Palm Oil, Biofuel and Deforestation

rully syumanda, jakarta, 20 juni 2007


Setiap tahun Indonesia kehilangan hutan seluas 2 juta hektar. Pada tahun 2006, lebih 2,72 juta hektar hutan musnah. Ini setara dengan satu setengah kali Netherland atau empat kali Pulau Bali! Kerusakan juga terjadi di protected area. Diperkirakan sekitar 30% taman nasional berada dalam kondisi rusak. Meskipun illegal logging seringkali dituding sebagai akar masalah, konversi lahan untuk perkebunan sawit skala besar pada dasarnya merupakan penyebab utama hilangnya sejumlah tutupan hutan Indonesia.

Konversi hutan selama ini umumnya diperuntukkan bagi pengembangan budidaya kelapa sawit. Sejak menjadi primadona, jutaan hektar hutan alam tropis dibabat. Dari 15,9 juta hektar hutan yang telah dilepaskan untuk perkebunan sawit pada tahun 2004, hanya 5,5 juta hektar yang ditanami . Pada tahun 2006 WALHI memperkirakan 16,8 juta hektar hutan telah dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit dan hanya 6,7 juta hektar yang ditanami. Meninggalkan sisa kawasan hutan lainnya dalam kondisi rusak setelah diambil kayunya.

Telah lama diketahui bahwa pembukaan perkebunan kelapa sawit dijadikan salah satu modus untuk memperoleh kayu. Ini bisa dilihat dari komposisi pengusaha perkebunan kelapa sawit yang “secara kebetulan” juga diisi oleh pengusaha yang memiliki industri pengolahan kayu salah satunya: Sinarmas dan Raja Garuda Mas. Dua konglomerat yang menguasai industri hulu dan hilir disektor kehutanan dan perkebunan sawit di Indonesia.

Modus memperoleh kayu dari konsesi perkebunan sawit muncul salah satunya diakibatkan oleh korupsi dan besarnya gap antara supply dan demand disektor kehutanan di Indonesia. Pada tahun 2006 diperkirakan demand industri kayu Indonesia mencapai 96,19 juta meter kubik setiap tahun. Sementara kemampuan hutan alam dan HTO dalam mensupplai kayu hanya mencapai 46,77 juta meter kubik. Kurang dari separuhnya, 17,04 juta meter kubik, diperoleh dari hasil tebangan dari konsesi perkebunan sawit .

Dari 6,7 juta hektar perkebunan kelapa sawit di Indonesia, lebih dari 90 diantaranya berada di Sumatera dan Kalimantan. Berbagi ruang dengan plantation industry dan logging concession. Belum termasuk kawasan yang telah dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit. Informasi terpercaya menyebutkan bahwa Papua misalnya telah mengalokasikan 9 juta hektar hutannya untuk dibuka menjadi perkebunan. Sementara pemerintah daerah di Kalimantan juga mengalokasikan lebih kurang 5 juta hektar. Semua untuk perkebunan kelapa sawit

Sejarah perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah deforestasi. Jutaan hektar hutan di buka dan diambil kayunya. Pohon-pohon yang kecil beserta ilalang kemudian dibakar sehingga menimbulkan kebakaran hutan. Membuat Indonesia tiba-tiba saja menempati urutan ke tiga sebagai penghasil karbon akibat kebakaran hutan. WALHI sendiri lebih senang menggunakan istilah ”pembakaran hutan hutan”. Peristiwa terbakarnya hutan dan lahan tidak bisa dilepaskan dari praktek pembersihan lahan yang dilakukan selama ini. Api adalah sarana yang paling murah. Lemahnya penegakan hukum telah membuat puluhan perusahaan menggunakan api untuk melakukan pembersihan lahan termasuk peningkatan hp tanah.

Pada tahun 2001, Manager PT Adei Plantation berkebangsaan Malaysia dihukum 2 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Kampar tahun 2001 karena terbukti memerintahkan pembakaran lahan untuk menaikkan ph tanah menjadi 5- 6 agar dapat ditanami kelapa sawit.

Perkebunan kelapa sawit juga seringkali memasuki wilayah teritorial masyarakat sehingga menimbulkan konflik yang belum terselesaikan hingga hari ini. Konflik tersebut tidak jarang melibatkan satuan pengamanan swasta dan atau kepolisian untuk melakukan penyelesaian yang seringkali berakhir dengan korban jiwa. Dimasa lalu, keterlibatan militer sebagai tenaga pengamanan juga tidak bisa dilepaskan dari sektor ini .

Konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit pada dasarnya telah mencapai titik jenuh dan melebihi carrying capacity. Dikatakan jenuh karena industri ini telah memasuki kawasan dengan tingkat kerentanan ekologis yang tinggi. Disamping memasuki kawasan-kawasan produktif masyarakat, perkebunan sawit juga memasuki kawasan gambut. Sumatera dan Kalimantan merupakan pulau yang memiliki kawasan gambut dengan kedalaman bervariasi antara 2 meter - > 3 meter. Konversi di cathment area dan kawasan gambut selama ini telah menimbulkan masalah bagi propinsi bersangkutan.

Gambut bersifat irreversible. Menyimpan air dalam jumlah besar namun bila dibuka ia tidak dapat menangkap air. Gambut juga berfungsi sebagai penyimpan karbon. Bila kawasan ini dibuka, bukan saja jutaan ton air dilepaskan namun juga jutaan meter kubic karbon dilepaskan ke udara. Menambah masalah terhadap global warming. Praktek pembukaan lahan dengan menggunakan api pada lahan gambut seringkali terjadi. Sangat sulit melakukan pemadaman api pada kawasan gambut yang terbakar. Api tidak terlihat dipermukaan namun merambat dibawah tanah. Api tidak saja digunakan untuk landclearing namun sekaligus untuk meningkatkan ph tanah.



Rethink of Biofuel as a sustainable energy

Dengan berbagai masalah yang muncul dari pembukaan perkebunan kelapa sawit, menjadi penting untuk melihat kembali kebijakan pemenuhan energi dari sumber yang selama ini mendapat image sebagai sustainable enery, kelapa sawit.

Kelapa sawit bukan sustainable energy. Harga yang harus dibayar untuk sebuah sustainable energy dari sawit teramat mahal. Jutaan hektar hutan yang dibabat yang kemudian menciptakan bencana ekologi dimana cara masyararakat untuk hidup secara normal telah gagal sebagai akibat dari peristiwa kemalangan luarbiasa, baik karena peristiwa alam ataupun perbuatan manusia

Indonesia adalah negeri yang rawan dan rentan terhadap bencana, yang mayoritas diakibatkan perbuatan manusia. Dalam tujuh tahun terakhir, 2000 – 2006 terjadi 392 kali bencana banjir dan longsor di seluruh Indonesia kecuali Papua, Jakarta dan Ibukota Propinsi lainnya. Korban jiwa mencapai 2.303 orang, lebih dari 188.000 rumah rusak berat dan 502 ribu hektar lahan rusak berat dan setengah juta hektar lainnya gagal panen. Total kerugian langsung mencapai 36 triliun rupiah dan kerugian tidak langsung mencapai 144 triliun .

Para ahli menyebutnya hal ini sebagai bencana pembangunan, yang didefinisikan sebagai gabungan faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, yang diperburuk dengan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial. Bencana seperti banjir, kekeringan dan longsor sering dianggap sebagai bencana alam dan juga takdir. Padahal fenomena tersebut, lebih sering terjadi karena salah urus lingkungan dan aset alam, yang terjadi secara akumulatif dan terus-menerus.
Selain banjir, kekeringan adalah bencana lain yang semakin kerap terjadi di Indonesia. Belakangan ini musim kemarau di Indonesia semakin panjang dan tidak beraturan, meski secara geografis dan alamiah Indonesia berada di lintasan Osilasi Selatan-El Nino (ENSO). Tercatat 78 kali bencana kekeringan terjadi di 11 propinsi. Dampak kekeringan yang utama adalah menurunnya ketersediaan air, baik di waduk maupun badan sungai. Kekeringan juga terkait dengan kebakaran hutan, karena cuaca kering memicu perluasan kebakaran hutan dan lahan serta penyebaran asap.

Ancaman signifikan terjadi pada tiga sektor utama prasyarat keberlanjutan kehidupan, yaitu air, pangan dan energi. Untuk air, ancaman terbesar berasal dari meningkatnya permintaan secara signifikan dan semakin terbatasnya ketersediaan air layak konsumsi. Kedaulatan energi pun dipertaruhkan. Transnational Corporations telah menyedot 75% cadangan minyak Indonesia hingga hari ini. Sementara 58% total produksi gas bumi dan 70% batubara pertahun terus di ekspor. Sementara, 90% kebutuhan energi rakyat Indonesia dibuat bergantung kepada minyak dan gas dan 45% rumah tangga belum dapat mengakses listrik .

Sementara itu pilihan atas energi murah, mudah diakses, dan bersih telah menjadi pilihan yang amat langka. Saat ini ketika negara takluk pada diktasi pasar bebas, rakyat yang sudah sedemikian tergantung dipaksa untuk membeli energi dengan harga pasar dunia. Kenaikan harga BBM, menurut sejumlah penelitian meningkatkan kemiskinan hingga 11 %. Total rakyat miskin di Indonesia setelah lonjakan kenaikan BBM menjadi 41%.

Secara umum, bencana ekologis ditandai dengan beberapa gejala atau tanda yang dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti: ketiadaan pilihan untuk bertahan hidup, gagalnya fungsi ekosistem, menurunnya kualitas kehidupan yang berwujud pada ketersingkiran dan kemiskinan, pada titik ekstrim berujung pada kematian

Seluruh cerita diatas berasal dari kesalahan pengelolaan sumberdaya alam. Pembangunan perkebunan kelapa sawit turut menjadi pemicu munculnya sejumlah krisis ekologi tidak saja di daerah dimana konsesi berada namun juga menimpa kawasan-kawasan hilir. Seluruh cerita diatas juga memiliki kaitan erat dengan pola konsumsi negara-negara konsumen yang sekaligus meninggalkan ecological footprint di Indonesia.

Pembangunan perkebunan kelapa sawit telah menimbulkan sejumlah anomali yang muncul akibat pembukaan paksa hutan alam bagi perkebunan kelapa sawit. Dibutuhkan lahan dan energy yang cukup besar untuk menciptakan energy biofuel dari kelapa sawit. Pembukaan hutan dan kebakaran selama ini telah memicu perubahan iklim. Mana mungkin menekan perubahan iklim dari biofuel apabila dalam proses penciptaannya juga turut berkontribusi dalam global warming. Penting bagi kita semua untuk melihat kembali kebijakan pemenuhan energy dari sumber yang tidak sustainable seperti kelapa sawit.

Dengan paradigma yang keliru, tentunya bisa dikatakan masih tersedia cukup lahan di Sumatera dan Kalimantan guna pemenuhan kebutuhan energi di Eropa yang berasal dari kelapa sawit. Dengan paradigma yang keliru pula, pembangunan perkebunan kelapa sawit bisa dikembangkan di catchment area dan wilayah-wilayah tenurial, seperti yang selama ini terjadi.

Masih cukup waktu untuk mencari sumber energi yang lebih sustainable. Sudah saatnya masyarakat eropa dan Amerika menurunkan konsumsi energinya sembari mencari alternative lain yang bisa menjamin penurunan efek rumah kaca.

Perkebunan sawit memang menciptakan sejumlah pekerjaan dan mendorong pertambahan pendapatan ekspor. Akan tetapi perkebunan sawit juga menjebak komunitas masyarakat untuk masuk dalam kemiskinan dan bencana ekologi yang ditimbulkannya sungguh sangat tidak sebanding dengan nilai ekonomi yang diperoleh. Konversi hutan alam untuk sawit telah menimbulkan kesengsaraan, bukan saja pada negara-negara pengekspor seperti Indonesia namun juga perubahan climate yang dampaknya akan dirasakan oleh sebagian besar penduduk Eropa dimasa mendatang.

Apa yang mau ditanam memang penting. Namun yang lebih penting adalah dimana mau ditanam. Kolonialisasi ini harus dihentikan.


Tidak ada komentar: