BENCANA EKOLOGIS


Secara definisi, bencana adalah suatu situasi dimana cara masyararakat untuk hidup secara normal telah gagal sebagai akibat dari peristiwa kemalangan luarbiasa, baik karena peristiwa alam ataupun perbuatan manusia .

Indonesia adalah negeri yang rawan dan rentan terhadap bencana, baik yang berasal dari alam maupun yangterjadi akibat perbuatan manusia. Dalam tujuh tahun terakhir, 2000 – 2006 terjadi 392 kali bencana banjir dan longsor di seluruh Indonesia kecuali Papua, Jakarta dan Ibukota Propinsi lainnya. Korban jiwa mencapai 2.303 orang, lebih dari 188.000 rumah rusak berat dan sekitar setengah juta hektar lahan rusak berat dan tidak dapat digunakan. Total kerugian langsung mencapai 36 triliun rupiah dan kerugian tidak langsung mencapai 144 . Angka ini setara dengan 2,80 persen APBN 2007.

Tabel 1. Kejadian banjir dan longsor 2000 – 2006


Kartodihardjo dan Jhamtani menyebut hal ini sebagai bencana pembangunan, yang didefinisikan sebagai gabungan faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, yang diperburuk dengan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial. Bencana seperti banjir, kekeringan dan longsor sering dianggap sebagai bencana alam dan juga takdir. Padahal fenomena tersebut, lebih sering terjadi karena salah urus lingkungan dan aset alam, yang terjadi secara akumulatif dan terus-menerus.

Di pesisir Jawa, pada kurun waktu 1996 hingga 1999 saja, setidaknya terdapat 1.289 desa terkena bencana banjir. Jumlahnya semakin meningkat hampir 3 kali lipatnya (2.823 desa) hingga akhir tahun 2003, yang juga merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut (dimana 80% industri di Pulau Jawa berada disepanjang pantai utara Jawa).

Selain banjir, kekeringan adalah bencana lain yang semakin kerap terjadi di Indonesia. Belakangan ini musim kemarau di Indonesia semakin panjang dan tidak beraturan, meski secara geografis dan alamiah Indoensia berada di lintasan Osilasi Selatan-El Nino (ENSO). Misalnya, walau kemarau 2003 termasuk normal, namun tercatat 78 bencana kekeringan di 11 propinsi, dengan wilayah yang terburuk dampaknya adalah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dampak kekeringan yang utama adalah menurunnya ketersediaan air, baik di waduk maupun badan sungai, yang terparah adalah pulau Jawa. Dampak lanjutannya adalah pada sektor air bersih, produksi pangan serta pasokan listrik. Kekeringan juga terkait dengan kebakaran hutan, karena cuaca kering memicu perluasan kebakaran hutan dan lahan serta penyebaran asap.

Dampak dari bencana tersebut bukan hanya pada korban jiwa dan benda, namun berdampak pula pada produksi pertanian, tercemarnya sumber air serta masalah sosial yang lebih luas seperti pengungsi dan migrasi penduduk. Walaupun kekerapan bencana meningkat secara signifikan beberapa tahun terakhir ini, pemerintah tidak melakukan kajian menyeluruh mengenai pola dan penyebab bencana tersebut.

Ancaman signifikan terjadi pada tiga sektor utama prasyarat keberlanjutan kehidupan, yaitu air, pangan dan energi. Untuk air, ancaman terbesar berasal dari meningkatnya permintaan secara signifikan dan semakin terbatasnya ketersediaan air layak konsumsi. Keterbatasan tersebut berasal dari menurunnya kualitas air (yang disebabkan oleh pencemaran, intrusi dan kerusakan pada sumber air) serta kuantitas air (akibat privatisasi, komodifikasi air serta ineffisiensi distribusi). Di Jakarta misalnya, warga yang terhubungkan dengan jaringan Perusahaan Air Minum (PAM) berjumlah kurang dari 51 persen dari jumlah keseluruhan warga. Akibatnya, sebagian besar warga mengambil air tanah (sumur, atau pompa) dan juga membeli air minum kemasan atau penjual air keliling. Padahal, sekitar 70 persen air tanah di Jakarta menunjukkan kondisi tidak layak sebagai air minum yang diperbolehkan. Akibatnya air berubah esensinya dari kebutuhan dasar menjadi komoditi.

Situasi serupa juga terjadi dengan pangan. Hilangnya kedaulatan rakyat pada pangan berujung pada kasus kelaparan dan gizi buruk. Di NTT, ada 13 ribu lebih balita kurang gizi, sebanyak 36 diantaranya meningggal dunia. Kualitas sumber daya manusia Indonesia (IPM) berada di urutan 111 dari 177 negara (UNDP, 2004).

Laut Indonesia yang begitu luas, dipastikan mampu menjadi penyumbang terbesar perikanan laut di dunia, dengan menyediakan 3,6 juta ton dari produksi perikanan laut secara keseluruhan pada tahun 1997 (Burke, et all, 2002). Ironinya, di tingkat nasional, konsumsi ikan hanya berkisar 19 kg/kapita/tahun, lebih rendah dari Vietnam maupun Malaysia yang tingkat konsumsinya mencapai 33 kg/kapita/tahun. Nelayan merupakan golongan masyarakat termiskin di Indonesia dan makin terpinggirkan dari waktu ke waktu.

Revolusi hijau telah menghilangkan 75% dari 12.000 varietas padi lokal dan melahirkan ketergantungan baru pada pupuk dan pestisida kimia dari perusahaan-perusahaan asing. Keragaman hayati lokal dan ketahanan pangan rontok. Negara kita menjadi pengimpor beras murni sejak pertengahan 90an. Liberalisasi perdagangan mengubah fungsi pangan yang multi dimensi menjadi sekadar komoditas perdagangan. Bahkan WTO mengartikan ketahanan pangan sebagai “ketersediaan pangan di pasar”. Konsep ini dalam praktiknya memaksa rakyat di negara-negara sedang berkembang untuk memenuhi pangan yang akan dipenuhi oleh negara-negara maju melalui mekanisme pasar bebas, yang berujung pada malapetaka pangan di berbagai tempat.

Kedaulatan energi pun dipertaruhkan. Perusahaan-perusahaan lintas negara (Transnational Corporations atau TNC’s) telah menyedot 75% cadangan minyak kita hingga hari ini. Sementara 58% total produksi gas bumi dan 70% batubara pertahun terus di ekspor. Sementara itu, 90% kebutuhan energi rakyat Indonesia dibuat bergantung kepada BBM dan 45% rumah tangga belum dapat mengakses listrik. Tak pernah ada strategi nyata untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM. Yang justru dilakukan adalah dorongan untuk mengkonsumsi terus menerus yang menguntungkan segelintir orang.

Sementara itu pilihan atas energi murah, mudah diakses, dan bersih telah menjadi pilihan yang amat langka. Saat ini ketika negara takluk pada diktasi pasar bebas, rakyat yang sudah sedemikian tergantung dipaksa untuk membeli energi dengan harga pasar dunia. Kenaikan harga BBM, menurut sejumlah penelitian meningkatkan kemiskinan hingga 11 %. Total rakyat miskin di Indonesia setelah lonjakan kenaikan BBM menjadi 41%.

Kenaikan harga barang-barang konsumsi, daya beli yang rendah, tidak tersedianya lapangan pekerjaan bukan saja meningkatkan jumlah penduduk miskin. Di sisi yang lain banyak liputan media menunjukkan perubahan pola konsumsi terutama perempuan dan anak-anak. Rakyat terpaksa bersiasat mengurangi asupan gizi demi membeli minyak tanah.

Kemudian, berkurangnya lapangan pekerjaan ditambah naiknya harga barang yang dipicu mendorong rakyat ikut serta merusak lingkungan demi sesuap nasi. Maraknya keterlibatan rakyat dalam pertambangan illegal yang merusak lingkungan di Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Papua adalah fakta gagalnya negara menjamin penghidupan warganya.

Dari fenomena diatas, aspek penting untuk diperhatikan adalah pola perusakan ekologi dan pola iklim. Untuk krisis air misalnya, Jawa-Bali diprediksi akan segera mengalami krisis. Namun fenomena ini tidak dijadikan pelajaran oleh daerah lain, seperti Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi yang sudah semakin sering mengalami krisis air. Pada musim kemarau kita selalu kekurangan air dan pada musim hujan kita kebanjiran, ini mengindikasikan bahwa semua infrastruktur yang dibuat untuk merekayasa lingkungan telah gagal, karena sumber masalah tidak ditangani dengan sungguh-sungguh. Krisis demi krisis akibat salah urus ini kemudian berujung pada bencana ekologis yang kian nyata terlihat.

Bencana ekologis itu sendiri merupakan sebuah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam yang telah mengakibatkan kolapsnya pranata kehidupan masyarakat . Saat ini keberlanjutan Indonesia berada dititik kritis karena bencana ekologis yang terjadi secara akumulatif dan simultan di berbagai tempat, tanpa ada upaya yang signifikan untuk mengurangi kerentanan dan kerawanan masyarakat terhadap dampak bencana ekologis.

TANDA-TANDA UTAMA BENCANA EKOLOGIS
Secara umum, bencana ekologis ditandai dengan beberapa gejala atau tanda yang dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti:
1. Ketiadaan pilihan untuk bertahan hidup
2. Gagalnya fungsi ekosistem
3. Menurunnya kualitas kehidupan yang berwujud pada ketersingkiran dan kemiskinan
4. Pada titik ekstrim, berujung pada kematian

BENCANA EKOLOGIS DISEKTOR KEHUTANAN
Pada sektor kehutanan, bencana ekologis dimaksud menyebar ke segala aspek kehidupan manusia, terutama yang berdekatan dengan sumberdaya alam hutan. Seluruh tanda dan prasyarat bencana ekologis dapat ditemui dalam sektor kehutanan.

Sebaai contoh, masyarakat yang hidup di sepanjang Sungai Siak adalah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Hampir seluruh kebutuhan akan sandang, pangan dan papan dapat dipenuhi dan ditopang dari hasil yang mereka peroleh dari sungai tersebut. Bahkan Istana Kerajaan Siak dan Mesjid Agung pun berada disepanjang sungai ini. Hubungan antara sungai dengan kehidupan masyarakatnya sangat tinggi. Puluhan rumah berjejer disepanjang sungai dan menghadap sungai tersebut. Itu dulu.

Pada tahun 1980an, geliat industri di Propinsi Riau kemudian mendorong pembangunan sejumlah pabrik berskala nasional di sepanjang Sungai Siak. Lebih dari 70 industri pengolahan (kelapa sawit, minyak, kayu, kimia-thinner, pulp and paper dan industri pengolahan lainnya) tegak berdiri dan membuang limbahnya di sungai siak. Pembangunan industri dan pembuatan jalan untuk mendistribusikan hasil-hasil industri tersebut kemudian mendorong masyarakat yang tinggal disepanjang sungai siak merubah arah rumah mereka dari menghadap sungai kemudian membelakangi sungai . Perubahan orientasi rumah turut merubah budaya masyarakat dalam pengelolaan sampahnya. Bila sebelumnya sampah dikumpul dan dibuang disatu tempat selain disungai, perubahan orientasi mendorong masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Siak untuk membuang limbahnya lansung ke sungai.

Tidak terkontrolnya buangan dari masing-masing pabrik dan tidak berjalannya penegakan hukum kemudian mendorong pencemaran dalam skala yang hampir tidak terbayangkan. Secara fisik, sungai menjadi berbau dan kematian ikan sering terjadi. Masyarakat kemudian mencoba mencari ikan menjauh kearah hilir atau hulu ketika air pasang. Ketika alat tangkap yang digunakan tidak lagi mampu mengarungi jarak sungai dan jumlah tangkapan juga jauh berkurang, masyarakat nelayan tersebut mencoba merubah mata pencahariannya menjadi petani disepanjang sungai.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejumlah industri pengolahan tersebut membutuhkan lahan dalam jumlah besar untuk memastikan ketersediaan bahan baku. Pertimbangan jarak tentunya menjadi alasan mengapa kemudian pengembangan konsesi tersebut ditempatkan disepanjang daerah aliran sungai. Tidak adanya kompensasi yang memadai bagi masyarakat oleh pemerintah dan perusahaan pada akhirnya membuat masyarakat berada pada posisi terjepit.

Dari kelompok masyarakat yang sejahtera pada masa Kerajaan Siak dahulunya, masyarakat Siak berada pada titik kemiskinan yang tinggi. Penyakit kulit/gatal/kudisan adalah hal yang mudah ditemui. Masyarakat tidak mempunyai pilihan sama sekali untuk meningkatkan kesejahteraan. Ada pilihan untuk bekerja sebagai buruh namun tingkat pendidikan dan kemampuan yang dimilikinya tidak memungkinkan mayarakat untuk mendapatkan pemasukan yang cukup. Sebagian masyarakat kemudian memilih bekerja sebagai buruh kasar di berbagai negara. Sisanya memilih untuk menetap dengan tingkat kesejahteraan yang menyedihkan, sarana kesehatan dan air bersih yang sangat jauh dari mencukupi yang kemudian menghilangkan kesempatan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang cukup.

Pembangunan disepanjang Sungai Siak pada akhirnya meciptakan krisis lingkungan yang ditambah dengan perusakan sumberdaya alam dan ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial. Masyarakat Siak adalah gambar gamblang dari bencana ekologis. Masyarakat Siak sampai pada posisi ketiadaan pilihan untuk bertahan hidup. Gagalnya fungsi ekosistem tidak dapat lagi mendukung kehidupan masyarakat. Kualitas kesejahteraan menurun drastis berikut dengan kesehatan dan pendidikan.

Tidak ada komentar: