Usaha Sistematis “Penurunan Kriteria” Legalitas Kayu - Meminggirkan Aspek Sosial

rully syumanda
Catatan Kritis Proses Penyusunan Kriteria dan Standar “Wood Legality”


Pendahuluan
Pemerintah Indonesia, Lembaga Usaha bidang Kehutanan serta pembeli kayu di negara lain merespons maraknya pembalakan yang destruktif yang disederhanakan menjadi permasalahan illegal logging dengan membuat kriteria apa yang dimaksud dengan legalitas kayu. Kriteria ini dikenal dengan kriteria BRIK (Badan Revitalisasi Industri Kehutanan). Akan tetapi kriteria ini tidak mendapat respons positif dari pasar Eropa serta tidak mendapat dukungan ornop dikarenakan terlihat hanya seperti meloloskan kayu dari hutan sebagai kayu yang legal dengan mengesampingkan banyak hal yang berkaitan dengan issue sosial.

Beberapa ornop berbasis konservasi, Pemerintah Inggris serta Pemerintah Indonesia memulai kembali mendiskusikan perlunya kriteria indikator yang lebih dapat diterima secara sosial, ekonomi dan lingkungan. Kriteria ini dikenal dengan nama wood legality yang akan diterapkan menjadi kesepakatan bilateral antar negara. Proses ini sudah berjalan cukup lama sejak tahun 2004 dengan penyiapan kriteria dan indicator versi 1, 2 dan 3 demikian pula telah diikuti berbagai lokakarya serta melibatkan pakar untuk menguji kriteria tersebut dan juga pengujian ke lapangan. Sayangnya berbagai informasi ini tidak dibuka secara luas sehingga terlihat tidak ada keberlanjutan pengetahuan dalam membangun kriteria tersebut.

WALHI melihat ada usaha sistematis dari pihak pihak tertentu yang berupaya untuk menurunkan (down grading) kriteria-kriteria tertentu, terutama pada aspek sosial (FPIC dan Penetapan Kawasan Hutan), yang di tenggarai dilakukan secara sadar dan sengaja untuk meloloskan kayu-kayu dari usaha kehutanan skala besar. Tulisan ini mencoba melihat mandat apa yang diberikan kepada team kecil dan apa yang telah dihasilkan oleh tim tersebut dan mencoba mengukur kembali draft versi 3.2 dengan draft 2 serta dengan mempertimbangkan studi khusus yang di presentasikan oleh Dr.Marcus Colchester pada 2005 .

Semoga hal ini membuka mata kita semua tentang apa yang pernah, sedang dan akan terjadi dalam mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari

Penurunan Kriteria dua Aspek Sosial Penting
Dua aspek sosial penting yang berkaitan dengan proses pemberian ijin suatu usaha kehutanan adalah Proses Persetujuan Tanpa Paksaan (Free and Prior Informed Consent/FPIC) serta Proses Penetapan Kawasan Hutan. Dua hal ini merupakan hal penting yang tidak dapat dilewatkan begitu saja, dikarenakan dua hal inilah yang memberikan legalitas pemberian ijin atas kawasan hutan.

1. Penetapan Kawasan Hutan adalah suatu bukti bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan hutan yang tidak di bebani hak, seperti tercantum dalam UUK. Hal ini yang menjamin bahwa tidak adanya tumpang tindih penguasaan atas kawasan hutan atau dapat dikatakan pula sebagai kawasan hutan tetap. Penetapan Kawasan Hutan dilakukan melalui proses pengukuhan yang meliputi, penunjukkan kawasan hutan (oleh Menteri), penatabatasan kawasan hutan (oleh pemda bersama-sama dengan masyarakat) serta penetapan kawasan hutan jika penataan batas telah mencapai temu gelang (oleh Menteri). Ini semua diatur dalam berbagai peraturan perundangan bidang kehutanan antara lain UUK, PP 44/2004 ttg Perencanaan Hutan, SK Menhut no 32/2001 dan SK Menhut 70/2001 serta kebijakan lain yang berkaitan dengan keberadaan Panitia Tata Batas (masyarakat, BPN instansi terkait sebagai anggotanya). Demikian pula sejalan dengan salah satu kebijakan prioritas departemen Kehutanan yaitu pemantapan kawasan hutan (mempercepat proses penetapan kawasan hutan).

Penetapan kawasan hutan diikuti dengan penataan batas areal kerja Unit Manajemen (UM). Hal ini untuk menjamin dikeluarkannya lahan lahan yang tidak produktif dan masih adanya klaim masyarakat dari wilayah kerja Usaha Manajemen Kehutanan, dan berkaitan dengan perhitungan jatah tebang tahunan suatu unit manajemen.

Bagaimana masalah penatapan kawasan hutan diterjemahkan dalam draft kriteria ini?
Dari versi pertama sampai versi ke 3 terlihat adanya perubahan sbb:
  • draft 1 terlihat jelas bahwa masalah penetapan kawasan hutan merupakan masalah legalitas yang penting sehingga dimasukkan menjadi kriteria pertama (penguasaan lahan dan hak pemanfaatan). Jelas dikatakan bahwa yang dimaksud dengan legal adalah kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap dengan dibuktikan sebagai alat verifier yaitu SK Menteri akan penetapan kawasan hutan dalam bentuk kelompok hutan serta dibuktikan dengan konsistensi penetapan kawasan hutan dengan dokumen BATB yang diakui oleh masyarakat.
  • draft 2 terlihat ada usaha penurunan standart tersebut dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan legal adalah kawasan hutan yang telah ditata batas dan dibuktikan dengan Berita Acara Tata Batas (BATB).
  • draft 3 terlihat usaha menurunkannya kembali menjadi Pemilik Ijin mampu menunjukkan ijin IUPHK. Dimana kita ketahui banyak sekali ijin yang diterbitkan diatas kawasan hutan yang belum ditetapkan sebagai kawasan Hutan Negara dan kawasan tersebut belum ditata batas sehingga akan terlihat kebingungan mana yang sebenarnya lahan-lahan masyarakat dan mana yang merupakan kawasan hutan tetap.

Dengan menurunkan standar ini secara nyata instrument ini tidak dapat dipakai untuk menjawab legalitas kayu atas dasar penguasaan lahan. Hal ini perlu dikembalikan kepada posisinya yaitu kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap dengan dibuktikan sebagai alat verifier yaitu SK Menteri akan penetapan kawasan hutan dalam bentuk kelompok hutan serta dibuktikan dengan konsistensi penetapan kawasan hutan dengan dokumen BATB yang diakui oleh masyarakat .

Issue deliniasi juga tidak mendapat perhatian yang cukup meski diakui isue ini sering menjadi triger dalam memicu konflik wilayah dengan masyarakat. Meskipun lagi konsep deliniasi dianggap sebagai sebuah intrument yang dapat memperkecil dampak lingkungan yang muncul akibat perubahan peruntukkan menjadi hutan tanaman.

  • Deliniasi makro dan mikro merupakan instrumen tunggal dan berkekuatan hukum dalam penilaian dan deliniasi areal konsesi hutan tanaman.
  • Instrument ini mengakomodasi lebih dari cukup secara proporsional antara aspek ekonomi, ekologi, sosial dan etika yang diusungnya.
  • Areal-areal hutan yang mengacu pada deliniasi makro dan mikro memiliki kepastian mana-mana batas yang harus dijaga kelestariannya dan mana-mana wilayah yang tidak boleh diekstraksi berkaitan dengan klaim masyarakat.

Dalam areal yang telah dideliniasi, seluruh pemegang konsesi hutan tanaman – yang kemudian disetujui dan disahkan Dephut, memiliki kepastian kawasan. Kondisi ini mutlak untuk diikuti dan kedepannya dapat dijadikan basis utama dalam percepatan pembangunan hutan tanaman.

Hal lain adalah masalah yang berkaitan dengan penataan batas areal kerja Unit Manajemen, tidak di singgung sama sekali dalam kriteria ini bahkan hilang sama sekali. Hal ini perlu ditekankan untuk memberikan jaminan bahwa yang masuk dalam areal kerja hanyalah wilayah-wilayah yang produktif untuk usaha kehutanan, dan tidak memasukan tanah tanah non produktif ke dalamnya misal sawah, kebun, tegalan, lading, bahkan pemukiman dan jalan dalam usaha kehutanan. Ini tetap diperlukan untuk menjamin bahwa usaha masyarakat dilindungi dari usaha penyerobotan lahan oleh unit manajemen. Demikian pula untuk menjamin bahwa areal kerja tidak masuk kedalam wilayah yang dikategorikan sebagai kawasan lindung.

2. Free, Prior, Informed and Consent hal ini sangat dibutuhkan untuk menjamin adanya proses pengambilan persetujuan dari masyarakat atas usaha kehutanan yang akan dijalankan di wilayahnya yang dilakukan sebelum usaha dilakukan dan dilakukan dengan bebas tanpa paksaan . Jika hal ini tidak dilakukan maka tidak ada jaminan bahwa masyarakat memberikan persetujuannya atas usaha kehutanan di lingkungannya dan dilakukan secara bebas tanpa paksaan oleh aparat militer, polisi maupun aparat negara lainnya. Serta jaminan bahwa masyarakat mengerti akan dampak yang ditimbulkan dari usaha kehutanan di lingkungannya termasuk dampak lingkungan, sosial serta konsekwensi hukumnya. Hal ini seharusnya secara jelas dituangkan dalam kriteria 1 dan 3, dalam draft 2 disebut proses PADIATAPA (persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan).

Bagaimana hal ini diterjemahkan dalam kriteria indikator ini?
Dari versi pertama hingga versi ke 3 terlihat usaha menurunkan standard ini secara sistematis seperti berikut:

  • Dalam draft 1 serta studi yang dilakukan oleh Marcus ditahun 2005 ditegaskan pentingnya proses PADIATAPA dan diperlukan suatu guide line menjalankan PADIATAPA. Hal ini juga dikemukakan dalam seminar di Hotel Salak (Bogor, 2005) untuk menyiapkan guideline tsb dalam bentuk tahapan-tahapan yang dapat di uji. Hal ini tidak tertuang dalam draft-draft selanjutnya. Dalam draft 2 masih tercantum dalam kriteria 3.1 dengan menurunkannya dan dengan menambahkan kata menunjukkan usaha untuk melakukan PADIATAPA. Perubahan mendasar terjadi dengan merubah hasil PADIATAPA dengan menunjukkan dokumen proses persetujuan menjadi menunjukan usaha menjalankan PADIATAPA dengan menunjukan bukti usahanya.
  • Sedang dalam draft 3 secara nyata dilakukan down grading konsep PADIATAPA dengan hanya mencantumkan mempertimbangkan pendapat masyarakat (kriteria 1 verifier 1.3). Perubahan persetujuan menjadi pertimbangan pendapat merupakan down grading radikal yang mengkerdilkan jaminan bagi masyarakat atas kegiatan usaha kehutanan di lingkungannya.

Akibat dari down grading ini adalah, tidak adanya proses FPIC yang dijamin dalam prinsip FSC no 3, sehingga kriteria ini tidak bermakna sama sekali karena tidak dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat atas persetujuannya akan usaha kehutanan di wilayahnya demikian pula tidak dapat memberikan jaminan bahwa secara sadar dan tanpa paksaan masyarakat memahami dan menyetujui segala konsekwensi hukum, lingkungan dan sosial atas lingkungannya. Hal ini perlu didudukan seperti semula dengan mengembalikan prinsip PADIATAPA dalam prinsi 3 (Hubungan dengan Masyarakat dan Hak Pekerja) seperti yang ada dalam draft 2


Hilangnya Prinsip sebagai Semangat Sertifikasi Wood Legality
Selain dari pada prinsip dan kriteria tersebut, terdapat perubahan yang radikal dalam penyusunan versi 3 yaitu penghilangan 7 Prinsip yang menjiwai segala proses tersebut antara lain:

  1. P1. Penguasaan Lahan dan Hak Pemanfaatan Hutan (diakomodir dalam versi 3 secara partial)
  2. P2. Dampak Fisisk, Sosial dan Lingkungan
  3. P3. Hubungan dengan Masyarakat dan Hak Pekerja
  4. P4. Perundang Undangan dan Peraturan Mengenai Pemanenan Kayu
  5. P5. Pungutan Kehutanan
  6. P6. Lacak Balak
  7. P7. Pengolahan Kayu

Prinsip tersebut di kembangkan sejak draft 1 dan dirubah oleh tim kecil yang dirasa telah melakukan nya secara sengaja dan dilakukan diluar kewenangannya. Tim kecil hanya berwenang untuk melakukan reprase sesuai dengan terminology yang lazim, merestruktur dan mereformat bukan melakukan down grading dan menghilangkan hal hal yang esensial.


Upaya Toleransi Terhadap Aktivitas Illegal
Hal lain yang patut menjadi perhatian adalah adanya upaya-upaya dari pihak perusahaan yang terlibat dalam proses ini untuk memberikan bobot pada setiap verifikasinya. Hal ini sangat tidak bisa diterima. Pemberian bobot akan membuat sertifikasi legalitas yang berjenjang. Ukuran legal tidaknya kayu pada akhirnya hanya dilihat dari besaran prosentase . Berbagai pihak seharusnya melihat ini sebagai masalah yang sangat serius. Legalitas tidak bisa digradasikan. Hasil akhir dari penilaian legalitas hanya dua: legal dan tidak legal.

Kelestarian kawasan hutan tidak akan dapat terpenuhi apabila ada penjejangan dalam sertifikasi legalitas. Penjejangan/phasing grading pada akhirnya dilihat sebagai sebuah upaya untuk membantu produsen dan konsumen menetapkan targetnya dalam aspek legalitas tanpa melihat dan memperhitungkan kondisi kritis sektor kehutanan pada saat ini.

Penutup
  1. Kebijakan yang terus berubah , hal ini telah teridentifikasi dimasa transisi (reformasi) demikian pula dengan TAP MPR no IX/2001 yang memandatkan untuk menguji kebijakan yang berkaitan dengan Agraria dan Sumber Daya Alam. Hasil uji kebijakan akan diikuti dengan pencabutan dan revisi sehingga kebijakan akan terus berubah. Kriteria standart legalitas kayu harus dapat juga beradaptasi dengan situasi transisional ini. Secara panjang lebar didiskusikan dalam seminar dan lokakaruya terdahulu. Deangan konsekwensi ini, maka jelas akan terjadi perubahan yang mengarah kepada up grading kriteria dan standart bukan down grading seperti yang saat ini terjadi.
  2. Batu ujian bagi Tim Kecil dan LEI, memfasilitasi proses ini menjadi batu ujian bagi LEI dan tim kecil untuk bekerja transparent dengan meningalkan kepentingan kepentingannya yang lain demi menuju pengelolaan hutan yang adil dan lestari. Batu ujian yang di perhatikan oleh orang banyak dari berbagai kalangan dan kredibilitas lembaga yang dipertaruhkan
  3. Field Work, merupakan hal penting yang dimasa lalu dilakukan secar tidak transparent dengan tidak pernah menghadirkan tim kerja lapangan untuk mempersentasikan hasilnya, dan disisi lain menghalangi kelompok lain yang independent untuk melakukan uji coba. Kesempatan uji coba yang akan segera dilakukan di bulan Agustus 2006 meruapakan momentum untuk mendapatkan kembali kepercayaan yang sudah hilang dan secara transparant membentuk time uji coba dan mengemukakan hasilnya. Bantuan bekal untuk melakukan verifikasi dari beragai pihak sangat dibutuhkan.
  4. Dua Kriteria yang terkubur, FPIC dan Penetapan Kawasan Hutan harus dihidupkan kembali dengan menempatkan prinsip prinsip 1-4 seperti semula, jika memang ingin memberikan perlindungan kepada rakyat atas usaha usaha kehutanan yang berjalan dilingkungannya. Kriteria 4 harus dapat mengakomodir perubahan kebijakan yang terjadi dari masa ke masa seperti dengan diratifikasinya konvenan EKOSOB dan SIPOL dalam perundang undangan Indonesia awal tahun 2006 sudah sepatunya usaha penurunan standard kriteria diganti dengan usaha menaikkan standard kriteria kriteria, dan indicator serta memperbaiki alat verifikasinya.
  5. Pembuktian dibalik Legalitas Kertas, dalam usaha melakukan verifikasi lapangan perlukan dikembangkan alat verifikasi yang lebih credible daripada hanya verifikasi adminsitrasi yang harus diuji legalitasnya melalui catatan proses, wawancara dengan key informants serta bentuk cross check lainnya. Alat verifikasi kelengkapan adminsitarsi dapat dikatagorikan sebagai alat verifikasi adminsitarsi awal untuk membuka proses verifikasi yang lebih luas melalui proses cross check

WALHI percaya bahwa apabila beberapa catatan diatas dikembangkan secara terbuka, serius dan konsisten, pengelolaan hutan yang adil dan lestari dapat terwujud dan membarikan manfaat yang sebesar-besarnya, utamanya terhadap masyarakat yang berada di dan sekitar hutan.@

Informasi lebih lanjut:
Rully Syumanda, +6281319966998, roelly@walhi.or.id
Terimakasih kepada Lisken Situmorang dan Martua Sirait atas saran dan masukannya.

Tidak ada komentar: