KEHABISAN NAFAS KARENA GAS

Rully Syumanda

Gemuruh suara mesin tidak lagi terdengar. Cerobong-cerobong raksasa berhenti mengepulkan asap. Sudah hampir sebulan lebih dua pabrik pupuk, Asean Aceh Fertilizer dan Pupuk Iskandar Muda I, serta pabrik Kertas Kraft Aceh berhenti beroperasi.

Ketiga kilang ini menjadi mandul lantaran ditutupnya keran Gas dari ExxonMobil Indonesia. Padahal gas merupakan bahan baku utama pembuat pupuk. Tidak kurang dari Direktur Utama Pupuk Iskandar Muda I, Hidayat Nyakman, menyebutkan bahwa pihaknya merugi hingga Rp. 300 Milyar akibat terhentinya pasokan gas tersebut.

Kondisi lebih parah dialami oleh Asean Aceh Fertilizer. Direktur Tehnik dan Penelitian Ali Gadeng menyebutkan bahwa bila mesin tidak kunjung beroperasi maka perusahaannya hanya mampu bertahan hingga empat bulan. Hal ini dikarenakan setiap bulannya pabrik harus mengeluarkan uang senilai Rp. 8 milyar untuk biaya karyawan dan perawatan lainnya.

Cadangan gas di Serambi Mekah tersebut memang semakin menipis setelah disedot habis-habisan sejak 1978 silam. Kandungan yang terdapat dalam setiap reservoirnya terus mengalami penurunan secara alami. Kegiatan ExxonMobil, yang mengelola ladang-ladang gas di Arun, pun terpaksa menciut. Semula mereka mengoperasikan 6 train untuk memompa gas dari perut bumi. Namun mulai tahun ini mereka hanya mengoperasikan tidak lebih dari 4 train. Tahun depan bisa jadi menurun hingga 2 train sampai dengan 2014 dimana diperkirakan cadangan gas di Arun diperkirakan habis.

Adapun gas yang tersisa saat ini diprioritaskan unuk memenuhi kontrak dengan pembeli luar negeri, terutama dari Koreadan Jepang. Itulah yang membuat kilang-kilang lokal kehabisan nafas. Brengseknya, ExxonMobil Indonesia tidak bisa digugat lantaran kontrak dengan pabrik-pabrik tersebut resminya memang sudah berakhir.

Kontrak dengan Pupuk Iskandar Muda I sudah berakhir tahun lalu. Sedangkan perjanjian dengan Asean Aceh Fertilizer sudah berakhir tahun sebelumnya. Dengan Pupuk Iskandar Muda II malah belum ada kontrak sama sekali.

Selama ini juga diketahui bahwa ExxonMobil Indonesia memberikan harga obral kepada kilang lokal. Rata-rata harga jual gasnya Cuma US$ 1,3 - US$ 1,8 per million thermal unit (mBtu). Padalah lagi di pasar international harganya leih mahal dua kali lipat, mencapai US$ 4,5 - US$ 5 per mBtu. Mungkin inilah yang menyebabkan perusahaan ini luput dari teguran pemerintah karena hanya menjual 17% dari jumlah produksinya kepada pasar domestik. Jauh dibawah ketentuan pemerintah yang mensyaratkan 25% untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik.

Untuk memenuhi kebutuhan pabrik tersebut, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengambil 75 juta kubik gas dari Arun yang sesuai kontrak mestinya dikirim ke luar negeri. Sedangkan untuk pemenuhan kontrak ekspor pemerintah membeli kargo gas dari luar negeri yang berasal dari Oman.

seharga US$ 6 per mBtu. Jauh diatas rata-rata harga yang berlaku di pasar international. Otomatis, untuk mengganti kontrak dengan buyers di luar negeri, pemerintah harus menyediakan rupiah senilai Rp. 360 milyar. Belum dilakukan perhitungan berapa prediksi keuntungan yang dapat diperoleh dengan bahan baku utama sedemikian mahal

Sebagai perbandingan, tahun 2002 Pupuk dengan harga gas ketika itu US$ 1.85 per mBtu dan dengan kebutuhan 6 kargo gas setiap tahunnya, PIM I mampu memproduksi 800 ribu ton urea setiap tahunnya plus produksi sampingan berupa amonia mencapai 330 ribu ton pertahun. Total nilai yang dibukukan setelah dipotong biaya gaji karyawan, pemeliharaan pabrik dan ongkos produksi lainnya seharusnya mencapai 780 milyar. Anehnya, dalam catatan pemerintah keuntungan yang dibukukan hanya senilai Rp. 53,7 milyar. Begitu kecil dan begitu tidak efisien.

Padahal lagi dengan hitungan paling kasar sekalipun, dengan harga gas US$ 2,5 per mBtu dan dengan kebutuhan kargo, jumlah produksi urea dan produk sampingan Amonia yang sama, seharusnya PIM I sudah membukukan keuntungan lebih dari Rp. 345 milyar.

Sepertinya perusahaan plat merah milik pemerintah ini harus menyesuaikan diri dengan zaman apabila tidak mau kedodoran terus menerus.

Disamping masalah inefisiensi tersebut diatas, ada lagi masalah yang cukup menghantui bila ketiadaan gas tidak mampu dipenuhi oleh ketiga kilang tersebut. Seperti diketahui Asean Aceh Fertilizer dan Pupuk Iskandar Muda I menyumbang penerangan bagi 32 desa disekitarnya. Mereka juga menyuplai pupuk bagi 3.200 peternak disekitarnya dengan kebutuhan mencapai 65 ribu ton setiap tahunnya.

Bila selama ini peternak cukup mengeluarkan uang Rp. 1.000 per kilogramnya, otomatis dengan kelangkaan pupuk yang terjadi, peternak harus mengeluarkan uang ekstra mencapai 19 milyar pertahunnya karena mereka harus “mengimpor” pupuk dari luar yang berarti harus menambah ongkos transportasi dsb yang mencapai Rp. 300 perkg-nya.

Impak dari penutupan ketiga industri ini juga menimbulkan dampak berganda. Ketiadaan penerangan otomatis mempengaruhi produksi manusia dan aktivitas sehari-hari. Mengacu pada tabel produksi Aceh Dalam Angka 2002, multiplier effect yang ditimbulkan, pada ambang bawah senilai Rp. 1, 75 triliun dan ambang atas senilai Rp. 2,31 triliun. Ini hanya dilihat pada dampak yang ditimbulkan di 32 desa yang ada.

Bila diprediksi bahwa ketiga industri tersebut harus memotong jumlah karyawannya, otomatis angka pengangguran usia produktif akan bergerak menuju 38% pertahun untuk skala nasional atau 24% pertahun untuk skala lokal. Ini belum lagi menilai kemungkinan terburuk dimana ketiga industri ini harus kolaps karena ketiadaan bahan baku utama produksi yang menurut hemat saya akan menimbulkan inefisiensi yang luar biasa bila harus mengganti dengan bahan baku utama lain selain gas. Dan kita mengobral gas ke negara luar sementara industri dalam negeri kehabisan nafas kekurangan gas. rullysyumanda

Tidak ada komentar: