Sawit Tidak Akan Pernah Mungkin Menggantikan Fungsi Ekosistem

rully syumanda, maret 2006

Tuduhan Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) terhadap WALHI yang dianggap tidak memiliki data yang akurat tentang dampak dari perkebunan kelapa sawit dianggap sebagai suatu hal yang menggelikan. Hal tersebut diungkapkan WALHI dalam siaran persnya hari ini (09/11) di Jakarta.

Sebagai forum lingkungan terbesar di Indonesia dengan jumlah anggota lebih dari 400 organisasi di 25 propinsi, WALHI memiliki human resources yang cukup untuk mendokumentasikan segala impak yang ditimbulkan dari pembangunan. WALHI juga tercatat sebagai anggota Friends of the Earth, sebuah organisasi lingkungan yang berada di 40 negara dan membangun jaringan dengan sejumlah institusi penelitian dan ekspert dari berbagai belahan dunia.

Untuk itu, WALHI menyarankan agar GPPI ”turun gunung” untuk melihat realitas yang berserakan dilapangan. ”Fakta musnahnya cadangan air, biodiversity dan konflik yang tidak terhitung banyaknya tidak bisa dilihat hanya diatas kertas atau berdasarkan laporan staff. Anda harus melihat ke lapangan, membaca lebih banyak media massa dan laporan-laporan yang dikeluarkan berbagai institusi peneliti independen,” ungkap Rully Syumanda, Pengkampanye Hutan WALHI.

Dalam kesempatan tersebut WALHI juga mengungkapkan musnahnya sejumlah sungai-sungai kecil di Sumatera Utara dan Riau. Kedua propinsi yang terkenal sebagai sentra produksi sawit tersebut kehilangan banyak sungai kecil akibat penanaman sawit di daerah aliran sungai. Sungai Kerumutan di Riau misalnya, semula memiliki lebar 15 meter kini hanya berupa parit dengan lebar tidak lebih dari 1 meter. Di Sumatera Utara, jumlah sungai yang hilang jauh lebih banyak. Sejarah perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara memang jauh lebih dulu dibanding Propinsi lainnya sehingga dampak yang ditimbulkan bisa lebih kasat mata. Sementara itu di Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur, pembangunan kelapa sawit malah mengganggu pasokan PDAM akibat berkurangnya pasokan air tanah.

Sawit adalah tanaman yang rakus air. Setiap batangnya menyerap lebih dari 10 liter air perhari. Fakta ini tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Banyak tanaman lain juga mengkonsumsi air dalam jumlah sedemikian banyak namun tidak menimbulkan masalah sebagaimana sawit. Hal ini dikarenakan sawit harus ditanam dalam skala besar. Rata-rata perusahaan membuka 5,000 hektar hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit agar mencapai titik impas dan menghasilkan keuntungan.

Hitung-hitungan WALHI menyebutkan bahwa seorang petani baru bisa hidup layak dari sawit apabila memiliki kebun diatas 5 hektar. Dibawah itu kehidupan petani cenderung tidak sejahtera karena biaya input yang dikeluarkan jauh lebih besar dibanding output yang dihasilkan. Dengan luasan dibawah itu, sawit hanya menjadi penyambung hidup bagi petani dengan kondisi yang mengenaskan. Jauh dari slogan yang dibunyikan selama ini bahwa sawit akan menyejahterakan masyarakat. Berapa banyak perusahaan yang menyediakan plasma sebesar 5 hektar per KK? Tidak ada! Rata-rata perusahaan hanya mau menyerahkan 2 hektar lahan kepada petani plasma. Dibeberapa daerah malah masyarakat harus menyerahkan 4 hektar lahannya dan diganti dengan 2 hektar lahan plasma dimana seluruh biaya sarana produksi dihitung sebagai hutang. Skema Ekonomi seperti inilah yang diberlakukan pengusaha sawit di banyak tempat. Sawit pada akhirnya menjebak masyarakat dalam rutinitas kemiskinan. Pemerintah Daerah Riau sendiri mengklaim bahwa 34% masyarakat Riau berada dibawah garis kemiskinan dan sebagian besar diantaranya justru terletak di kantong-kantong perkebunan yang jauh dari kota dan akses informasi. Ini sekaligus membantah klaim GPPI bahwa penanaman kelapa sawit di daerah terpencil akan membuka aktivitas ekonomi masyarakat.

Klaim GPPI bahwa sharing kelapa sawit di Kabupaten Sanggau menembus angka 1 trilyun setiap tahunnya juga dianggap WALHI sebagai hal yang sangat menggelikan dan mengada-ngada. “Agak membingungkan maksud dari GPPI dengan menyebutkan angka Rp.1 trilyun dari sharing benefit di Sanggau. Dari mana angka itu berasal? Bagaimana menghitungnya? Kemana distribusi angka tersebut, siapa penerima benefit dari angka tersebut?” lanjut Rully.

Hingga tahun 2002 Dirjen Perkebunan mencatat angka produksi CPO senilai 1,692 juta ton pertahun dari 4,116 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit diseluruh Indonesia. Dengan harga US$ 370 perton pada tahun 2002 angka ini baru menembus US$ 5,9 trilyun yang berasal dari seluruh Indonesia, terutama Sumatera Utara dan Riau sebagai sentra utama sawit Indonesia. Sanggau relative baru dalam bisnis ini. Dari mana angka itu berasal?

Terkait dengan klaim GPPI bahwa sawit berpotensi menyuburkan tanah dianggap WALHI sebagai satu bentuk kebohongan yang sangat serius. Mustahil kalau GPPI tidak mengetahui bahwa perakaran sawit selebar tajuk daun dan sedemikian kuat sehingga baru akan terurai ditanah setelah 70 tahun. Tidak ada satupun tanaman yang dapat tumbuh tanpa input (pupuk) maksimal diatasnya sampai seluruh akar tersebut terurai kedalam tanah, kecuali tumbuhan paku-pakuan yang usianya telah mencapai jutaan tahun dan merupakan tanaman purba perintis. Pelepah sawit hanya berguna untuk pertumbuhan sawit itu sendiri. Tanpa sawit, tidak ada pelepah, tidak ada kesuburan. Seluruh pelepah tanaman memiliki fungsi yang sama yaitu bisa dipakai untuk meningkatkan kesuburan tanaman induknya.

Demikian halnya dengan klaim GPPI yang membandingkan fungsi sawit sebagai buffer oxygen dengan eks HPH. Pemilihan kawasan yang dijadikan perbandingan saja menurut WALHI sudah tidak seimbang. Bagaimana mungkin membandingkan sawit dengan kawasan eks HPH yang telah terdegradasi karena diambil kayunya? Fungsi hutan dan tapak dibawahnya sebagai penyerap karbon tidak akan mungkin bisa tergantikan dengan sawit. Apalagi ketika pembukaan kawasan hutan untuk dijadikan perkebunan sawit dimana terjadi pelepasan jutaan ton karbon ke udara. Ini sangat-sangat menggelikan dimana GPPI menggunakan kedok penyerap karbon untuk komoditi yang menyebabkan terlepasnya jutaan ton karbon ke udara.

Kelapa sawit juga tercatat memiliki banyak produk turunan yang selama ini diketahui dapat dikonsumsi manusia seperti margarine, roti, kue-kue kering, pasta gigi, sabun dan banyak lagi. Namun banyak yang tidak diketahui oleh masyarakat bahwa makanan yang terbuat dari minyak sawit juga berpotensi menyebabkan kanker hati. Ellie Brown, Ph.D. dan Michael F. Jacobson, Ph.D, dua peneliti dari Amerika Serikat mengungkapkan bahwa minyak sawit mengandung saturated fat dan low in polyunsaturated fat yang dapat memicu kanker hati dua kali lebih besar dibanding olive, minyak kedelai, canola dan bahkan minyak kelapa. Institute Jantung, Paru dan Darah Nasional Amerika, WHO dan sejumlah institusi kesehatran lainnya juga telah mengeluarkan himbauan untuk mengurangi konsumsi minyak sawit ini. Untuk itu WALHI menyarankan agar GPPI memperbaharui sumber datanya tentang fungsi dan kegunaan sawit.

Terkait dengan polemik ini WALHI menyarankan agar para pengusaha dan pengurus yang tergabung dalam GPPI untuk lebih membuka diri untuk melihat lebih jauh dampak yang ditimbulkan dari perkebunan kelapa sawit ini dari berbagai sumber terpercaya dan independent. Penelitian yang dilakukan oleh pengusaha atas komoditi yang diusahakan tentunya akan mengaburkan hasil penelitian tersebut.

WALHI tidak menolak pembangunan perkebunan apapun sepanjang bisa memberikan kontribusi significan terhadap kesejahteraan masyarakat.Namun WALHI akan menolak dengan keras pembangunan perkebunan yang dilakukan dengan cara dan hasil yang justru semakin memiskinkan masyarakat lokal dimasa sekarang dan dimasa yang akan datang.

Tidak ada komentar: