya masing-masing. Bahkan ditingkat lapangan hal ini menjadi sangat rumit sekali. Melihat fakta ini maka kami, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) merekomendasikan beberapa hal, antara lain:

  1. Perlu dilakukan upaya yang keras untuk mendorong penegakkan hukum lingkungan, terutama bagi pelaku pembakar hutan dan pentingnya dilakukan koordinasi semua departemen yang terkait dengan dikukuhkan oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) atau lebih tinggi setingkat Instruksi Presiden (Inpres) seperti yang kita lihat dalam Inpres mengenai Pemberantasan Illegal Logging.
  2. Perlu diupayakan lahirnya Peraturan Pemerintah terutama oleh Kementrian Lingkungan Hidup mengenai tanggung jawab perusahaan apabila terjadi kebakaran/pembakaran di hutan/lahan di konsesinya untuk menutup celah kesimpangsiuran ketentuan hukum seperti yang telah dipaparkan diatas.

Tidak ada komentar: