DISKRIMINASI PERTANIAN

Rully Syumanda

"If policies … do not discriminate against agriculture in trade and macroeconomics policies, farmers will do the rest"

Jika kebijakan…….tidak melakukan diskriminasi terhadap pertanian dalam perdagangan, petani akan mampu hidup sejahtera.

Ungkapan tersebut dikemukakan seorang ekonom yang juga seorang pemenang nobel dari Universitas Chicago, Prof. D. Gale Johnson.. Ketika saya merenungkan dalam-dalam ungkapan tersebut, dengan melihat fakta-fakta yang ada, sulit rasanya untuk tidak sepakat dengan profesor tersebut.. Kesimpulannya adalah telah terjadi kebijaksanaan yang menganaktirikan sektor pertanian. Hal ini terutama terjadi di negara-negara berkembang.

Sebaliknya, dinegara maju, pertanian sangat dilindungi. Eropa misalnya, cenderung ngotot dalam mensubsidi sektor pertanian. Mereka memandang bahwa pertanian tidak dilihat dari sisi produksi dan dagangnya saja, tetapi juga dari aspek ketahanan pangan, perlindungan lingkungan dan pembangunan pedesaan.

Di Indonesia lain lagi. Sektor pertanian selalu dituntut untuk menyediakan produksi dengan harga murah dan stabil untuk mengamankan inflasi, pertumbuhan ekonomi, keseimbangan perdagangan dan sebagainya. Sektor pertanian juga dituntut untuk mendukung sektor industri dengan menyediakan bahan baku dan menyediakan pangan murah bagi para pekerja di kota.

Sudah umum diketahui, apabila petani mengalami kenaikan harga modal, sangat sulit untuk melakukan penyesuaian. Pasar yang dikuasai pembeli menyebabkan mereka kesulitan untuk menaikkan harga jualnya. Tetapi untuk sektor industri, kenaikan harga modal bisa ditekan dengan menaikkan harga jual.

Akibatnya, nilai tukar petani semakin memburuk yang berarti juga semakin memburuknnya kesejahteraan mereka. Yang dapat dipahami adalah kebijaksanaan yang ada selalu memihak kepada orang kota.

BIAS-BIAS KEBIJAKSANAAN

Kebijaksanaan yang memperngaruhi kesejahteraan petani justru lebih banyak ditentukan oleh luar sektor pertanian. Harga gabah misalnya. Berbagai lembaga terlibat disini. Mulai dari Departemen Pertanian, Badan Urusan Logistik, Departemen Keuangan, Menteri Negara Koperasi, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan Koperasi Unit Desa. Bila salah satu macet, misalnya sulit mencairkan kredit koperasi, maka harga gabah anjlok dan kesejahteraan petani langsung merosot.

Dari segi makro dana pembelian gabah seharusnya sudah ditampung dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Bank Rakyat Indonesia jauh hari sudah harus mengantisipasi kebutuhan kredit pengadaan pangan. Bulog melakukan pembelian, khsusunya pada musim panen untuk mempengaruhi sentimen pasar. Ini baru contoh beras – komoditi terpenting di Indonesia.

Bagaimana dengan kebijaksanaan perdagangan pertanian? Secara umum kebijaksanaan perdagangan kita memproteksi sektor industri 10 kali lebih besar dari sektor pertanian. Jadi kebijaksanaan perdagangan hanya berpihak pada industri dan mendiskriminasi sektor-sektor berbasis sumberdaya lokal seperti pertanian.

Kebijaksanaan perdagangan yang umum diterapkan di sektor pertanian adalah mengenakan pajak ekspor yang besar dan sebaliknya bea masuk yang relatif kecil untuk komoditas pertanian. Contoh yang paling jitu adalah pengenaan pajak ekspor yang tinggi untuk Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya (pernah mencapai 60% pada tahun 1998 dan bahkan pernah pula dilarang ekspornya).

Ketika pemerintah memberlakukan pajak ekspor, terjadilah transfer pendapatan dari petani ke pemilik pabrik olahan, dan dari daerah yang memproduksi ke daerah yang memproses (dari desa ke kota dan dari luar jawa ke jawa – karena umumnya pabrik-pabrik ada di kota-kota di Jawa).

Kebijaksanaan bea masuk yang kecil bagi pertanian menyebabkan serbuan produk-produk impor yang bersaing dengan produk petani, sehingga harga lokal jatuh. Pada saat devaluasi sebenarnya ekspor sangat menguntungkan tetapi yang kita lakukan adalah menghambatnya dengan pajak ekspor.

Kita sudah menyaksikan kasus-kasus beras, gula maupun bawang merah yang kebanjiran impor akibat minimnya perlindungan bagi produk lokal. Jadi regime perdagangan lebih merangsang impor ketimbang ekspor dan umumnya tidak bersahabat bagi kesejahteraan petani.

Pelajaran apa yang kita petik dari pengalaman diatas? Saya melihat kebijaksanaan makro dan perdagangan tidak memihak petani, tetapi lebih memihak konsumen. Kesulitan akses kredit, kecilnya alokasi anggaran untuk membangun mendukung pertanian, tiadanya subsidi dan langkanya pupuk pada musim tanam, pemasaran dan sebagainya merupakan fakta lapangan yang mendisktriminasikan petani.

Masalah lain yang sangat fundamental adalah masalah strukturral yang kita hadapi yaitu skala usaha petani yang umumnya kecil (gurem) yaitu 70% memiliki lahan dibawah setengah hektar. Jika mereka menanam padi maka pendapatan perhari seseorang petani akan selalu dibawah Upah Minimum Regional (UMR). Berarti, petani kita tidak akan pernah keluar dari masalah kemiskinan.

Kebijakan apapun yang dirancang, pendapatan mereka akan selalu terpuruk. Banyak pakar yang menilai bahwa petani kita tidak efisien. Hal ini tidak benar. Data menunjukkan bahwa setiap hektar lahan kita dapat menghasilkan 4,3 ton gabah kering giling atau 2,7 ton beras. Bandingkan dengan Thailand (pengekspor beras terbesar dunia) yang menghasilkan 2,3 ton gabah kering atau 1,5 ton beras setiap hektarnya. Akan tetapi luasan lahan mereka rata-rata diatas dua hektar, sehingga dapat menghasilkan kelebihan produksi yang dapat diekspor ke mancanegara khususnya Indonesia.

Lahan kita memang luas. Tetapi 75% adalah lahan hutan atau perkebunan yang dikuasai segelintir konglomerat sedangkan sisanya untuk pangan maupun holtikultura. Dengan struktur aset seperti ini kita akan kesulitan dalam mencapai ketahanan pangan nasional. Karena peningkatan produktivitas sudah sulit dilakukan, maka yang harus diperjuangkan adalah bagaimana agar secara bertahap petani kita memiliki lahan dua hektar perkeluarga. Saya melihat kebijaksanaan Menteri Kehutanan dan Perkebunan yang tidak memperpanjang izin hak pengusahaan hutan (HPH) swasta dalam bulan-bulan terakhir ini merupakan langkah awal yang bagus dalam redistribusi lahan.

APA YANG HARUS DILAKUKAN KEDEPAN

Pertama, kebijakan yang lebih memihak petani. Hal ini dapat ditempuh dengan memperbesar alokasi anggaran untuk sarana irigasi dan jalan pertanian.

Rangsangan investasi bagi industri pupuk juga harus diciptakan agar ketersediaannya terjamin. Lebih bagus lagi jika subsidi pupuk diberlakukan kembali agar modal dapat ditekan – dapat dibatasi untuk urea saja. Untuk komoditas ekspor selayaknya ada ransangan investasi melalui kelonggaran pajak. Selain itu, sistem pajak bertingkat sudah saatnya diberlakukan bagi pemilik lahan yang luas.

Kebijaksanaan juga harus mampu menyediakan kredit yang mudah bagi petani dengan memberi perhatian pada pengembangan lembaga pembiayaan pedesaan. Selama ini kita sangat kikir memberikan klredit kepada petani.

Kedua, kebijaksanaan perdagangan harus dirancang agar tidak menganaktirikan sektor pertanian. Prosedur ekspor disederhanakan untuk menekan biaya agar ekspor lebih bergairah. Pajak ekspor juga harus diharamkan karena merugikan petani dan menghambat ekspor. Untuk keperluan petani yang belum dapat diproduksi di dalam negeri juga perlu pembebasan bea masuk. Hasil produksi petani masih memerlukan perlindungan dengan pengenaan bea masuk impor yang cukup.

Ketiga, ketimpangan pemilikan lahan keluarga tani harus segera dikoreksi. Pemilikan lahan secara bertahap menuju dua hektar (sesuai pola perkebunana inti rakyat) harus diupayakan memberdayakan petani. Dengan perluasan dua hektar, diiringi usaha peningkatan produktivitas, pendapatan petani akan cepat meningkat.
Dan keempat, dukungan politik yang kuat. Para wakil rakyat kiranya lebih vokal dalam memperjuangkan nasib petani, mengingatkan bila terjadi diskriminasi kebijaksanaan. Tanpa dukungan politik yang kuat, semua aspek yang dikemukakan diatas tidak akan ada artinya. Petani tidak banyak menuntut, mereka hanya minta tidak dianaktirikan. Maka, manakala kebijaksanaan makro dan perdagangan tidak mendiskriminasikan pertanian, kita akan menyaksikan sektor pertanian Indonesia yang dangat kuat yang akan mengangkat harkat bangsa.@

Tidak ada komentar: