MELUMASI BENCANA

rully syumanda, april 2006

Sejak tahun 1967 hingga 2005, kelapa sawit merupakan salah satu komoditi yang berkembang secara luar biasa dan tumbuh 20 kali lipat dari luasan awal. Pada 2003 investasi pada perkebunan rakyat meningkat 15 kali dibandingkan dengan 1995, sedangkan perkebunan besar swasta meningkat 17 kali lipat . Pada saat pertumbuhan sawit menghasilkan pemasukan yang cukup besar bagi negara, sawit juga menjadi ancaman bagi hutan alam Indonesia. Masyarakat lokal sendiri seringkali dinegasikan keberadaannya oleh negara melalui pembukaan perkebunan kelapa sawit skala besar sehingga menimbulkan konflik ruang dengan masyarakat .

Figure 1. Total Perkebunan Kelapa Sawit yang telah ditanami sejak 1967 - 1997

Hingga 2003 lebih dari 15,6 juta hektar hutan telah dialokasikan bagi perkembangan kelapa sawit. Pada tahun 2005 Pemerintah kemudian memberikan 300 ribu hektar konsesi perkebunan kelapa sawit sehingga total luas lahan yang telah dialokasikan secara keseluruhan mencapai 15,9 juta hektar. Menambah angka deforestasi secara signifikan.

Berbanding terbalik, konsesi yang telah ditanami justru tidak mengalami perkembangan berarti. Pada tahun 2004, dari 15,9 juta hektar hutan yang telah dibuka, hanya 5,5 juta hektar yang telah ditanami . Sisanya ditinggalkan begitu saja setelah tegakan pohon didalamnya diambil untuk memenuhi kebutuhan industri kayu. Patut dicermati bahwa hampir sebagian besar pengusaha yang bermain di sektor perkebunan kelapa sawit merupakan pemain besar di sektor industri kehutanan yang meliputi industri pulp and paper, dan industri plywood. Sebagian besar kayu hasil landclearing konsesi perkebunan sawit masuk ke industri yang juga merupakan anak perusahaan yang sama. Lahan yang telah habis kayunya kemudian ditinggalkan. Tidak ada upaya apapun dari pemerintah terhadap praktek yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar tersebut. Pemerintah juga tidak melakukan apapun ketika banyak pengusaha kecil mempraktekkan hal yang sama. Alih-alih ditujukan untuk peningkatan sektor perkebunan, kelapa sawit justru dijadikan jalan untuk mengambil kayu secara legal .

Bisnis ini memang menggiurkan. Inilah salah satu musabab mengapa pemerintah cenderung menutup mata atas sejumlah anomali sosial dan lingkungan yang terjadi. Kelapa sawit menjadi sumber yang bernilai bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 1997, lebih dari 3,24 juta ton minyak sawit dieksport ke berbagai negara dan menghasilkan US$ 1,6 miliar . Pada tahun 2002, angka ini meningkat menjadi 4,44 juta ton. Nilai ini setara dengan 31 persen eksport pertanian Indonesia atau 3,5 persen total eksport non migas. Tujuan utama eksport adalah Belanda, Jerman, Italia, Spanyol dan Kenya.

Hal lain yang membuat sektor ini menjadi anak emas bagi industri pertanian dan perkebunan dalam perspektif pemerintah adalah kemampuan-nya untuk menyerap tenaga kerja. Sebagai bahan baku utama bagi minyak goreng, bahan makanan dan make up, pada tahun 2004 industri ini menyerap lebih kurang 2 juta tenaga kerja . Namun lagi, penting untuk diamati bahwa daya serap tenaga kerja industri ini bagi tenaga kerja di lapangan/tingkat pedesaan sangat kecil. Industri ini hanya mampu menyerap 34 tenaga kerja per 100 hektar.

Pada saat ini, pemerintah memperkirakan adanya ketersediaan lahan seluas 40 juta hektar diluar Pulau jawa yang dapat dikembangkan menjadi perkebunan kelapa sawit . Ini merupakan pertanda yang kuat bahwa akan ada tekanan tambahan terhadap hutan alam Indonesia untuk dikonversi menjadi perkebunan skala besar. Tidak usaha jauh-jauh, pada pertengahan tahun 2005, pemerintah mengemukakan rencananya untuk membuka 2 juta hektar hutan alam dan mengkonversi sedikitnya lima kawasan lindung untuk dijadikan perkebunan sawit. Rencana ini boleh dibilang bukan barang baru. Sejak tahun 2001 pemerintah sudah berniat untuk mengkonversi kawasan tersebut, namun baru pada tahun 2005 lah pemerintah membuka rencanan tersebut kepada publik.

Pemerintah berharap, dengan rencana tersebut, sektor ini akan mampu memberikan kontribusi sebesar US$ 8,75 miliar-US$ 9 miliar pada tahun 2010. Kontribusi ini diharapkan berasal dari komoditi minyak sawit sebesar US$5 miliar, karet US$2 miliar, kakao US$0,75 miliar, serta teh, kopi, dan tembakau sebesar US$1 miliar.

Bila ini terlaksana, Mega Project Sawit di perbatasan Kalimantan – Serawak menjadi blunder terbesar ditahun 2005 yang pernah dibuat pemerintah pada sektor pertanian dan perkebunan, setelah Project lahan Gambut Sejuta Hektar di pulau yang sama. Ambisi ini tergambar dalam Proposal Ringkasan Eksekutif Konsorsium PT. Perkebunan Nusantara I - XIV untuk Pembangunan Kawasan Perbatasan Melalui Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan pertengahan tahun ini.

Dalam rencananya, pemerintah akan mengkonversi 1,8 juta hektar hutan di perbatasan yang terdiri dari Suaka Alam Gunung Nyiut, TN Bentuang Karimun, TN Danau Sentarum, Kws. Gunung Muller-Schwanner dan TN Kayan Mentarang.
Argumen yang digunakan pemerintah untuk melegitimasi perlunya pengembangan sawit di perbatasan, sebagaimana tertuang dalam proposal PTPN I – XIV:

1. “Menjaga” perbatasan Indonesia-Malaysia
2. Percepatan pembangunan kawasan perbatasan untuk mengantisipasi menurunnya nasionalisme akibat kesenjangan ekonomi (pendapatan perkapita, pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, produktivitas)
3. Salah satu alternatif penampungan tenaga kerja (TKI) eks Malaysia asal Jawa
4. Menyerap nilai investasi senilai Rp. 85,14 trilyun
5. Menyerap 400 ribu tenaga kerja
6. Menjadi eksportir CPO terbesar

Secara fungsi, kawasan tersebut merupakan catchment area bagi puluhan anak sungai, sumber kehidupan bagi masyarakat lokal, dan merupakan ecoregion yang mendukung pertumbuhan local dan regional sustainable economic. Dalam peraturan perundangannya pun jelas disebutkan bahwa kawasan tersebut tidak diperuntukkan bagi pengembangan budidaya perkebunan.

WALHI melihat rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit ini menjadi sebuah ancaman terbesar bagi masyarakat Kalimantan dan bagi biodiversity yang ada di Bumi Borneo.

Dari kaki Pegunungan Muller mengalir sungai-sungai kecil yang membentuk DAS besar seperti DAS Kapuas, DAS Sibau, DAS Mendalam, DAS Bungan dan DAS Embaloh. Konversi di kawasan ini akan menghancurkan daerah tangkapan air yang berdampak pada menurunnya fungsi kawasan sebagai pengatur tataguna air. Bila fungsi ini hilang, dipastikan banjir akan menjadi menu tahunan baru di Bumi Borneo disamping kebakaran hutan.

Dampak ikutan dari banjir juga jelas. Masyarakat kehilangan investasi jangka panjang yang telah ditanamkannya selain kehilangan lapangan pekerjaan. Pembangunan kembali pasca banjir juga akan menyebabkan inefisiensi anggaran pembangunan setempat disamping akan menghilangkan nilai investasi yang telah ditanam.

Selain daripada itu, konversi lahan ini akan menghilangkan sejumlah biodiversity yang ada di Bumi Borneo yang terkenal dengan keberagaman flora fauna dan plasma nutfahnya. Borneo juga terkenal sebagai surga bagi orang utan, yang merupakan species endemic dan hanya ada di Kalimantan dan Sumatera.

Paper ini mengulas sejumlah dampak negative potensial yang ditimbulkan dari perkebunan skala besar di Indonesia selama ini, yang cenderung disembunyikan dari gegap gempita komoditi primadona Indonesia. Paper ini sekaligus diharapkan bisa dijadikan pegangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk terlebih dahulu melakukan kajian mendalam dari sejumlah potensi negative yang besar kemungkinan akan muncul, didasarkan pengalaman serupa diberbagai daerah, yang selama ini seringkali dilupakan.


Pristine Forest Untuk Sawit

Deforestation masih terus berpesta pora di Indonesia. Meskipun illegal logging seringkali dituding sebagai akar masalah deforestasi, konversi (illegal ) terhadap hutan alam untuk perkebunan skala besar kelapa sawit merupakan penyebab utama deforestasi di Indonesia yang telah menembus angka 2,4 juta hektar pertahun, turun dari 3,2 juta hektar pada tahun 2001 – 2002.

WALHI melihat bahwa pada dasarnya konversi hutan, baik untuk perkebunan kelapa sawit maupun HTI telah mencapai titik jenuh dan melebihi carrying capacity. Dikatakan jenuh karena sejak awal ekspansi perkebunan sawit telah memasuki kawasan yang memiliki nilai sosial, budaya dan ecologi yang tinggi. Kawasan yang memiliki nilai kulture bagi masyarakat local setempat. Beberapa diantaranya merupakan catchment area dan sebagian lagi merupakan kawasan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter. Riau dan Jambi di Sumatera serta tipologi tanah di Kalimantan merupakan lahan gambut dengan kedalaman bervariasi antara 2 meter - > 3 meter.

Figure 4. Distribusi pengembangan perkebunan kelapa sawit berdasarkan geografis

Konversi di cathment area dan kawasan gambut selama ini telah menimbulkan masalah bagi propinsi bersangkutan. Pendangkalan sungai akibat pembukaan dikawasan hulu dan daerah aliran sungai mengakibatkan sungai tidak lagi mampu menampung debit air yang muncul secara tiba-tiba akibat hujan deras. Fenomena ini dikenal sebagai proses run-off dimana bulir pasir dan tanah dari kawasan yang terbuka ikut terbawa oleh hujan dan mengendap di sungai. Proses sedimentasi inilah yang pada akhirnya membuat sungai tidak lagi mempunyai kemampuan untuk menampung limpahan debit air yang muncul secara tiba-tiba. Banjir telah menjadi menu tahunan Sumatera dan Kalimantan, disamping forest fire.

Sejumlah riset yang telah dilakukan memang menunjukkan bahwa pada sejumlah kasus tidak ada korelasi langsung antara banjir dengan proses penggundulan hutan. Namun riset yang sama juga menggambarkan bahwa proses penggundulan hutan akan berpotensi menciptakan banjir apabila lapisan humus pada kawasan yang terbuka telah tergerus. Penting untuk digaris bawahi bahwa penggundulan hutan memang tidak berkorelasi langsung terhadap banjir sepanjang lapisan humus, yang diharapkan mampu berfungsi sebagai spon raksasa untuk menyerap air, tidak ikut tergerus .
Akibat dari banjir ini, sebagian besar memang tidak dapat dinilai dengan uang. Meskipun dampak langsung dari banjir, berupa kerusakan infrastruktur, dapat dihitung namun dampak tidak langsung yang ditimbulkan seringkali terlupakan untuk dimasukkan dalam mesin hitung. Sebagai gambaran, pada tahun 2004, banjir yang melanda Propinsi Jambi telah menimbulkan dampak langsung senilai 79 miliar rupiah akibat kerusakan infrastruktur maupun rumah-rumah penduduk. Namun kerugian secara tidak langsung dari banjir tersebut tercatat mencapai Rp. 204 milyar. Pada tahun sebelumnya, banjir di Riau menembus angka Rp. 684 milyar atau setara dengan 64% APBD Riau 2002 akibat dari kerugian secara langsung dan tidak langsung. Ratusan kepala keluarga kehilangan rumah dan ribuan hektar kebun penduduk gagal panen sehingga menambah 2 persen margin angka kemiskinan di Propinsi Riau menjadi 34 persen .

Konversi hutan selama ini diperuntukkan bagi pengembangan budidaya kelapa sawit. Sebagian lagi untuk plantation indutri. Pada tahun 2003 hutan alam seluas 15,6 juta ha ditebang. Angka ini meningkat menjadi 15,9 juta hektar pada tahun 2004. Berbanding terbalik, konsesi yang telah ditanami tidak mengalami peningkatan berarti. Dari 3,17 juta ha pada tahun 2000, hanya mengalami peningkatan menjadi 5.5 jt ha pada tahun 2004.

Praktek konversi ini jelas menyalahi kebijakan pemerintah sendiri dimana disyaratkan bahwa untuk pembangunan perkebunan sawit dan pulp hanya boleh dilakukan di kawasan yang mempunyai kerapatan vegetasi kurang dari 20 meter kubik perhektar. Kebijakan pemerintah juga menyebutkan untuk kawasan gambut dengan ketebalan lebih dari 3 meter secara otomatis menjadi kawasan lindung dan untuk itu segala aktivitas yang ditujukan untuk melakukan perubahan fungsi ditiadakan

Figure 5. Sebaran Perkebunan Sawit di Indonesia

Secara langsung, Pemerintah Indonesia juga telah mencoreng mukanya sendiri terhadap sejumlah praktek konversi hutan menjadi perkebunan sawit. Pada tahun 2001, dalam sidang CGI (Kelompok Negara Donor), salah satu point utama pemerintah untuk mendapatkan hutang adalah bahwa komitmentnya untuk tidak melakukan konversi atas hutan alam Indonesia bagi perluasan perkebunan sawit maupun pulp.

Angka kerusakan akibat banjir pada dasarnya menggambarkan ketidak seimbangan antara pemasukan yang diperoleh dengan dampak yang ditimbulkannya. Perubahan fungsi kawasan gambut menjadi areal perkebunan kelapa sawit pada dasarnya juga menimbulkan dimensi masalah yang similar.

Gambut bersifat irreversible. Menyimpan air dalam jumlah besar namun bila dibuka ia tidak lagi dapat menangkap air. Gambut juga berfungsi sebagai penyimpan karbon. Bila kawasan ini dibuka, dipastikan bukan saja jutaan ton air dilepaskan namun juga jutaan meter kubic karbon dilepaskan ke udara, menambah angka pemanasan global yang memaksa penggelontoran es di kutub dan dalam jangka panjang akan menaikkan permukaan air laut.

Kenaikan suhu ektrem ini bukan isapan jempol. Badan meteorologi dan geofisika di Riau telah menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan suhu dua derajad celcius hanya dalam kurun waktu sepuluh tahun.

Apabila tidak diambil tindakan apapun, dengan laju kerusakan alam saat ini, diperkirakan sebagian kawasan Skandinavia akan mengalami penurunan suhu hingga 6 derajad fahrenheit pada tahun 2012, menimbulkan kekeringan dan dingin yang memaksa sebagian besar penduduk di Scandinavian bermigrasi menuju Italia.

Peter Schwartz and Doug Randall, pada tahun 2003 mengeluarkan laporan lengkap tentang impak dari pemanasan global yang akan di terima oleh sebagian besar wilayah Eropa dan Asia Tenggara. Laporan bertitle An Abrupt Climate Change Scenario ini dijadikan referensi bagi Pentagon dalam menyusun kebijakan Amerika dimasa mendatang.



Horor Sawit di Perbatasan, Mengapa?


Sejumlah horor diatas seharusnya sudah dijadikan bagian dari pertimbangan keputusan pemerintah untuk membangun perkebunan sawit dalam skala besar diperbatasan Kalimantan. Kawasan yang kaya dengan sumberdaya alam sekaligus rumah bagi ribuan masyarakat yang menggantungkan keberlangsungan hidupnya ini terancam musnah. Hanya karena ambisius yang, sekali lagi, tidak memperhitungkan angka kerugian dalam jangka panjang dalam hitung-hitungan bisnis.

Indonesia pernah melakukan kesalahan serupa, terkait dengan ambisitas yang dimiliki seorang kepala negara. Project Lahan Gambut Sejuta Hektar, yang semula ditujukan untuk menciptakan swasembada pangan berakhir dengan kesia-siaan. Berakhir dengan kerusakan lingkungan dan menciptakan konflik yang belum terselesaikan hingga saat ini.

Patut diingat bahwa pada masa itu ada puluhan orang berkualitas telah menyarankan pemerintah untuk sesegera mungkin membatalkan project tersebut mengingat angka kemungkinan kegagalannya yang jauh lebih besar. Toh Presiden Soeharto kala itu tidak mau mendengar dan terus berjalan hingga berakhir dengan kegagalan. Mungkinkan kita akan memaksa untuk jatuh pada lubang yang sama? Bahkan seekor keledai tidak akan mau jatuh pada lubang yang sama.

Apa sebetulnya yang menarik perhatian sekaligus justifikasi perlunya pengembangan sawit di perbatasan? Apa daya tarik lain selain yang diungkapkan pemerintah selama ini, dengan slogannya ”demi keamanan, kemakmuran dan perlindungan lingkungan?”.

Ada begitu banyak pandangan yang muncul yang didasarkan pada situasi dan kondisi terkini terhadap agenda besar dibalik rencana ini:

  • Kayu! Ada 115 juta meter kubik kayu dengan diameter diatas 50 cem dan 403 juta meter kubik untuk untuk ukuran diatas 20 cm (Greenomics, 2005). Jumlahnya mampu memenuhi kebutuhan industri kayu yang nyaris kolaps akibat ketiadaan bahan baku. Masalah ketiadaan bahan baku selama ini telah memaksa industri bersangkutan untuk melakukan PHK masal. Meskipun dalam statement resminya, Menteri Kehutanan MS Ka’ban menyatakan bahwa Departemennya tidak akan mengeluarkan izin perubahan fungsi kawasan perbatasan namun toh mengingat industri yang dibidani menjelang kolaps, bukan tidak mungkin ini hanya merupakan bagian dari proses tarik ulur untuk penguasaan kayu dari kawasan tersebut. Penting untuk dilihat keberadaan militer melalui PT. Yamaker yang berkemungkinan besar akan menguasai seluruh kayu hasil tebangan didaerah tersebut.
  • Untuk ”membeli militer”. Meskipun Presiden berasal dari militer namun beliau bukanlah orang yang dianggap cukup mengakar di militer. Tindakan ini, dalam pandangan sejumlah pengamat politik lebih kepada upaya untuk mendapatkan dukungan dari militer. INKOPAD merupakan salah satu organisasi profit militer yang selama ini mengelola kawasan PT Yamaker. Meskipun Presiden SBY telah mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi keterlibatan militer dalam dunia bisnis, namun toh jawaban untuk kekurangan anggaran kesejahteraan anggota militer sampai saat ini masih seperti mencari jarum dalam tumpukan paku.
  • Kompensasi terhadap China yang telah bersedia untuk menginvestasikan uangnya dalam sejumlah project infrastruktur di Kalimantan. Faisal Basri dalam analisisnya mengatakan bahwa kawasan seluas 1,8 juta hektar tersebut akan dibagi menjadi dua, yaitu sekitar 600 ribu hektar akan dikelola oleh perusahaan China dan sisanya akan diberikan kepada perusahaan Indonesia.

Alasan faktual lain yang lebih masuk akal tentunya berkaitan dengan pemenuhan kelaparan negara-negara eropa terhadap minyak kelapa sawit yang murah.

Pada awal tahun 2005, Pemerintah Belanda berencana untuk memberikan subsidi bagi perusahaan pembangkit tenaga listrik untuk menggunakan minyak sawit sebagai bahan bakarnya. Rencana ini ditentang oleh sejumlah aktivis lingkungan, termasuk WALHI dan FOE Netherland/Miliudefensie yang mengganggap penggunaan minyak sawit sebagai energi akan memberikan justifikasi penghancuran hutan besar-besaran di Indonesia. Hal ini sangat masuk akal mengingat 44 persent minyak sawit Indonesia dieksport ke negara bawah laut ini. (lihat figure 2). Namun toh sejumlah negara di Eropa telah melirik upaya yang akan dilakukan Netherland tersebut – melihat sawit sebagai energi alternatif untuk mengatasi krises energi dan mengurangi penggunaan fosil fuel. Secara berturut-turut, Inggris, German dan sejumlah negara Eropa lainnya tengah merancang penggunaan sawit sebagai bahan bakar alternatif.

Reuters memberitakan pada januari 2006 bahwa Menteri Pertanian menyatakan bahwa Indonesia akan membangun 3 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit pada 5 tahun kedepan untuk memenuhi kebutuhan biofuel yang terus meningkat sebagai alternative energi dan sekaligus untuk kebutuhan eksport. Perhitungan yang pernah dilakukan memang menyebutkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan 2 persen bahan bakar diesel dalam negeri ”hanya” membutuhkan lahan seluas 200 ribu hektar. Artinya lagi, untuk menembus angka 20 persen, ada kebutuhan 2 juta hektar sawit. Dalam lima tahun kedepan permintaan dalam negeri akan terus bertambah berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan industri. Tidak akan tersedia cukup lahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Permintaan akan terus merambat naik sementara jumlah lahan tetap dan cenderung berkurang karena pemukiman dan pengadaan pangan. Sustainable energi sebagaimana yang ditabalkan terhadap sawit akan menemui momentum dimana tidak tersedia cukup lahan untuk pemenuhan kebutuhan energi itu sendiri.

Namun toh teori ekonomi ortodoks seperti diatas sepertinya akan tetap digunakan pemerintah cq Menteri Pertanian. Ini bisa terlihat dari komentar Menteri bersangkutan setahun sebelumnya dimana Menteri menyatakan bahwa Pemerintah akan memberikan subsidi pembangunan perkebunan untuk kebutuhan pasar biofuel. Naif!

Jangan dilupakan peran militer dalam mendorong pengembangan kelapa sawit di perbatasan. Pimpinan Militer setempat, Djoko Suyanto secara terang-terangan mendukung pembangunan perkebunan kelapa sawit di perbatasan.

”tidak ada alasan apapun untuk menolak pembangunan di perbatasan selain hanya untuk kesejahteraan masyarakat dan mendukung aspek keamanan negara”

Kesejahteraan masyarakat? Ada puluhan komunitas yang menolak pembangunan sawit di perbatasan dan menganggap bahwa kesejahteraan bukan diraih melalui perubahan komoditi pemernuhan hidup. Masyarakat Dayak membutuhkan infrastruktur dan jaminan akses terhadap pasar agar hasil pertanian mereka lebih kompetitif. Bukan mengganti komoditi.

Keamanan negara? Apakah ketidak mampuan TNI untuk mengamankan negara kemudian harus dibebankan kepada masyarakat dalam bentuk potensi bencana akibat perubahan tutupan hutan alam?

Atau ini hanya salah satu bentuk justifikasi untuk meraih pendapatan dari perbatasan mengingat Artha Graha, sebuah group dengan anak perusahaan yang mayoritas dimiliki para pensiunan militer, telah berhasil mengaet investor China dan ada keinginan untuk memastikan bahwa investasi yang ditanamkannya tersebut harus kembali dalam bentuk kompensasi di kawasan perbatasan?


Konflik Tak Berujung

Kalimantan adalah tanah yang penuh dengan kearifan lokal. Dalam sejarahnya, Pulau Kalimantan dihuni oleh manusia yang bermigran pada gelombang pertama dari Asia Timur (9.000 tahun yll). Sebagian besar kelompok masyarakat tersebut kemudian bermigrasi ke Mentawai dan menetap disana . Gelombang manusia kedua masuk ke Kalimantan, dan di Sumatera kelompok ini berbaur dengan kelompok migran pertama sehingga menciptakan etnis yang berbeda dengan etnis Kalimantan.

Gelombang kedua migrasi manusia ini telah mengenal budidaya cocok tanam yang membedakannya dengan kelompok manusia migrasi pertama di Mentawai yang masih mengandalkan kehidupannya pada aktivitas berburu untuk pemenuhan kebutuhan pangannya. Kemampuan bercocok tanam tersebut terus dimiliki oleh masyarakat Kalimantan hingga sekarang. Mereka bergantung pada sistem pertanian subsistence dengan mengandalkan pendapatan dari perdagangan karet, rotan, damar, madu, gaharu dll. Meskipun demikian kita masih menemui adanya kelompok masyarakat Dayak seperti di Malinau yang mengandalkan hidupnya dari aktivitas berburu. Hasil buruan tersebut dijual ke Sabah dan Sarawak atau ditukarkan dengan hasil pertanian yang senilai.

Jumlah penduduk dikawasan perbatasan bisa dikatakan tidak terlalu banyak namun tersebar disejumlah titik. Menggantungkan hidup dari kualitas alam, masyarakat dayak di Kalimantan Barat misalnya menempati wilayah perkilometer perseginya sebanyak 27 orang. Sedangkan di kalimantan Timur terdapat 13 orang setiap kilometer perseginya.

Dari 5,5 juta ha perkebunan sawit di Indonesia, 35 persen diantaranya berada Kalimantan (lihat figure 5). Komoditi ini berbagi ruang dengan jutaan konsesi lainnya seperti HTI Pulp dan HPH (Logging Concession). Tidak jarang diantaranya saling tumpang tindih satu sama lain. Bahkan Taman Nasional juga menjadi wilayah yang tidak bebas dari perambahan bisnis minyak licin ini.

Meskipun praktek ini illegal namun dengan cara tersendiri Pemerintah setempat selalu punya cara untuk melegalkan praktik tersebut. Merubah status peruntukkan kawasan tanpa memperhatikan fungsi kawasan menjadi modus yang seringkali dilakukan. Meskipun hanya berbekal izin prinsip tanpa harus melalui persetujuan Menteri Kehutanan sebagaimana yang disyaratkan dalam peraturan perundangan.

Konsesi-konsesi tersebut juga seringkali memasuki wilayah teritorial masyarakat sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan yang tidak terhitung dan belum terselesaikan hingga hari ini.

Di Indonesia, bisnis kelapa sawit adalah bisnis yang paling sarat dengan konflik dan tumpang tindih lahan. Seringkali pembangunan kelapa sawit di lakukan dengan memobilisir polisi dan militer untuk mengambil paksa tanah-tanah milik masyarakat setempat. Sejak tahun 2003, peran polisi dan militer mulai berkurang seiring dengan digunakannya Satuan Pengamanan Swasta oleh berbagai perusahaan berskala besar. Sebuah perusahaan pengamanan yang berbasis di Amerika, SHIELD tercatat melakukan pembunuhan dengan menggunakan tombak dan parang terhadap 3 orang masyarakat Desa Tambusai Timur, Kabupaten Rokan Hulu, Propinsi Riau ketika mengamankan perusahaan dari demonstrasi penduduk, pada akhir tahun 2004 lalu. Dengan demikian, pengembangan perkebunan kelapa sawit seringkali diasosiasikan dengan konflik yang disertai kekerasan.

Pada tahun 1988 dan 2002, 479 orang dilaporkan menjadi korban penyiksaan dalam pelbagai konflik yang terjadi saat mepertahankan hak-hak komunitas, dan puluhan orang terbunuh di dalam pelbagai konflik yang berkaitan dengan persoalan tanah garapan. Di banyak perkebunan, para buruh harus menghadapi persoalan yang berkaitan dengan rendahnya upah yang mereka terima dan pelbagai kondisi hidup mereka yang mengenaskan.

Demikian halnya dengan petani independen yang menggandalkan penghidupannya dari Sawit juga tidak lepas dari jerat monopoli pemilik pabrik yang sekaligus berperan sebagai penentu harga komoditas.

Pembangunan kelapa sawit juga selama ini tidak pernah dilakukan konsultasi dengan masyarakat setempat. Hal yang sama juag dapat kita temui dari Mega Project Sawit di perbatasan ini dimana masyarakat tidak pernah ditanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam pembangunan ataupun ditanyakan kesediaannya untuk hidup berdampingan dengan perkebunan eksotis, yang bahkan di negara asalnya sendiri sudah dilarang untuk pengembangannya karena menimbulkan sejumlah masalah serius terhadap lingkungan.

Akibat tidak adanya proses konsultasi dengan masyarakat, banyak ditemui sejumlah pernyataan yang dikeluarkan oleh masyarakat setempat terkait dengan rencana pembukaan perkebunan kelapa sawit di perbatasan.

WALHI mencatat munculnya sejumlah statement masyarakat berkaitan dengan penolakan ini berasal dari masyarakat Dayak Punan di malinau, Masyarakat Sungai Antu, Masyarakat Semunying, Masyarakat Melikat, Masyarakat Muakan, Masyarakat Sanjang, Masyarakat Empunak di Kalimantan Barat, dll.

”Kami mendiskusikan masalah kelapa sawit dan kami menemukan bahwa kelapa sawit tidak dapat diterima oleh masyarakat kami. Mereka ingin menanam karet, padi dan sayur-sayuran sebagaimana yang mereka lakukan sekarang ini. Kami berharap dengan hasil pertanian ini kami akan maju dimasa depan untuk meraih kemakmuran. Kami tidak punya waktu yang cukup untuk mendiskusikan masalah ini, kami perlu melanjutkan hidup kami sekaligus memastikan bahwa kami tetap menginginkan sebuah rumah dan kebun untuk kesejahteraan kami. Kami tidak ingin kehidupan dan budaya kami bertambah rusak dengan adanya perkebunan sawit ini. Itulah harapan kami.” Surat Kepada Bupati Sintang dari Masyarakat Empunak, Kalimantan Barat, 30 Oktober 2005

Perkebunan sawit boleh jadi menciptakan sejumlah pekerjaan dan mampu mendorong
pertambahan pendapatan ekspor, akan tetapi perkebunan sawit juga dapat menjebak komunitas-komunitas yang ada untuk masuk dalam kemiskinan


Penutup

Didasari sejumlah kupasan diatas, WALHI melihat Mega Project sawit di perbatasan Rencana pembangunan kelapa sawit di perbatasan tidak didasari perpective sosial dan lingkungan yang memadai disamping tinjauan histories tentang bencana dan kerugian jangka panjang terhadap penduduk yang berada di sepanjang DAS akibat pembukaan perkebunan didaerah hulu. Tidak ada alasan apapun yang dapat dijadikan pembenaran untuk mengorbankan 1,8 juta hektar hutan alam bagi perkebunan kelapa sawit, mengingat dari 15,9 juta hektar yang telah dilepaskan ternyata baru 5,5 juta hektar yang telah ditanami.

Penting untuk dilihat bahwa dalam 10 tahun perkebunan kelapa sawit sarat dengan kekerasan dan konflik ruang yang saling tumpang tindih dengan lahan masyarakat maupun dengan konsesi lainnya dan tidak terselesaikan hingga hari ini.

Penting juga untuk dicermati bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit telah menimbulkan bencana ekologis yang significant terhadap kehidupan penduduk setempat seperti banjir, serangan hama, konflik satwa-manusia dan kebakaran hutan.

Perkebunan sawit boleh jadi menciptakan sejumlah pekerjaan dan mampu mendorong pertambahan pendapatan ekspor, akan tetapi perkebunan sawit juga dapat menjebak komunitas-komunitas yang ada untuk masuk dalam kemiskinan

Walhi memandang perlu dilakukan sejumlah langkan untuk mendesa Pemerintah Indonesia untuk menghentikan sesegera mungkin rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit di perbatasan karena akan menimbulkan economic loss yang jauh lebih besar dibanding pendapatan yang diperoleh dari kawasan pengembangan tersebut. Rencana pembangunan tersebut juga menyalahi peraturan peerundangan yang berlaku tentang fungsi dan peruntukkan kawasan.

Pemerintah juga harus mengadopsi Free Prior Inform Consent dan atau berkonsultasi dengan masyarakat setempat dengan menjelaskan dampak positif dan negatif sejujur-jujurnya terhadap rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit mulai sekarang. Ini menjadi penting dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan konflik yang lebih besar dimasa mendatang.

Apa komoditi yang ditanam memang penting untuk dikaji. Namun yang lebih penting lagi, dimana komoditi tersebut ditanam? Masalah utama kemiskinan di Kalimantan, sebagaimana perspektif pemerintah selama ini bukanlah terletak pada jenis komoditinya. Pemerintah seringkali lupa dan alpa bahwa selama ini pemerintah hampir tidak pernah menyediakan akses pasar yang cukup kompetitif bagi komoditi pertanian rakyat. Pemerintah selalu saja menyediakan akses pasar dan infrastruktur bagi komoditi yang penting dalam perspektif pemerintah. Bukan kebutuhan masyarakat. Sudah saatnya pemerintah mengintensifkan komoditi pertanian jangka panjang rakyat seperti damar, karet dan rotan dan komoditi lainnya yang lebih eco friendly dibanding tanaman eksotis dan monokultur seperti sawit.

Tidak ada komentar: