KONFLIK DISEKTOR KEHUTANAN

rully syumanda, april 2007

Aktivitas ekstraksi dengan metode pengambilalih paksaan sumberdaya alam hutan dari masyarakat menciptakan dimensi konflik yang beragam. Ekstraksi hutan, yang pada mulanya ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat sekaligus memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada akhirnya menunjukkan kegagalannya karena tidak mampu mencapai tujuan awal, menyejahterakan masyarakat. Pada dasarnya, pembangunan disektor kehutanan di Indonesia baru bisa dikatakan berhasil apabila mampu mempertahankan keberadaan dan daya dukung ekologinya. Pembangunan tersebut dikatakan gagal terlebih bila keberadaannya tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai salah satu kelompok sasaran utamanya.

Melihat perjalanan pembangunan kehutanan di Indonesia selama hampir tiga dasawarsa ditambah sejumlah penelitian dan atau rekaman tentang masyarakat di dan sekitar hutan, maka kita akan menyaksikan sebuah parade kolosal tentang kegagalan sektor kehutanan dalam mengangkat kesejahteraan masyarakatnya. Sebagai contoh, bisa dilihat ketiadaan pilihan yang dihadapi masyarakat di sepanjang Sungai Siak terhadap dampak yang ditimbulkan oleh industri kehutanan yang berada di sepanjang sungai .

Pada tahun 1991, masyarakat di tiga Kecamatan di Aceh Selatan terancam kelaparan akibat lahannya dikuasai oleh lima perusahaan HPH. Suku Sakai di Riau harus terus berpindah akibat penyerobotan lahan yang dilakukan anak perusahaan APP, Arara Abadi dan perusahaan minyak Caltex, yang membuat mereka tergusur dari tanahnya dan harus bekerja sebagai buruh untuk dapat menyewa sepetak rumah diatas tanah yang dulu merupakan ladang pertanian sukunya.

Hal ini semua hanya dapat terjadi dikarenakan proses pembangunan kehutanan berangkat dari paradigma yang keliru. Pembangunan kehutanan selama ini menitikberatkan pada investasi baik dalam dan luar negeri yang kemudian diharapkan menciptakan trickle down effect. Ini tidak berhasil. Yang terjadi justru sektor-sektor ekonomi rakyatlah yang kemudian mensubsidi kegiatan ekonomi para pengusaha. Jutaan hektar tanah rakyat yang kemudian dikuasai oleh pengusaha melalui serangkaian kebijakan negara pada akhirnya tidak mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat.

Makinudin dan Effendi (2001) mengungkapkan contoh dimana Kabupaten Aceh Selatan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,2 persen pada tahun 2000 (dengan dukungan 50 persen dari sektor kehutanan setiap tahunnya) ternyata tingkat pertumbuhan “ekonomi hijau”nya tidak lebih dari 3,6 persen. Mengapa? Karena hampir 50 persen pertumbuhan ekonomi konvensional Aceh Selatan telah menyebabkan depresiasi sumberdaya hutan secara serius. Saat ini banjir dan longsor lebih sering mewarnai perekonomian kabupaten tersebut. Tentunya masyarakat disekitar hutan yang merasakan dampak ini ditambah sejumlah sektor pertanian di hilir yang mengalami gagal panen.

Pengambilalihan tanah-tanah rakyat yang kemudian diklaim sebagai tanah negara memang menimbulkan dampak berganda yang berakhir dengan ketiadaan pilihan bagi masyarakat untuk berontak. Aceh adalah salah satu contoh yang paling gamblang untuk disebutkan. Pemberontakan yang terjadi di Aceh dalam dua dasawarsa terakhir juga didasari oleh, salah satunya, ketidak adilan dalam pemanfaatan sumberdaya alam itu tadi. Yang kemudian ditarik ke wilayah politik dan kemudian lagi dibaca sebagai semata persoalan politik aliran .

Pengaplingan lahan hutan (baca: rakyat) menjadi konsesi-konsesi pengusahaan bukan saja mempersempit ruang hidup masyarakat namun juga memutus akses mereka terhadap sumberdaya hutan. Ini hanya bisa terjadi disebuah negara yang menempatkan pemerintah sebagai sebuah kekuatan yang memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap sumberdaya publik.

Pemerintah memang mengakui keberadaan masyarakat beserta sistem penguasaan lahannya. Semua diatur dalam Undang-Undang No 5/60 tentang pokok-pokok Agraria dan Undang-Undang Pokok Kehutanan No 5/67 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Kehutanan No 41/99. Namun lagi, tegas pula dinyatakan bahwa meskipun ada pengakuan namun kesempatan untuk menuntut hak pemanfaatan hasil hutan maupun hak ulayat atas tanah tidak diperkenankan melebihi kepentingan nasional. Artinya lagi bila negara telah memberikan hak kepada pengusaha kehutanan untuk mengambil manfaat diatas hutan tersebut maka rakyat harus merelakan (mensubsidi) pengusaha tersebut. Karena dalam anggapan pemerintah, keberadaan industri ditempat tersebut akan memberikan trickle down effect – akan memberikan tetesan keuntungan bagi masyarakat sekitar.

Dalam jangka pendek sebagian masyarakat memang merasakan dampak ekonomi yang muncul (terlepas adanya kelompok masyarakat yang kehilangan tanah dan kehilangan ekonomi pendukungnya). Puluhan orang kemudian bisa melakukan kegiatan ekonomi ditempat tersebut. Diantaranya menyalurkan bahan makanan atau kebutuhan lain, dan mendapatkan kesempatan kerja - meski dengan alasan pendidikan, masyarakat hanya menjadi buruh. Keuntungan ekonomi didapatkan. Dalam jangka pendek, manakala proses eksploitasi tengah berlangsung, desa memperlihatkan denyut kehidupannya. Dalam jangka panjang, ketika konsesi berakhir maka hutan telah kehilangan kesuburan tanahnya, masyarakat kehilangan akses terhadap komoditi hutan yang ada sebelum konsesi muncul dan seringkali diakhiri dengan konflik-konflik horizontal, dan dibanyak tempat hama baru bermunculan ditambah ancaman terhadap bencana banjir dan longsor.

Sardjono, 2004 menyusun beberapa faktor penyebab kurang optimalnya dampak positif kebijakan pembangunan kehutanan bagi masyarakat lokal:

Tabel 1. Beberapa Penyebab Kurang Optimalnya Dampak Positif Kebijakan Pembangunan Kehutanan Bagi Masyarakat Lokal

Hanya ada satu muara dari seluruh cerita ketidakoptimalan dampak tersebut: konflik. Apa yang disajikan diatas pada dasarnya menjadi latarbelakang konflik tersebut.Hanya membutuhkan satu atau dua buah triger, yang dimensinya juga bisa beragam – kecemburuan sosial, gagal panen, dsb, untuk membuatnya menjadi konflik permanen.

Konflik itu sendiri sudah mulai muncul sejak zaman penjajahan. Meskipun yang menjadi triger bagi munculnya sebuah konflik, dulu dan sekarang memiliki perbedaan yang sangat significant namun lagi akar masalah yang muncul selalu sama: perbedaaan pemahaman dalam pengelolaan sumberdaya kehutanan.

Pada masa-masa kerajaan, hutan dipandang sebagai satu kesatuan dengan rakyat. Seorang raja tidak berarti bisa mengambil satu putusan mengenai kepemilikan terhadap kawasan hutan yang memang sudah dikelola oleh rakyat. Sebagai gantinya, Raja akan meminta upeti kepada masyarakat pengelola tersebut. Perkecualian yang sama juga berlaku apabila ada kepentingan kerajaan diatas tanah tersebut namun selalu disertai dengan kompensasi yang cukup. Meskipun demikian, dalam rekaman sejarah pernah tercatat migrasi manusia dari Padalarang di Jawa Barat ketika Kerajaan Pasundan mengambil paksa kelompok hutan disana yang kemudian digunakan sebagai daerah berburu . Migrasi kelompok manusia tersebut merupakan salah satu refleksi dari konflik yang muncul pada masa itu.

Pada masa penjajahan, hutan dalam pemahaman orang Jawa merupakan berkah dari Tuhan yang kemudian akan menunjuk kelompok-kelompok orang untuk menerima berkah dariNya dan berhak melakukan pengelolaan diatasnya. Dalam masyarakat dengan pemikiran statis seperti ini otomatis dimensi konflik dan refleksi terhadap konflik itu sendiri akan muncul dengan cara yang sangat berbeda dan jauh lebih halus.

Pendidikan dan kesempatan untuk mengakses informasi dan pengetahuan kemudian mampu merubah pandangan-pandangan tersebut menjadi dinamis. Meskipun masih ada orang dengan latar belakang pendidikan yang cukup masih memiliki pandangan bahwa pengelolaan adalah sebuah berkah yang diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat pilihan, bukan hasil kerja keras si manusianya sendiri.

Dimasa orde baru, refleksi terhadap konflik itu sendiri bisa dikatakan tidak terbuka. Represifitas yang ditunjukkan negara melalui aparat militer dan kepolisian membuat orang berpikir dua kali untuk menuntut haknya. Namun ini hanyalah masalah waktu. Akar masalah yang terpendam, seperti yang telah dikatakan, hanya membutuhkan sebuah triger untuk membuka dimensi konflik itu tadi.

Grafik berikut menunjukkan dimensi konflik disektor kehutanan yang terjadi dari tahun 2000 sampai dengan 2006. Konflik tersebut hanyalah konflik yang muncul pada tahun bersangkutan. Sejumlah konflik yang muncul pada tahun-tahun sebelumnya dan belum terselesaikan hinga hari ini tidak masuk dalam hitungan.

Grafik 1. Frekwensi Konflik Nasional di Sektor Kehutanan 2000 - 2006

Dari table terlihat bahwa sejak tahun 2000 hingga 2006 terdapat 317 peristiwa konflik di sektor kehutanan. Jumlah konflik menurun dari 59 konflik pada tahun 2000 menjadi 34 pada tahun 2002, lalu meningkat kembali menjadi dua kali lipat pada tahun 2004. Berkembangnya sejumlah lembaga swadaya masyarakat pasca desentralisasi bisa jadi menunjukkan besaran akses mereka terhadap sumber-sumber konflik sehingga memungkinkan ledakan konflik pada tahun 2000, 2004 dan 2006.

Awal tahun 2004 adalah tahun pergantian rezim. Pergantian rezim, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sejarah sebelumnya selalu membuat orang merasa akan mendapatkan hal yang lebih baik dimasa mendatang. Hal ini sekaligus mendorong orang untuk lebih terbuka dan lebih aspiratif sembari berharap masa depan masalah yang sedang dihadapinya akan lebih baik dari sebelumnya.

Temuan lain yang tidak kalah menarik adalah bahwa konflik disektor perkebunan dan HPH memegang porsi yang cukup tinggi yang diikuti dengan konflik di kawasan konservasi dan HTI.

Terlepas adanya konflik di sektor perkebunan, konflik di kawasan HPH, kawasan lindung dan HTI seharusnya menjadi perhatian mengingat porsinya yang sangat significant. Perlu diketahui, sebagaimana yang telah diungkap diatas bahwa konflik ini adalah konflik baru dan bukan konflik yang telah lama terjadi lalu muncul kembali ke permukaan.

Grafik 2. Rekapitulasi Konflik Di sektor Kehutanan 2000 - 2006

Sekurang-kurangnya terdapat lima penyebab utama konflik, yaitu perambahan hutan, pencurian kayu, perusakan lingkungan, tata batas kawasan atau akses dan alih fungsi kawasan. Faktor penyebab konflik yang paling sering terjadi di berbagai kawasan (36%) adalah ketidakjelasan tata batas hutan bagi masyarakat di sekitarnya.

Dibelahan manapun di planet ini, dimensi krisis ekonomi dan konflik yang disertai dengan kekerasan selalu mendapat perhatian khusus. Baik dari pihak pemerintah, organisasi non pemerintah maupun sektor private. World Bank menyebutkan bahwa perang sipil dan konflik sumberdaya alam mampu membuat proses pembangunan berada dalam titik kritis, memundurkan ekonomi nasional dan mengembalikan sistem sosial masyarakatnya ke beberapa tahun sebelumnya.

Upaya untuk mencegah terjadinya konflik, membangun sebuah kesepemahaman dan perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai maupun upaya rehabilitasi dari konflik itu sendiri merupakan sebuah proses yang sangat sulit. Membutuhkan, tidak hanya campur tangan pemerintah dan non pemerintah namun juga dimensi politis dan teknis yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Indonesia, negara dengan kategori “Developing Country” juga tidak lepas dari konflik-konflik sumberdaya alam yang tidak terhitung banyaknya dan menjadi faktor dominant sebagai pemicu utama konflik yang sebagian besar berakhir dengan kekerasan. Sebuah riset yang dilakukan di Propinsi Riau menyebutkan bahwa bahwa dari 649 konflik yang terjadi di propinsi ini sejak tahun 1999 sampai dengan 2003, hampir 67 persen diantaranya bersumber dari konflik sumberdaya alam dan lebih dari separuhnya berakhir dengan kekerasan yang menimbulkan korban jiwa.

Konflik dengan kekerasan, pada satu sisi dapat terpicu oleh kesenjangan ekonomi, kesenjangan akses terhadap sumberdaya alam, degradasi lingkungan, pertumbuhan penduduk, disintegrasi dan fragmentasi dalam kelompok-kelompok masyarakat dan kegagalan negara dalam menjalankan fungsinya.

Pada sisi yang lain, konflik muncul akibat tidak berfungsinya institusi demokrasi, mekanisme penyelesaian masalah, kebijakan yang tidak mendukung, rusaknya indentitas sosial dan budaya dan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Meskipun aktivitas ekonomi bisa menjadi pemicu munculnya sebuah konflik, namun aktivitas ekonomi juga mampu berfungsi sebagai pemicu dalam menciptakan perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai.

Dalam dua dekade terakhir, sumberdaya alam, termasuk kayu dari hutan alam, memainkan posisi yang paling penting sebagai sumber konflik. Dari 434 konflik sumberdaya alam yang terjadi di Riau pada tahun 1999 sampai dengan 2003, tiga belas persen diantaranya dipicu oleh masalah kayu yang berkaitan dengan tegakan, wilayah tebang dan masalah pembagian keuntungan . Penelitian yang dilakukan CIFOR malah menunjukkan bahwa lebih kurang 40% tutupan hutan dan yang ada di dunia diluar Brasil berada di negara yang punya pengalaman tinggi dengan konflik itu sendiri.

Perselisihan dan konflik di Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun regional yang disebabkan oleh kayu memang belum dapat dibuktikan secara akademik. Namun lagi sejumlah konflik sumberdaya alam yang terjadi antara komunitas masyarakat, negara dan sektor swasta telah menunjukkan bahwa konflik tersebut memang ada dan jumlahnya tidak bisa dibilang kecil.

Konflik tersebut, pada banyak kasus dipicu oleh praktek illegal logging, baik yang dilakukan oleh masyarakat, perusahaan maupun praktek yang dilakukan oleh negara itu sendiri melalui perusahaan negara ataupun menjadi back up dan atau memiliki perpanjangan tangan terhadap praktek tersebut.

Riset-riset yang dilakukan selama ini di Indonesia sesungguhnya dapat menggambarkan secara utuh bahwa industri kayu memainkan peranan penting dalam konflik-konflik yang terjadi. Meskipun semua masih dalam potongan-potongan yang terpisah namun sudah cukup menggambarkan peranan masing-masing pemangku kepentingan terhadap konflik itu sendiri. Keterlibatan sektor bisnis itu sendiri, dalam catatan WALHI, cukup bervariasi. Dari mulai pembatalan kesepakatan secara sepihak sampai dengan kekerasan yang berakhir dengan pembunuhan.

Perusahaan seringkali menggunakan kekerasan untuk mengintimidasi dan menghalangi kemungkinan munculnya perlawanan terhadap aktivitas mereka. Pemerintah lokal dan polisi, dalam banyak kasus juga termasuk militer, juga mendukung perusahaan kayu ketika berkonflik dengan masyarakat. Pola yang muncul sejak era pemerintahan Soeharto terus dimainkan hingga sekarang dalam bentuk dan model yang lebih kreatif. Perusahaan-perusahaan terus menyuap polisi, militer dan pemerintah lokal untuk menekan pihak-pihak yang resisten terhadap aktivitas perusahaan. Pelanggaran hak asasi manusia juga seringkali muncul pada kawasan-kawasan dimana aktivitas industri dan satuan keamanan pemerintah berada, dimana umumnya pasukan tersebut memiliki latar belakang pendidikan yang rendah, pengawasan yang minim dan juga lepas dari perhatian media massa dan NGO. Pemerintah seringkali mentolerasi atau bahkan mendukung praktek-praktek kekerasan tersebut .

Dalam upaya mempertahankan hak-hak tradisional yang mereka miliki, masyarakat memiliki kecenderungan untuk bertindak pragmatis dengan melakukan penahanan terhadap alat-alat berat perusahaan, memblok jalan-jalan yang dilalui oleh perusahaan dan seringkali melakukan tindakan anarkis dengan melakukan pembakaran kantor-kantor lapangan perusahan dalam upaya menghentikan aktivitas perusahaan tersebut. Sebagian besar dari konflik ini terjadi akibat masalah tatabatas yang tidak ingin dan atau tidak bisa diselesaikan oleh perusahaan dan pemerintah, rusaknya lingkungan yang berakibat langsung terhadap kehidupan masyarakat, tidak dibayarnya kompensasi yang sudah disetujui, lemahnya penegakan hukum, korupsi dan efek negatif dari desentralisasi menjadi pemicu munculnya konflik yang lebih besar terhadap sumberdaya alam.

Hal yang menarik dari konflik disektor kehutanan yang membuatnya berbeda dengan sektor lain adalah bahwa konflik di sektor kehutanan melibatkan berbagai pihak. Mulai dari skala lokal sampai skala nasional, dan bahkan internasional. Selain itu, perbedaan status antara pihak yang “kuat” dan yang “lemah” sangat menonjol. Pihak yang lebih kuat biasanya akan dengan mudah mempertahankan posisinya karena mereka mempunyai kekuatan untuk melawan pihak yang lemah. Mereka mempunyai informasi yang lebih banyak dan kemampuan finansial yang lebih besar dibandingkan dengan pihak yang lemah . Perbedaan kekuatan inilah yang membuat konflik disektor kehutanan sulit menemukan jalan keluarnya.

Hal yang lebih spesifik, yang membedakan konflik sektor kehutanan dengan sektor lainnya adalah seringnya konflik di sektor kehutanan ini yang seringkali tidak diketahui oleh umum. Hal ini dikarenakan konflik sering muncul didaerah-daerah terpencil atau terkooptasinya beberapa penegak hukum sampai para jurnalis yang bekerja di lapangan yang selama ini tidak memperoleh reward yang cukup atas kerja-kerja mereka selama ini



KONFLIK TENURIAL

Konflik tenurial dalam dimensi konflik sumberdaya alam hutan di Indonesia menempati urutan pertama dengan frekwensi yang cukup tinggi. Masalah tatabatas dan belum terselesaikannya proses ganti untung merupakan satu dari sekian banyak dari dimensi konflik tenurial ini. Hampir semua konflik tersebut terjadi akibat adanya perbedaan cara pandang terhadap aspek legalitas. Perusahaan HPH atau HTI selalu bersikukuh telah mendapatkan izin konsesi yang resmi dari pemerintah. Sementara pada sisi lain pemerintah tidak pernah melakukan groundcheck untuk melihat apakah perizinan yang dikeluarkan bersinggungan dengan masyarakat atau tidak. Hal ini sebetulnya juga bisa ditarik dari politik ”hutan negara” yang diterapkan selama ini. Meskipun peraturan mensyaratkan perlunya pengukuhan terhadap kawasan yang ditetapkan sebagai hutan negara, yang ditandai dengan tatabatas (sehingga bisa diketahui kemungkinan konflik perbatasan dengan hak milik rakyat), dalam prakteknya pemerintah alpa dalam melakukan pengukuhan tersebut. Diakui sendiri oleh pemerintah bahwa pengukuhan terhadap hutan negara baru mencapai kurang dari 20 persen. Lebih lanjut lagi, bila mengacu pada peraturan tersebut, bisa dikatakan bahwa konsesi-konsesi kehutanan yang ada selama ini bisa dikategorikan tidak sah karena bukan dikeluarkan di atas hutan negara.

Konflik tenurial adalah dampak ikutan dari proses negaraisasi hutan. Paradigma pembangunan yang didasarkan pada laju invetasi dalam dan luar negeri mendorong negera ini memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada pemerintah. Pemerintah memberikan ruang dan kesempatan yang sangat besar bagi investor untuk menanamkan modalnya sekaligus ”meminta” masyarakat untuk mensubsidi para investor dalam bentuk lahan. Proses ini bisa berjalan mulus dengan campurtangan militer didalamnya. Desa Runtu, Kecamatan Arut Selatan di Kalimantan Tengah adalah kasus yang masih hangat dimana keterlibatan kepolisian dan militer dalam menyelamatkan investasi berjalan tanpa ada tindakan hukum apapun bagi keberpihakan yang ditunjukkan kepolisian.

Sejak tahun 1982, lahan Desa Runtu ”dipaksa mensubsidi” perusahaan PT Astra Agro Lestari. Represifitas orde baru kala itu berhasil memaksa penduduk Desa Runtu untuk tutup mulut dan menerima kebijakan yang diterbitkan secara sepihak oleh pemerintah pusat. Dalam masa reformasi barulah masyarakat berani membuka diri untuk menuntut lahan miliknya yang diserobot perusahaan. Dalam pertemuan yang dilakukan dengan perusahaan dan pemerintah kemudian, secara gamblang Pemerintah Daerah Kotawaringin Barat menyebutkan bahwa tanah tersebut tidak bisa diminta kembali karena sudah ada pola kemitraan yang telah disepakati antara Pemerintah Daerah Kotawaringin Barat dengan PT Astra Agro Lestari. Jelas, kesepakatan tersebut terjadi antara perusahaan dan pemerintah daerah, setelah sebelumnya dengan pemerintah pusat. Masyarakat tidak perlu bersepakat karena paradigma pembangunan di Indonesia lebih memperhitungkan besaran uang yang ditanam investor.

Sementara itu, kawasan konservasi juga seringkali menimbulkan konflik. Ini hanya bisa terjadi akibat penetapan suatu kawasan menjadi kawasan taman nasional maupun hutan lindung dilakukan tanpa peran serta masyarakat setempat. Tiba-tiba saja masyarakat menemukan bahwa dibelakang rumahnya telah terdapat patok tanda batas kawasan taman nasional. Dampak dari konflik ini cukup beragam. Penggusuran adalah cara yang paling sering diambil oleh pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Masyarakat digusur dari kampungnya karena dianggap telah memasuki kawasan yang ditetapkan sebagai taman nasional, meskipun masyarakat terlebih dahulu tinggal didalamnya.

Isu kompensasi dan belum selesainya masalah ganti rugi juga sering muncul dalam dimensi konflik tenurial. Tuntutan ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sejarah. Pengabaian kepentingan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan dan dimotori oleh pemerintah seringkali terjadi. Perusahaan juga dibantu aparat militer dan kepolisian dalam memaksakan kehendaknya kepada masyarakat. Hal-hal inilah yang ada akhirnya menyuburkan aroma kebencian dan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dan aparat kepolisian/militer, yang sempat menghiasi berbagai media massa ditahun 2001. Kebebasan yang tersedia dalam masa reformasi kemudian memberi mereka kesempatan untuk mengajukan tuntutan-tuntutan atas hak mereka yang telah hilang selama bertahun-tahun.

Perlawanan yang ditunjukkan oleh masyarakat korban seringkali bersifat pragmatis. Dalam banyak kasus masyarakat secara paksa menutup kegiatan perusahaan dengan memblokir jalan atau jembatan. Masyarakat kemudian juga menyurati Menteri Kehutanan dan instansi terkait untuk menuntut pencabutan konsesi yang ada. Adakah kaitan erat antara peningkatan jumlah konflik dengan era reformasi? Tidak dapat disangkal bahwa kaitan tersebut erat sekali. Adanya tekanan terhadap masyarakat dan terhadap media massa membuat berbagai konflik yang terjadi disektor kehutanan menjadi tidak muncul dipermukaan. Sebutlah sejumlah media massa nasional yang bila ditarik kemudian akan terlihat benang merah kaitan antara pemilik perusahaan dengan Golkar. Kalaupun tidak ada relasi langsung antara keduanya, Soeharto akan mengendalikan berita-berita yang akan dimunculkannya. Menteri Penerangan kala itu, yang dalam pandangan berbagai pihak lebih sering diindentifikasikan sebagai juru bicara Golkar dan Soeharto, mengendalikan proses perizinan dan pencabutan SIUPP. Dengan kekuasaan yang sedemikian besar tentu memudahkan Soeharto untuk mengontrol pemberitaan dengan ancaman pencabutan SIUPP. Dengan cara seperti inilah Soeharto mengkooptasi media-media tersebut.

Jatuhnya Soeharto tidak serta merta membuka iklim demokrasi. Dimasa BJ Habibie, kekuatan pemerintah dan militer/kepolisian masih sangat kuat untuk mengendalikan media massa. Walaupun praktek represifitas jauh berkurang dibanding tahun sebelumnya, namun toh belum memberikan nilai yang significant untuk membuat orang/masyarakat berani mengungkapkan konflik disektor kehutanan ke permukaan. Apalagi, media massa yang ada juga belum berani untuk terlalu gegabah mengangkat issue tersebut.

Barulah ketika era Abdurahman Wahid, energi dari berbagai konflik yang terpendam selama ini meletup keudara. Grafik konflik diberbagai sektor meningkat dengan tajam. Pers mulai merasakan aura kebebasan untuk memberitakan hal-hal yang dahulunya dianggap tabu.

Dari uraian diatas, dipahami bahwa masalah tata batas adalah salah satu pemicu utama konflik yang muncul dalam satu dekade terakhir. Hal ini tentunya tidak bisa lepas dari kesalahan pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hingga hari ini, praktis pemerintah baru “menguasai” hutan yang dikategorikan hutan negara seluas 17 persen. Hampir 83 persen diantaranya belum dilakukan penataan tata batas. Artinya lagi, mengacu pada peraturan, negara menguasai lebih dari 80 persen hutan secara illegal. Rampokisasi ini terus berlangsung hingga hari ini. Manakala kebijakan penentuan tatabatas diserahkan kepada pemerintah daerah, pemimpin daerah bersangkutan tidak pernah melaksanakan tugas ini meskipun industri bersangkutan telah menyerahkan kewajiban pembayarannya kepada kas daerah untuk dilakukan tatabatas.

Pertanyaan selanjutnya yang cukup relevan adalah batas yang mana yang perlu dipatuhi? Apakah batas yang ditetapkan oleh pihak pemerintah atau batas-batas yang diakui oleh masyarakat lokal, yang sering tumpang tindih dengan klaim pemerintah? Masalah tata batas ini akan terus mengemuka apabila tidak ada solusi yang tepat. Untuk mencapai kesepakatan tentang tata batas memang tidak mudah, tetapi perlu dipikirkan jalan keluar untuk menyelesaikan konflik tata batas di kawasan kehutanan. Ketidakjelasan tata batas tanah adat ini sering dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk mengklaim lahan dengan luas yang tidak masuk akal.

Hal yang patut menjadi catatan kita semua adalah bahwa masalah tata batas bukanlah masalah yang baru dalam sektor kehutanan. Dibutuhkan sebuah kesepakatan dalam melihat definisi, proses dan penetapan tatabatas tersebut. Dalam Standard Legalitas Kayu, legal tidaknya sebuah konsesi salah satunya dinilai dari keberadaan Berita Acara Tata Batas dan lampiran petanya yang didalam teknik verifikasinya akan mengacu pada pertimbangan-pertimbangan dari masyarakat.

KONFLIK AKIBAT KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN KESEHATAN
Kontribusi terhadap konflik dari kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan yang berdampak pada kesehatan masyarakat juga memiliki prosentase yang significant. Meskipun belum ada penelitian yang menyeluruh yang dapat menggambarkan pola konflik yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan, namun konflik yang bersumber dari praktek penebangan dan keberadaan industri kayu ini dapat muncul dimana saja. Di hutan alam, perkebunan kayu (HTI), taman nasional, pabrik-pabrik pulp dan kertas, dan pabrik-pabrik playwood. Tergantung dengan lokasi dan situasinya, konflik bisa melibatkan institusi pemerintah, pelaku bisnis, komunitas masyarakat, kelompok penebang dan satuan pengamanan.

Di belahan manapun di dunia, hutan memang menjadi arena pertentangan antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan sumber daya hutan. Seringkali kepentingan satu pihak berbenturan dengan kepentingan pihak lainnya. Dalam banyak kasus, pertentangan kepentingan antara perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) seringkali menegasikan hak-hak masyarakat lokal. Keduanya sama-sama membutuhkan kayu untuk memenuhi kapasitas produksinya. Perusahaan HTI selama ini cenderung menunda melakukan penanaman hutan tanaman dengan alasan faktor biaya. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengembangkan HTI dan termasuk biaya pemanenan dan penanaman kembali jauh lebih mahal dibanding menerima kayu dari sumber-sumber lain yang berasal dari hutan alam.

Kedua industri ini juga seringkali melakukan penebangan seperti orang memakan bubur panas. Dimulai dari pinggir dan lalu menuju ketengah. Dalam banyak kasus, ketika perusahaan melakukan penebangan, perusahaan tidak hanya melakukannya dari tepi konsesinya sendiri melainkan jauh memasuki hutan alam yang bukan bagian dari konsesi milikinya. PT Arara Abadi pada tahun 2003 secara jelas mengambil kayu jauh dari konsesi miliknya di dekat Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil. Jarak tebangan dengan konsesinya mencapai 11 km. Demikian halnya dua perusahaan (PT Arara Abadi dan PT Riau andalan Pulp & Paper) yang beroperasi di dekat Cagar Alam Zamrud di Riau yang melakukan penebangan sejauh 14,2 km dari konsesi miliknya .

Contoh konflik yang paling menarik perhatian media massa baik national maupun international adalah kasus penyerangan aparat keamanan PT Arara Abadi (anak perusahaan Asia Pulp & Paper – Sinar Mas) terhadap sebuah desa di Propinsi Riau, Desa Mandi Angin. Sejak tahun 1999, PT Arara Abadi telah melakukan penebangan dilahan masyarakat (Resort Rasau Kuning) seluas 2.000 ha. Lahan ini dalam pengakuan PT Arara Abadi merupakan konsesi perusahaan yang dibuktikan dengan Kepmenhut No. 743/ kpts-II/ 1996 tanggal 25 November 1996. Namun perusahaan tidak pernah mau menunjukkan peta lahan tersebut. Demikian halnya dengan pemerintah daerah yang sepertinya enggan untuk membantu masyarakat dalam hal memastikan letak konsesi sebenarnya dari PT Arara Abadi.

Pada 23 Februari 2000, persoalan dilanjutkan Menteri Kehutanan di Jakarta dan diputuskan bahwa lahan tersebut status quo. Namun tujuh bulan kemudian perusahaan kedapatan mengambil 5.000 meter kubik kayu di lahan tersebut. Masyarakat yang marah lalu menahan 20 buah truck milik PT Arara Abadi. Dua minggu kemudian, pukul 14.30 WIB, 500 orang Pam Swakarsa PT. Arara Abadi melakukan penyerangan mendadak ke pemukiman penduduk desa Mandiangin. Mereka berjumlah 500 orang diangkut dengan 10 truck dengan membawa senjata tajam seperti, parang, kampak, dan beberapa potongan besi. Sementara warga desa hanya berjumlah 300 kepala keluarga. Saat penyerangan oleh Pam swakarsa itu, 2 rumah ludes terbakar, ada 30 orang yang mengalami luka-luka. Yang menarik adalah pernyataan dari saksi mata bahwa mereka melihat sendiri keberadaan polisi disana dan tidak berbuat apa-apa. Hal menarik lainnya, Pam Swakarsa tidak lupa membawa serta dua buah ambulan.

Sampai dengan 25 Desember 2004, Kepala Desa Mandiangin Syaiful Wakni masih membuat surat keterangan untuk perusahaan, yang intinya menyatakan agar tanah perladangan dan tanah ulayat mereka dikembalikan sebagaimana mestinya.

Konflik lainnya yang patut menjadi perhatian adalah konflik yang diakibatkan pencemaran air dan udara disekitar pabrik. Meskipun masalah pembuangan limbah telah diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup dan sebelum beroperasi perusahaan diharuskan melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) , namun toh dalam kenyataanya ada begitu banyak perusahaan yang tidak memiliki instalasi limbah yang memadai.

Demikian juga dengan materi buangan yang diperkirakan dalam AMDAL tidak sesuai dengan materi buangan yang ada. Pembangunan instalasi limbah memang memakan banyak biaya dan dalam jangka pendek akan memperkecil margin keuntungan pengusaha. Untuk itu, perusahaan biasanya membangun pipa buangan tersendiri yang tidak disatukan dengan pipa buangan yang menuju instalasi limbah. Cara ini dilakukan untuk mengelabui petugas pemeriksaan.

Dalam proses penyusunan AMDAL pun ada begitu banyak kecurangan yang terjadi. Para akademisi yang digunakan untuk melakukan amdal seringkali miskin pengetahuan sosial budaya masyarakat setempat. Akibatnya ada begitu banyak pengabaian terhadap proses yang seharusnya melibatkan masyarakat. Terlepas dari kemungkinan adanya korupsi dalam bentuk manipulasi data, masalah mengenai penyusunan AMDAL perlu diperhatikan secara seksama. Persetujuan Tanpa Paksaan (PEDIATAPA) harus menjadi pokok perhatian karena PEDIATAPA dapat dijadikan alat tawar dalam menerima atau tidaknya keberadaan perusahaan yang akan memasuki dan dianggap mengancam teritorial dan hak-hak masyarakat.

Contoh konflik berkaitan dengan kerusakan lingkungan dan pencemaran dapat kita temukan dalam konflik yang melibatkan masyarakat di Porsea dengan PT Inti Indo Rayon tama (sekarang Toba Pulp Lestari)

Ribuan masyarakat Porsea terus melakukan protes atas reoperasional PT. Inti Indorayon Utama yang telah berganti nama dengan PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Mereka merasakan kehidupan yang damai dengan lingkungan yang sehat selama empat tahun akan hilang dengan reoperasional tersebut. Namun rapat kabinet tanggal 9 Januari 2002 secara eksplisit memutuskan untuk membuka, hal ini terlihat dari hasil keputusan tersebut yang menunjuk Rini Soewandi (Menperindag) sebagai ketua tim untuk meninjau lokasi dan menunjuk Yacob Nuwaewa untuk melakukan sosialisasi reoperasoional Indorayon. Bahkan mulai Januari 2003 sudah beroperasi selama dua sampai lima jam sehari secara diam-diam. Perusahaan juga menggunakan aparat militer (Brimob dan Polisi) untuk mendukung reoperasional. Bahkan aparat telah berbuat kejam dengan menangkap, memukul dan menyiksa masyarakat yang melakukan aksi penolakan.

Sikap pemerintah yang keras kepala dengan mengijinkan reoperasional IIU di Porsea tersebut jelas melukai hati seluruh rakyat yang merasakan betapa sengsaranya hidup mereka selama beroperasinya perusahaan tersebut.

Dalam perjalannya Indorayon selalu menimbulkan dampak dalam kehidupan masyarakat, diantaranya adalah dampak terhadap lingkungan, HAM, maupun sosial budaya. Hutan mengalami rusak parah. Hal ini terbukti dari Citra Satelit Landsat yang: tanah di luar kawasan hutan Sibatuloting banyak yang terbuka dan mengalami erosi berat sampai terbentuk gully erosion dan tanah longsor seluas 24.116 Ha. Bau busuk juga terus keluar selama operasional dan reoperasional saat ini. Dari penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat UI bersama WALHI juga terlihat bahwa pencemaran tersebut menyebabkan kerentanan kondisi kesehatan masyarakat. Hasil pertanian juga mengalami penurunan sampai 40%. Itik, ayam, ternak babi dan ikan yang dipelihara serta tanaman keras seperti petai, jengkol, kopi dan cengkeh sama sekali tidak menghasilkan lagi karena dampak pencemaran tersebut.

Selain kerugian lingkungan dan tingkat kesehatan masyarakat yang menurun, masyarakat juga menderita materi, diantaranya adalah diserobotnya tanah adat seluas 225 Ha bekas areal permainan hewan diserahkan kepada PT. IIU untuk 30 tahun dengan ganti rugi sebesar Rp. 12.500,-/Ha. Pada tahun 1989 PT. IIU menggugat 10 wanita tua dari desa Sugapa karena mereka melawan Indorayon dalam mempertahankan tanah adat mereka. Korban jiwa terjadi ketika terjadi tanah longsor di desa Bulu Silape tahun 1989, tercatat 13 orang meninggal dunia akibat tertimbun longsor. Bukan itu saja korban penembakan dan penyiksaan aparat telah beberapa kali terjadi. Sampai hari ini tidak kurang dari 20 orang meninggal akibat operasional Indorayon.

Sejumlah data dan cerita diatas pada dasarnya telah memberikan gambaran kepada kita bahwa konflik disektor kehutanan itu ada dan bahkan cukup tinggi dibanding konflik disektor sumberdaya alam lainnya. Konflik-konflik tersebut juga memiliki potensi untuk meluas secara geografis dan berdimensi banyak.

Dilahan-lahan konsesi HPH dan HTI seringkali pula konflik terpendam dengan rapih dan tidak dapat muncul kepermukaan baik melalui media massa ataupun ke legislatif yang merupakan represntasi dari masyarakat di pemerintahan. Pembungkaman ini dilakukan dengan menggunakan kekerasan. Tujuannya hanya satu, yaitu agar rakyat tidak dapat membawa cerita ini keluar dan agar tidak ada orang lain yang dapat membantu rakyat yang nantinya akan membuka peluang kerugian bagi perusahaan.

Bila diklasifikasikan, konflik disektor kehutanan yang berkaitan dengan tenurial, kerusakan lingkungan dan atau kesehatan adalah:

o Penyerobotan lahan oleh perusahaan yang kemudian diikuti dengan intimidasi oleh aparat kepolisian/militer dan atau Pam Swakarsa milik perusahaan yang umumnya memiliki latar belakang sebagai penjahat-penjahat kecil.
o Pembatasan akses ke hutan sehingga masyarakat tidak dapat mengambil manfaat dari hutan tersebut untuk peningkatan kesejahteraannya.
o Lapangan kerja yang tersedia tidak bisa menampung tingkat pendidikan masyarakat dipedesaan.
o Tidak menepati hasil-hasil perundingan. Perusahaan cenderung mengirim perwakilan yang tidak dapat mengambil keputusan dengan tujuan mengulur-ulur waktu agar masyarakat bosan dalam mengurus dan menyelesaikan konflik yang terjadi.
o Kerusakan lingkungan yang biasanya ditandai dengan banjir, munculnya hama baru dan atau pencemaran.
o Keterbatasan akses terhadap manfaat kegiatan ekstraksi sumber daya, berbagai program pengembangan masyarakat dilaksanakan tanpa perundingan yang sepatutnya dengan masyarakat;


KONFLIK AKIBAT DESENTRALISASI KEKUASAAN

Desentralisasi ternyata bisa dijadikan triger terhadap sebuah konflik. Penguasa ditingkat daerah merasa gamang. Bila selama ini selalu dituntun dengan telunjuk pemerintah pusat, ketika tiba saatnya untuk mandiri ternyata tidak semua propinsi mampu dan siap untuk menjalankan kewajibannya. Politik kekuasaan yang dijalankan Soeharto selama ini juga sekaligus membuktikan bahwa pendidikan politik tidak berjalan dengan baik. Rakyat tidak dapat menghargai adanya perbedaan pendapat. Rakyat juga tidak bisa menghargai opini yang berbeda. Represifitas yang dipraktekkan orde sebelumnya ternyata membekas dengan baik dalam memory setiap orang dan ketika kesempatan itu muncul mereka kemudian mempraktekannya dengan harapan akan muncul respon serupa dalam bentuk kepatuhan dan ketundukkan mutlak dari lawan politiknya. Penguasa di tingkat daerah berubah dari yang ditindas menjadi penindas baru. Memungkinkan munculnya ratusan Soeharto di segala pelosok penjuru Indonesia.

Pemindahan kekuasaan yang dilakukan pada tahun 2000 tersebut sengaja dilakukan mengingat munculnya issue separatisme. Pemerintah pusat yang sangat takut kehilangan pendapatan dari berbagai sumberdaya alam di Indonesia kemudian memberikan tanggung jawab pertanian, industri dan perdagangan, dan tenaga kerja kepada 360 kabupaten waktu itu (tahun 2000). Namun lagi untuk urusan pertahanan, pengamanan, perencanaan nasional dan pemanfaatan sumberdaya alam masih tetap dalam kendali pemerintah pusat.

Meskipun dari satu sisi tindakan ini sangat mempengaruhi iklim politik di Indonesia, namun ternyata berdampak pada hal lainnya: pengurasan sumberdaya alam. Lebih dari tigaperempat kabupaten di Indonesia yang tidak memiliki anggaran yang cukup untuk melakukan pengelolaan wilayahnya. Untuk daerah yang memiliki sumberdaya alam gas dan mineral ini mungkin tidak menjadi masalah karena hasil yang didapat dari Dana Alokasi Khusus (DAK) telah cukup besar untuk menjalankan roda pemerintahan, meskipun tetap muncul suara yang menyatakan hal itu tidak cukup.

Untuk menyiasati ini, pemerintah pusat kemudian mengeluarkan peraturan yang mengizinkan kebupaten untuk mengeluarkan izin penebangan diatas lahan seluas 100 hektare yang awalnya ditujukan untuk membantu masyarakat miskin disekitar hutan untuk mengembangkan pertanian subsisten dengan modal dari logging tersebut. Tujuan ini ternyata lagi disalah gunakan. Alih-alih ditujukan untuk pengembangan pertanian subsistem, perizinan 100 hektar terus menerus digunakan dan dijadikan alat pembuat uang bagi kabupaten bersangkutan.

Mesin uang 100 hektar ini kemudian bukan hanya menimbulkan masalah degradasi lahan. Euforia desentralisasi telah membuat bupati-bupati yang ada besar kepala dan merasa memiliki kekuasaan tak terbatas di daerahnya. Konflik tatabatas bermunculan. Hal ini muncul akibat banyaknya bupati yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah Pusat. Perizinan pengolahan kayu 100 hektar (Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - IPPH) kemudian saling tumpang tindih dengan HTI dan HPH yang perizinannya telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat sebelumnya dan dengan lahan-lahan milik masyarakat

Kajian yang dilakukan kemudian untuk melihat lebih jauh permasalahan ini menemukan sejumlah ketidak jelasan dan inkonsistensi didalam peraturan-peraturan tersebut yang pada akhirnya menimbulkan konflik. Peraturan yang dinilai inkonsistensi dan tidak jelas diantaranya yang menyangkut masalah 1) Desentralisasi perizinan, 2) Penegakan hukum yang lemah dan korupsi, dan 3) Perbedaaan signifikant antara peraturan resmi dengan hak-hak tradisional. Diperkirakan lebih dari 500 peraturan perundangan dan kebijakan yang mengatur tentang hutan saling tumpang tindih. Hal yang patut dicermati, bahwa muara dari semua ketidakjelasan ini tetap satu yaitu degradasi lingkungan dan penurunan kesehatan akibat beroperasinya pabrik dan penebangan yang tidak sustainable.

Masalah lain yang juga muncul dari perizinan 100 hektar (IPPH) ini adalah bahwa tidak ada kewajiban bagi pemegang konsesi untuk melakukan reforestasi. Perizinan ini juga hanya berlaku selama satu tahun. Waktu yang cukup untuk meluluhlantakan semua tegakan pohon yang ada dalam konsesinya dan diluar konsesi (pencucian kayu), namun tidak cukup untuk menyusun rencana kerja dalam upaya melakukan reforestasi terhadap kawasan tersebut.

Sampai disini, desentralisasi, dalam kenyataannya telah menghasilkan ketidak seimbangan kekuatan antara nasional dan lokal level. Prilaku politik ditingkat daerah pada akhirnya hanya merupakan reinkarnasi nepotisme dan kolusi yang pernah dimainkan Soeharto sebelumnya. Tiba-tiba saja desentralisasi menciptakan Soeharto-Soeharto kecil, disamping peningkatan korupsi yang menggila. Pada tahun 2002, pemerintah mengeluarkan PP 34/2002 yang ditujukan untuk menurunkan angka deforestasi dan menghentikan penerbitan izin konsesi oleh pemerintah daerah. Peraturan ini sekaligus menyatakan bahwa konsesi yang dikeluarkan pemerintah kabupaten sejak 2002 menjadi illegal dan oleh karenanya harus dicabut. Disini sebetulnya bisa dilihat bahwa pemerintah pusat kehabisan akal untuk menegakan hukum ketika polisi dan militer menerima suap dari pelaku logging atau secara aktif menjadi bagian dari illegal logging itu sendiri. .

Masalah bertambah sulit karena kedua level pemerintah ini merasa berhak untuk menerbitkan perizinan. Ketiadaan peraturan yang jelas mengenai masalah ini, yang mungkin akan menyelesaikan masalah, seringkali diselesaikan dilapangan. Angka deforestasipun kemudian serta merta melonjak dengan drastis tanpa ada upaya lebih lanjut untuk mencari akar masalah. Satu demi satu industri kehutanan berjatuhan karena ketiadaan bahan baku legal.

Tidak ada komentar: